Rabu, 30 Januari 2008

Menuding Buruh, Menyembunyikan Masalah

Buruh dituding sebagai penyebab pindahnya sejumlah besar investor ke negara lain. Banyak masalah lain yang disembunyikan oleh tudingan itu.


Tragedi Nunukan bagai memungkasi rentetan perkara perburuhan. Jika langkah-langkah mendasar dan menyeluruh tetap tak ditempuh, mudah diduga bahwa masalah-masalah serupa –- pemogokan, pemecatan, hengkangnya barisan investor -– akan terus membelit pinggang kita, menyempurnakan timbunan masalah di berbagai bidang yang terus menggunung.

Banyak pihak yang tampaknya belum juga melihat perkara ini dalam kaitannya dengan pelbagai masalah lain. Mereka bahkan memandang soal ketenagakerjaan secara kasus per kasus. Padahal problem ini berkelindan dengan pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kesempatan kerja, iklim usaha, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, demografi, dan kerangka besarnya adalah perencanaan pembangunan nasional.

Perburuhan adalah masalah nyata yang sangat kurang dipikirkan selama berpuluh tahun. Setelah dibungkam selama orde Suharto dan membara bagai api dalam sekam, eskalasi aksi buruh hari-hari ini mengagetkan banyak orang. Isu-isu pokoknya memusat pada tuntutan atas hak-hak normatif dan perbaikan kesejahteraan. Di pentas ratusan kasus perselisihan buruh dan majikan, pemerintah tampil sebagai aktor yang menari dengan buruk. Dengan gayanya yang membosankan, ia cenderung memperkeruh situasi dengan aneka kebijakan parsialnya yang silih berganti. Tak heran kalau semua “tarian” itu tak sanggup menyelesaikan pelbagai sengketa yang meruncing.

Investor Kabur
Di masa lalu, segala hal yang berhubungan dengan buruh -- organisasinya, para aktivisnya dan aksi-aksinya -- dengan gampangan diringkus dengan tuduhan komunis. Dan dengan tuduhan maut ini, jawaban bagi mogok kerja adalah kekerasan. Untuk membungkamnya negara menggunakan tentara -- suatu hal yang lebih banyak terjadi justeru di negara-negara komunis.

Kini karena kosakata komunis atau kiri tak lagi ampuh, negara menyajikan jurus baru guna meredam gerakan buruh: tuduhan sebagai biang keladi kaburnya investor, perintang masuknya investasi baru dan, dengan demikian, penghambat pemulihan ekonomi. Badan Intelijen Nasional bahkan menyempurnakan tuduhan ini dengan menyiratkan adanya “penyusupan agen-agen teroris” dalam gerakan buruh. Seperti biasa, tuduhan semacam ini tidak mewajibkan penuduhnya untuk menyajikan bukti-bukti yang meyakinkan.

Benarkah gerakan buruh berdemonstrasi merupakan faktor utama, bahkan faktor tunggal, penyebab larinya investor ke negeri lain? Data yang ada menyajikan kemungkinan lain. Boleh jadi demo buruh, yang membikin investor kecut dan jengkel, turut menyumbang bagi relokasi pabrik mereka. Tapi ekonomi dunia memang sedang didera krisis. Ini berpengaruh langsung pada penurunan daya beli. Maka barang-barang konsumsi seperti sepatu, tekstil dan produk tekstil, yang terhitung andalan Indonesia, harus menghadapi persaingan sangat ketat.

Pengusaha dipaksa mengotak-atik lagi ongkos produksi. Dan dari berbagai komponen produksi, biaya sektor tenaga kerja adalah yang paling empuk untuk ditekan. Dalam keadaan sulit, investor makin kehilangan selera untuk mempertahankan investasinya di tengah iklim usaha dan kepastian hukum yang tak kunjung membaik. Dilengkapi goyahnya keamanan dalam negeri dan gelora otonomi daerah yang makin meningkatkan ketidakpastian, sempurnalah alasan investor untuk memindahkan pabrik mereka.

Perlu diingat bahwa memindahkan pabrik bukanlah soal sederhana. Itu adalah keputusan besar, sangat merepotkan dan mengharuskan mereka menyesuaikan diri dari nol lagi di negeri baru, dan juga amat merugikan, apalagi bagi pabrik yang telah cukup lama beroperasi. Maka jika tak ada masalah yang benar-benar serius, mereka tak akan mengambil keputusan besar itu.

Ketika telunjuk pemerintah menuding buruh, ia lupa bahwa empat jari lainnya terarah ke dirinya sendiri. Sementara bagi pengusaha tentu lebih mudah, dan lebih aman, untuk ikut menuding buruh, daripada cari penyakit dengan mengecam pemerintah. Apalagi berkompromi dengan pejabat pemerintah jauh lebih mudah ditempuh, karena memakai “bahasa yang sama”, daripada dengan buruh.

Jangan lupa bahwa racun korupsi telah menyebar ke semua bidang. Birokrasi yang korup adalah faktor penting berikutnya yang membuat investasi di Indonesia berbiaya tinggi. Penelitian LPEM-UI terhadap lebih dari 1000 perusahaan menemukan bahwa rata-rata 9-11% dari ongkos produksi dibelanjakan untuk aneka “biaya siluman”. Dan, namanya saja siluman, tentu mereka tak pernah terlihat jelas, berbeda dari manusia biasa.

Tapi bukankah Indonesia telah mashur sejak lama sebagai imperium kleptokrasi? Mengapa baru sekarang investor merasakannya sebagai beban yang tak tertanggungkan? Jawabnya cukup jelas: Pemerintahan korup era Suharto masih ditoleransi oleh investor, karena pemerintah mengimbali pemerasan itu dengan represi total terhadap buruh. Juga dengan jaminan keamanan dan kekebalan hukum, yang tak lagi bisa didapatkan sekarang.

Sektor Informal dan UMP
Selama empat tahun terakhir, sebagian besar kebijakan pemerintah di bidang perburuhan hanya mengurusi sektor formal, khususnya sektor industri. Padahal tenaga kerja di sektor formal hanya sekitar 35%, dan 65% lainnya bernafkah di sektor informal. Dari 35% itu, hanya sepertiganya atau 11% yang bekerja di industri manufaktur.

Jadi hanya sekitar sepersepuluh jumlah tenaga kerja inilah yang terus menyita perhatian pemerintah, mulai dari urusan upah minimumnya, ketentuan pemutusan hubungan kerjanya, pesangonnya dan hak-hak normatif lainnya. Bagaimana dengan nasib hampir 90 persen tenaga kerja Indonesia lainnya, misalnya di sektor pertanian? Jawaban yang paling masuk akal adalah: mereka diserahkan pada kearifan alam semesta.

Adalah Menteri Abdul Latief yang memperkenalkan konsep upah minimum dengan berpatokan pada standar kebutuhan kalori minimum. Maksudnya untuk sedikit menjamin kesejahteraan para buruh, di tengah tekanan pasok tenaga kerja yang sangat tinggi. Juga untuk merangsang sektor manufaktur berinvestasi ke daerah-daerah; ini sebabnya besarnya upah minimum itu berbeda-beda di tiap provinsi atau wilayah. Menurut penelitian SMERU, upah minimum buruh secara nasional pada 2000 dan 2001 rata-rata meningkat 30%, dan diusulkan untuk terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya.

Industri padat tenaga kerja akan terkena dampak terbesar dari kebijakan UMP dibanding industri padat modal dan jasa. Ambil contoh industri sepatu dan produk tekstil. Jika perusahaan tak mampu memenuhi UMP berikut hak-hak normatif lainnya, langkah yang ditempuh perusahaan adalah rasionalisasi. Ini berarti pengurangan kesempatan kerja.

Berdasar studi LPEM-UI, industri makanan, tekstil, produk tekstil, sepatu dan usaha skala menengah jauh lebih rentan dibanding misalnya industri otomotif dan perusahaan besar. Industri kecil adalah yang paling rentan terhadap penerapan UMP yang tinggi.

Berdasarkan persentase pengupahan, 63,3% pekerja di industri kecil mendapat upah jauh di bawah upah minimum. Sementara untuk sektor industri makanan, tekstil, produk tekstil dan sepatu, rata-rata persentase jumlah pekerja yang berupah di bawah UMP bervariasi antara 24,3% sampai 40%. Dengan kata lain bila UMP dipaksakan untuk seluruh jenis industri, usaha kecillah yang pertama kali akan gulung tikar.

Ke mana larinya para pekerja sektor formal yang tergusur akibat kebijakan UMP? Tiada pilihan selain masuk ke sektor informal. Dan di sini mereka akan mendesak jutaan buruh tak terampil, tenaga kerja perempuan dan anak-anak. Padahal mereka inilah yang keadaan sosial ekonominya justeru jauh lebih rendah dibanding buruh sektor formal yang berpenghasilan tetap dan dipayungi hukum.

Semua itu mencuatkan “rumus baku” yang mestinya diperhatikan oleh pembuat kebijakan: Bahwa setiap sektor industri punya ciri masalah masing-masing, dan karenanya tidak bisa semuanya dipukul rata. Dan setiap kebijakan -– jika ia diinginkan efektif, adil koheren dan memuaskan -– pasti harus menyentuh rincian.

Akibat krisis berlarut, sampai 2001 tercatat 8 juta pengangguran terbuka (tanpa pekerjaan sama sekali). Jumlah ini adalah 8,1% dari total angkatan kerja sebesar 98,8 juta. Sejumlah 90,8 juta yang bekerja terbagi atas 63,1 juta bekerja penuh dan 27,7 juta setengah menganggur.

Dari jumlah setengah-menganggur itu, 11,2 juta di antaranya berposisi begitu karena terpaksa alias tidak ada yang bisa dikerjakan. Dengan asumsi setiap 1% pertumbuhan ekonomi menyerap 400.000 tenaga kerja, dengan pertumbuhan ekonomi di bawah 5% sejak 1999, Indonesia menyimpan bom waktu pengangguran sebesar 9,54 pada 2004.

Menurut M. Chatib Basri, peneliti LPEM-UI, ongkos perumahan dan transportasi memakan porsi biaya hidup tertinggi bagi buruh. “Maka bila Anda ingin sedikit meningkatkan kesejahteraan buruh, sediakanlah perumahan bagi buruh di sekitar kawasan industri,” katanya. Dengan begitu, selain mereka sedikit diringankan dari sisi biaya sewa tempat tinggal, ongkos transportasi pun bisa dikurangi. Pengusaha tak akan dirugikan dengan penyediaan perumahan ini, sebab ia bisa menjadi investasi bernilai tetap yang berjangka panjang.

Cara berikutnya adalah memangkas biaya pungutan liar sehingga meringankan beban pengusaha, dan mengalihkan biaya tersebut untuk kepentingan buruh. Pemerintah tak perlu menempuh kebijakan populis yang seolah membela tapi sebenarnya dalam jangka panjang merugikan buruh. Kalau pemerintah tegas menegakkan peraturan, misalnya menindak perusahaan bengal, itu jauh lebih baik daripada membuat peraturan yang menekan, memberi beban dan mempermainkan kepastian hukum bagi pengusaha.

Begitulah, menuding “kerewelan” buruh sebagai biang keladi larinya investor, setidaknya bisa dianggap menggelikan, kalau bukan kecurangan besar-besaran, sebab dalam tuduhan itu banyak aspek yang digelapkan. Kompleksitas masalahnya tak mengizinkan siapapun untuk main tuding secara gampangan hanya lantaran si tertuding berposisi lemah.

Dan di latar belakang segenap ingar-bingar perburuhan itu, ada kerangka besar yang hingga kini tak juga disusun: Perencanaan ketenagakerjaan Indonesia yang menyeluruh, berproyeksi cukup jauh, yang harus dijadikan bagian integral dari perencanaan pembangunan bangsa.

Korupsi dan Gerak-gerik LSM

Lahan civil society yang belum matang memandulkan gerakan anti-korupsi.


Sudah agak lama sejumlah besar negara berkembang menyaksikan lonjakan gerakan anti-korupsi yang dipimpin oleh berbagai kekuatan sosial. Basis sosial gerakan-gerakan ini tak pernah dikaji secara tuntas. Yang ada hanya hipotesis umum bahwa ia merupakan ekspresi lambat dari suatu masyarakat madani (civil society) yang bertujuan memperbaiki pengaturan (governance) perekonomian mereka.

Yang jadi soal adalah munculnya keyakinan bahwa mobilisasi civil society di bawah panji-panji anti-korupsi akan secara nyata mengurangi korupsi di negara-negara tersebut.

Istilah civil society berasal dari alam pikiran Barat-Liberal yang menggambarkan suatu masyarakat yang mapan dalam jaringan hubungan sosial dan ekonomi serta norma-norma kepatutan tertentu. Jaringan itu sudah lama diterima luas di Barat, dan sudah berkesempatan dikembangkan berdasarkan dinamika konsensus bersama, dan kemudian diresmikan dalam sistem hukum. Seperti barang impor lainnya dari Barat, konsep civil society langsung diterima oleh para aktivis di negara-negara berkembang, dan dipakai sebagai cap untuk aspirasi yang dibawa oleh gerakan swadaya masyarakat.

Civil society dalam pengertian aslinya hanya akan tumbuh di negara berkembang bila pertumbuhan ekonomi sedemikian lajunya sehingga melahirkan suatu kelas menengah modern di sektor profesi dan jasa. Kelas menengah baru inilah yang membunyikan lonceng pertanda era baru yang tak sudi lagi hidup di bawah sistem "bapak-anakbuah" (patron-client relations). Ini terjadi di Thailand dan Korea Selatan. Ia tidak terjadi di India, Pakistan, atau Bangladesh.

Siklus Korupsi

Di India, Pakistan dan Bangladesh, pembangunan ekonomi belum mencapai tingkat yang memungkinkan pemerintah mereka mampu membiayai program kesejahteraan umum. Prasarana dasar saja belum mampu didukung oleh penerimaan pajak, apalagi mencapai stabilitas politik melalui pembagian rejeki secara transparan.

Sementara itu cekcok dan perpecahan di kalangan elit menjadi-jadi karena keresahan akan lambannya pertumbuhan ekonomi. Struktur dasar "bapak-anakbuah" dalam keadaan seperti itu tidak tumbuh ke arah demokrasi sosial yang modern dan transparan. Pertumbuhannya justru mengarah ke jurusan desentralisasi manajemen stabilitas politik yang agak kacau dan dikendalikan oleh pemerintah daerah.

Pada 1980an dan 1990an berkali-kali muncul gerakan anti-korupsi di India, Pakistan dan Bangladesh. Gerakan-gerakan ini didukung oleh pelbagai kelompok yang dipimpin oleh orang-orang dari golongan menengah.

Mereka selalu sukses. Pemimpin-pemimpin yang korup diganti. Tapi struktur dan pola sosial tidak berubah. Tak lama setelah pergantian para pemimpin, muncul lagi tuduhan-tuduhan korupsi terhadap rezim baru. Begitulah roda berputar tanpa henti.

Masalah Pokok

Dalam kebanyakan masyarakat negara berkembang, sistem kapitalis yang baru muncul belum diterima luas dan tidak didukung oleh stabilitas politik. Selain itu, negara tidak cukup kuat untuk memaksakan penegakan ketertiban.

"Dalam keadaan semacam ini jaringan-jaringan bapak-anakbuah-lah yang mengatur pembagian rejeki," kata Mushtaq H. Khan dalam "The Role of Civil Society and Patron-Client Networks in the Analysis of Corruption", makalah di konferensi tentang korupsi, Paris, 1997. "Stabilitas politik 'dibeli' dengan pembagian rejeki hasil korupsi."

Dalam kancah inilah terjun sejumlah LSM yang menuntut diakhirinya korupsi. Sementara itu perubahan sosial tak kunjung tiba. Apa gerangan akibatnya kalau gelanggang yang sudah begitu padat dengan pemain dimasuki oleh para pemain baru yang menuntut agar permainan dihentikan?

Mungkin mereka akan masuk ke bawah tanah, atau menciptakan bentuk-bentuk baru korupsi. Sebab maling lebih kreatif daripada polisi. Lagipula, sumber rejeki terbatas. Yang menagih terlalu banyak.

Kisah Pemberantasan Korupsi Rezim Orde Baru

Hukum adalah lembah hitam
Tak mencerminkan keadilan
Pengacara, juri, hakim, jaksa
Telah ternilai dengan angka
UANG
- MARJINAL

Ahad, 27 Januari yang lalu, Presiden Soeharto meninggal dunia. Pada hari itu juga, Konferensi Anti Korupsi Sedunia dibuka di Bali, yang rencananya akan dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tapi Presiden SBY batal hadir di Konferensi Anti Korupsi,karena pergi melayat Jendral Besar H.M Soeharto, yang selama berkuasa 32 tahun hingga hari-hari tuanya, dituding dan dituntut rakyat Indonesia telah melakukan korupsi senilai ratusan triliun rupiah.
Ada baiknya kita menyimak kisah tentang pemberantasan korupsi semasa Orde Baru, berikut ini, agar tidak kejeblos janji-janji kosong penguasa dengan lembaga-lembaga negaranya yang cenderung melakukan "tebang pilih" dalam aksi pemberantasan korupsi.
Selama paruh pertama Orde Baru banyak dibentuk tim dan peraturan anti-korupsi. Hasil besarnya berupa nol.

"Tidak perlu diragukan lagi, saya memimpin langsung pemberantasan korupsi," tandas Presiden Soeharto dalam pidato 17 Agustus 1970 di DPR-GR. Jenderal yang baru dua tahun dikukuhkan sebagai presiden itu menekankan, korupsi tidak dapat dibiarkan. Korupsi merugikan keuangan negara, yang berarti merugikan rakyat, membahayakan pembangunan, bertentangan dengan hukum, berlawanan dengan moral dan rasa keadilan.

Pada 2 Desember 1967, baru enam bulan setelah diangkat MPRS sebagai pejabat presiden, Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) untuk membantu pemerintah memberantas korupsi "secepat-cepatnya dan setertib-tertibnya." TPK diketuai Jaksa Agung Letjen Soegih Arto.

Media massa yang pada awal Orde Baru masih menikmati kebebasannya ramai memberitakan penyelewangan yang di melibatkan karyawan-karyawan ABRI. Adanya "jenderal-jenderal yang kebal hukum" pun sudah diributkan. Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Komandan RPKAD (kini Kopassus) yang ketika itu sangat dekat dengan Soeharto dan mahasiswa, menyarankan kepada Presiden agar empat jenderal ditindak demi menjaga nama baik ABRI. Sarwo Edhie dipindahkan menjadi Panglima Kodam di luar Jawa.

Skandal besar yang melibatkan jenderal-jenderal sahabat Soeharto adalah kasus Coopa (pupuk untuk Bimas) dan Pertamina. Februari 1970 rapat pimpinan ABRI memanggil Dirut Pertamina Letjen Ibnu Sutowo untuk memberikan pertanggungjawaban. Kasus Coopa dan Pertamina tak pernah sampai ke pengadilan.

Jaksa Agung Tersinggung

Suatu hari di bulan Agustus 1970, Jaksa Agung Soegih Arto dengan marah meninggalkan pertemuan dengan kelompok "Angkatan Muda" yang mau menyampaikan kepadanya Piagam Penghargaan Pahlawan Nasional dan Bintang Emas Penegak Hukum. Ejekan ini disampaikan lantaran Jaksa Agung selaku Ketua TPK "dengan keberanian yang luar biasa berhasil menyeret 9 pelaku korupsi ke pengadilan."

Sembilan koruptor itu terbukti menggelapkan uang negara antara Rp.150 sampai Rp.35.000. Padahal, dua bulan sebelumnya Kejaksaan Agung membebaskan Arief Husni, pelaku utama kasus Coopa, yang merugikan program swasembada pangan nasional.

Harian KAMI (26 Agustus 1970) menurunkan editorial berjudul "9 Koruptor, 5 Perkara dan 2 Sila." "Sebagai respons terhadap gelora anti-korupsi," tulisnya, "pendekar-pendekar kita di TPK telah membekuk, menghantam dan mematikan tidak kurang 9 orang koruptor". Lalu para koruptor itu dirinci: Moh.Jusuf (46 tahun), selama 1967-68 melakukan korupsi Rp.30.000, sama dengan 60 kg beras sebulan untuk dimakan anak-anaknya yang lapar; Alexander Johannes (67), mengkorupsi Rp.32.000, senilai 21 slof State Express yang merupakan rokok "status" pembesar-pembesar kita.

Raden Matheus Sumardi (31) melakukan "penggelapan dan penipuan" sebesar Rp.150, sama dengan 5 bungkus gado-gado di pinggir jalan; Abdulkadir (41), melakukan korupsi sebesar Rp.1500, seharga selembar kemeja buat hari lebaran; Sudjadi (33), korupsi Rp.700, senilai 9 bungkus rokok Davros; Djajadi (36), korupsi sebesar Rp.35.000, seharga dua kaca mata Persol yang biasa dipakai para pembesar kita.

Tiga koruptor lainnya: Sadeli (31), korupsi Rp.500, senilai 10 kg beras; Raden Harry Suharno (38), korupsi Rp.24.000, senilai 12 kaset pita tape-recorder Philips untuk mobil sedan anak-anak pembesar yang mau "pacaran" ke Bina Ria dengan iringan musik romantis; Zainal Arifin (42), juru-ketik yang melakukan korupsi Rp.1500, senilai 50 liter bensin premium untuk Mercedes-Benz pembesar yang mau ber-weekend di Puncak.

Harian KAMI lalu berpesan kepada para terdakwa: "Kalau Saudara-saudara digantung, maka bersama Saudara-saudara digantung pula dua sila dari dasar negara ini: Keadilan Sosial dan Peri Kemanusiaan. Sungguh berat bagi si lemah untuk hidup di negara yang kejam ini."

Undang-undang & Operasi

Di masa Soekarno, kampanye pemberantasan korupsi justru dipelopori oleh Angkatan Darat, yakni di saat berlakunya keadaan darurat perang. UU anti-korupsi belum ada, kecuali sanksi-sanksi KUHP yang mengadopsi pasal-pasal hukum jaman kolonial.

Gerakan pembasmian korupsi ditetapkan melalui peraturan-peraturan Kepala Staf AD selaku Penguasa Militer "di daerah kekuasaan Angkatan Darat". Lalu pada 1958 gerakan ini bercakupan nasional melalui peraturan Peperpu No.013, setelah MKN/KASAD menjadi Penguasa Perang Pusat. Isinya meliputi pengusutan, penuntutan, pemeriksaan pidana korupsi dan penilikan harta benda.

Baru pada 1960 muncul Perpu tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Perpu itu lalu dikukuhkan menjadi UU No.24/1960. Sementara militer tetap melancarkan "Operasi Budhi", khususnya untuk mengusut karyawan-karyawan ABRI yang tak becus. Waktu itu perusahaan-perusahaan Belanda diambil-alih dan dijadikan BUMN, dipimpin oleh para perwira TNI. "Operasi Budhi" antara lain mengusut Mayor Suhardiman (kini Mayjen TNI Pur). Ia bebas dari dakwaan.

Akhir 1967 Soeharto membentuk TPK yang dasar hukumnya masih tetap UU 24/1960. Para anggota tim ini merangkap jabatan lain. Hasil kerja orang-orang part-timer inilah yang kemudian menyeret 9 "koruptor" tadi.

Presiden Soeharto membentuk Komisi 4 pada Januari 1971, untuk memberikan "penilaian objektif" terhadap langkah yang telah diambil pemerintah, dan memberikan "pertimbangan mengenai langkah yang lebih efektif untuk memberantas korupsi". Mantan wakil presiden Hatta diangkat sebagai penasihat Komisi 4. Anggota-anggotanya adalah mantan perdana menteri Wilopo, I.J.Kasimo, Prof.Johannes dan Anwar Tjokroaminoto. Kepala Bakin Mayjen Sutopo Yuwono menjadi sekretaris.

Siswadji dan Budiadji

Di luaran mahasiswa menggencarkan kampanye anti-korupsi dengan berdemontrasi, membentuk KAK (Komite Anti Korupsi), MM (Mahasiswa Menggugat) serta menggelar pelbagai forum yang mengundang para pembicara tentang korupsi.

Di awal 1970-an itu Soeharto masih bersedia menerima delegasi-delegasi mahasiswa dan kelompok masyarakat, baik di Bina Graha mau pun di Cendana. Maret 1971 lahirlah UU No.3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU-PTPK), yang bertahan selama 28 tahun, sampai munculnya UU No.31/1999 di masa Habibie.

Di masa Soeharto, Wakil Presiden diberi peran pengawasan, sementara Presiden sendiri masih dibantu oleh tiga inspektur jenderal pembangunan (Irjenbang). Kendati sudah ada lembaga tinggi negara (Badan Pemeriksa Keuangan), pemerintah merasa perlu membentuk BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan (dan Lingkungan Hidup, PPLH).

Dengan UU dan lembaga-lembaga penegak hukum yang seharusnya menindak koruptor, pemerintah tetap merasa perlu mengerahkan Kopkamtib dan Laksusda (Pelaksana Khusus Kopkamtib Daerah yaitu Kodam) untuk melaksanakan "Operasi Tertib" memberantas korupsi, manipulasi dan pungutan liar. Opstib yang dibentuk September 1977 itu bergerak dengan jaringan Satgas Intel Kopkamtib. Di setiap provinsi dan inspektorat jenderal departemen ditempatkan inspektur Opstib untuk "mendinamisir" pengawasan.

Khusus untuk penyelundupan dan penggelapan di bea-cukai dan perdagangan ekspor-impor, dilancarkan pula Operasi 902 (1976). Operasi ini di bawah kendali Jaksa Agung. Namun banyak perkara 902 kandas di pengadilan. Istilah "mafia peradilan" mulai banyak disebut.

Begitupun, selama Orde Baru hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara karena korupsi, yaitu Deputi Kapolri Letjen Pol Siswadji (1977, divonis 8 tahun). Pegawai negeri yang diganjar hukuman paling berat adalah Kepala Depot Logistik Kaltim Budiadji, yang divonis penjara seumur hidup (grasi Presiden menguranginya menjadi 20 tahun). "Warlord" beras itu menilep uang negara Rp.7,6 milyar -- jumlah yang kala itu menggemparkan. Selebihnya yang dihukum adalah para koruptor lapis kedua dan rendahan.

Pernyataan & Ikrar

Lepas dari kadar prestasi yang dicapai dan lolosnya orang-orang dekat Soeharto, dan kendati Newsweek menulis bahwa pemerintahan Soeharto telah korup sejak hari pertama, bagaimanapun pemerintahan Orde Baru masih ditandai upaya sistematis demi menunjukkan adanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Itu khususnya berlangsung selama Kabinet I (1968-1973) sampai IV (1983-1988). Kita masih membaca berita media berisi laporan-laporan resmi tentang temuan-temuan korupsi dan penanganan perkaranya.

Ada laporan tahunan Kejaksaan Agung, laporan berkala Opstib, serta pengungkapan penertiban ke dalam oleh departemen pemerintah setiap apel bendera tanggal 17. Kantor Wakil Presiden juga membuka Kotak Pos 5000 untuk menampung pengaduan masyarakat.

Mengawali Kabinet Pembangunan III (1978-1983) misalnya, para menteri dan pejabat eselon I pemerintahan harus menyampaikan laporan pajak kekayaan pribadi kepada Presiden. Pejabat eselon II harus melaporkan pajak kekayaannya kepada menteri. Di awal periode ke-4 pemerintahannya (1983), Soeharto dalam pidato kenegaraan di DPR menegaskan "tidak akan setengah-setengah dalam membasmi korupsi."

Walau Opstib telah menyelamatkan uang negara Rp.200 milyar dan menindak 6.000 pegawai selama 1977-81, dan setiap selambatnya tiga bulan melaporkan kepada Presiden tentang penertiban di departemen dan jawatan pemerintah, toh Ketua BPK Umar Wirahadikusumah menyatakan bahwa "tidak ada satu pun departemen yang bersih dari korupsi". Sebulan kemudian, November 1981, Wakil Presiden Adam Malik menimpali bahwa "korupsi sudah epidemik".

Dan Ketua DPR-RI Daryatmo tidak yakin pemerintah sanggup menumpas tuntas korupsi. "Saya ingin tanya, apa ada satu negara atau pemerintahan di dunia ini yang bisa memberantas korupsi secara tuntas?" tambahnya dengan empatik. "Kalau ada, kepala negara yang bersangkutan akan saya sewa untuk jadi presiden di sini." Itu dikatakannya pada 1979.

Maling-maling kecil dihakimi
Maling-maling besar dilindungi

Maling-maling kecil dihakimi
Maling-maling besar dilindungi

.............................

Jumat, 18 Januari 2008

Obituari untuk Slamet Pedagang Gorengan

Ketika media massa mewartakan secara besar-besaran dan terus diupdate tentang sakitnya Soeharto... Ketika orang-orang berkumpul dan berdoa untuk kesembuhan sang jenderal besar, penguasa orde baru itu... Di sebuah pojok kolom koran pagi, saya membaca tentang Slamet (45), pedagang gorengan asal Kampung Cidemang, Kelurahan Pandeglang, Kabupaten Pandeglang, Banten,yang mati bunuh diri.

Ia nekat gantung diri hingga tewas di sebuah kamar kosong di rumahnya. Jasad Slamet pertama kali ditemukan oleh istrinya yang baru pulang dari berbelanja di Pasar Badak, Pandeglang. Tubuh ayah empat anak itu sudah menggantung di tengah kamar, dengan seutas tali plastik melilit di lehernya.

Sehari-hari Slamet bekerja sebagai pedagang gorengan di Pasar Badak, tepatnya di tepi Jalan Raya A Yani. Belakangan ini, kata istrinya, pendapatannya semakin menurun.

Slamet tambah tertekan saat minyak tanah sulit didapat dan harganya melambung. Apalagi kenaikan harga minyak tanah bersamaan dengan melonjaknya harga sejumlah bahan pangan, seperti tepung terigu, tepung tapioka, tahu, tempe, sayuran, dan minyak goreng.

Saya tidak berdoa untuk Soeharto, sang tiran orde baru... Saya berdoa untuk Slamet dan berjuta-juta slamet-slamet yang lain, kaum subaltern, yang termarjinalkan.

Istilah "subaltern" diadopsi dari pemikir Italia, Antonio Gramsci, yang menggunakan istilah itu bagi kelompok sosial subordinat, yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subyek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa.Kaum subaltern yang selalu bungkam dan menjadi mayoritas bungkam senantiasa menjadi obyek pemiskinan.

Slamet adalah korban dari kebijakan pemerintah yang membuka pasar bebas seluas-luasnya. Dan korban-korban yang lain kini dalam daftar tunggu, selama kita terus bungkam, menjadi mayoritas bungkam. Mungkin ada di antara kita yang berteriak, "Lawan, lawan, lawan kemiskinan!"

Tapi, teriakan itu berasal dari persepsi yang salah kaprah dalam membaca situasi, karena yang perlu dilawan kini adalah proses pemiskinan. Kaum subaltern seperti Slamet bukanlah orang miskin absolut. Ia mempunyai potensi, sekadar modal (kapital) tetapi hidupnya selalu diombang-ambing oleh kelas-kelas yang berkuasa. Harga-harga kebutuhan pokok melambung, penggusuran terjadi di mana-mana. Kesempatan untuk hidup semakin sempit, dalam lorong kecil di negeri ini.

Mungkin ada yang bilang tindakan bunuh diri adalah sesuatu yang percuma. Tapi dibalik
keputusan menggantung diri diambil, karena tak ada orang tertindas yang bisa bicara. Tidak dapat berbicara adalah metaphor karena ia mencoba berbicara, sehingga secara metaphor Anda dapat mengatakan tidak ada keadilan di dunia. Orang tidak menaruh perhatian pada subaltern. Di berbagai tempat di dunia, di sepanjang sejarah manusia, selalu ada orang-orang yang secara absolut tidak punya suara dan tidak dapat berbicara.

Sedihnya, hal itu selalu berhubungan dengan situasi saat ini. Selalu ada orang-orang yang dibungkam. Itu sebabnya jangan menjadi mayoritas bungkam, tak bersuara.


Ketika orang-orang yang selama 30an tahun dibungkam berdoa untuk Soeharto sang tiran... Hari ini saya berdoa untuk Slamet, pedagang gorengan yang gantung diri kemaren di rumahnya. Semoga roh Slamet dilapangkan jalannya ke alam baqa, dan kepada kita yang terus menerus bungkam di alam fana ini, barangkali Slamet meminta kita lebih lantang lagi bersuara... Menyuarakan kebenaran... Menyuarakan realita kaum subaltern yang termarjinalkan.

Sebelas Tahun MARJINAL

Pada bulan Desember 2007 yang lalu, Marjinal bermain musik pada gelaran pameran bertajuk Ibumi – ibu bumi, di sculpture park Garuda Wisnu Kencana, Jimbaran, Bali. Pameran yang melibatkan seniman dari Bali, Yogyakarta dan Bandung itu adalah rangkaian gelaran kesenian yang bertepatan dengan Konferensi Perubahan Iklim (Climate Change Conference),yang melibatkan sebanyak 189 negara anggota PBB yang konsen terhadap lingkungan.

Dipilihnya Bali sebagai tempat konferensi tersebut karena Bali dipandang memiliki konsep hidup untuk mencintai lingkungan, melalui "Tri Hita Karana", hubungan harmonis dengan lingkungan, antarmanusia dan Tuhan.
Dengan gitar dan jimbe yang ditabuh rampak, Mike dan Bob menyanyikan Hukum Rimba, Negri Ngeri, Marsinah, dll. Marjinal cukup membetot perhatian hadirin.
“Baru kali ini kita main di acara pameran, di depan seniman,” ujar Bob seusai bermain musik.
Kemudia dia dan Mike bersama para seniman berjalan sejauh duaratus meter menuju tanah lapang yang dipeluk bukit-bukit kapur Jimbaran. Di sana, para seniman dan siswa-siswa dari sekolah-sekolah di Jimbaran, menanam ratusan bibit pohon damar.
Marjinal berkesempatan pula berkolaborasi dengan sekeha gong Banjar Ungasan-Jimbaran, yang memainkan gambelan Bali. Mike dan Bob menabuh jimbe bersahut-sahutan dengan suara kendang, kencreng dan gong. Suasana semakin hangat. Gerimis pun urung turun di bukit-bukit Jimbaran.
Di tempat yang lain, di Nusa Dua, para pemimpin dunia sedang mengadakan konfrensi. Pemanasan bumi (global warming), menjadi topik utama. “Ini momen kita menyuarakan kepada dunia, perlu ada sistem yang baru untuk menyelamatkan bumi dari emisi gas rumah kaca. Amerika harus mendengar jeritan umat manusia. Indonesia jangan sampai cuma ketiban malapetaka akibat nafsu buta industri mereka,” kata Mike kepada para seniman.
Pelbagai bencana alam di Indonesia, menurut Mike, adalah akibat dari sistem yang yang mengedepankan ketamakan manusia. Pohon ditebang. Terumbu karang hancur. Tanah longsor. Banjir, dll.
“Gue ingat kampug kita, jadi langganan banjir,” celetuk Bob.
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, para seniman berkesempatan berziarah di desa-desa yang tertelan lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Matahari bersinar sangar. Panas menyengat. Kubah sebuah mushola nampak menyembul. Di sudut lain nampak pucuk atap-atap rumah. “Di sana pabrik tempat Marsinah bekerja,” ujar seorang tukang ojek, telunjuknya mengarah pada atap seng yang sedikit menyembul di padang lumpur panas. Asap masih mengepul. Marjinal menyenandungkan Marsinah, sebuah ode untuk buruh perempuan yang mati memperjuangkan hak-hak buruh itu.
Tiba-tiba seorang mahasiswa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, yang mempunyai masa kanak-kanak di sebuah desa yang kini tertelan lumpur panas, spontan membuka busana. Mulutnya menggumamkan lata-kata, mungkin mantra. Ia ingin menggelar performance art. Tapi dengan sigap dicegah aparat yang membopongnya menjauhi lumpur panas. Asap lumpur masih mengepul. Sang seniman histeris. Meradang. Menerjang. Para seniman yang lain menenangkan.
Rombongan melanjutkan perjalanan.
Di Yogyakarta, Bob dan Mike berkolaborasi dengan pelukis Dipo Andi. Mereka menuangkan perjalanan ziarah ke lumpur panas Lapindo dalam sebuah lukisan. Bob melukis wujud tengkorak berdasi. Dipo Andi membuat sapuan bidang dan garis lalu membubuhkan tulisan BAH NERAKA. Mike menuliskan lirik lagu Luka Kita. Novelis Muhidin M. Dahlan tak ketinggalan menuliskan kalimat yang ia kutip dari Mahatma Gandhi:” Bumi adalah sorga/ yang rusak jadi neraka/ oleh orang-orang dungu hiruk-pikuk…
Di penghujung 2007, Marjinal pulang kampung, kembali ke markas di Setu Babakan, Jakarta. “Gue kangen nyokab,” kata Bob, yang merindukan bertemu ibunya. Sedangkan Mike menyiapkan acara mancing bersama warga di sebuah empang yang dikelola secara swadaya. “Mancing itu kebutuhan. Sambil merenung dan melatih kesabaran. Baru kepikiran… Marjinal udah jalan sebelas tahun…,” kata Mike sambil menghela nafasnya.
Sebelas tahun Marjinal berjalan. Ibarat seorang bocah yang lagi gesit-gesitnya, ingin mencoba ini dan itu dengan rasa ingin tahu nan besar. “Marjinal sebagai komunitas memang sebelas tahun jalan, tapi yang terlibat di sana kan udah bukan bocah lagi. Komunitas ini bukan ruang bermain bocah lagi, tapi jadi suatu jalan hidup,” tutur Mike.
Menurut Mike, apa yang dicapai Marjinal hari ini adalah tidak lepas dari dukungan warga kampung Setu Babakan.
Marjinal telah merilis empat album: Ditindas atau Bangkit Melawan, Anty Military, Termarjinalkan dan Predator. Melalui lagu-lagu yang dikumandangkan empat album itu, Marjinal mulai dikenal publik, khususnya scene punk.
Sebagian besar publik mengetahui Marjinal hanya dari lagu-lagunya. Mereka gak tahu, personil Marjinal seperti apa. Publik baru tahu kemudian setelah Marjinal diundang manggung di beberapa gelaran musik (gigs) di beberapa daerah, sampai ke kampung-kampung di pojok paling pelosok Indonesia. Ketika bertemu player Marjinal, orang-orang makin suka karena mereka mudah diajak bersahabat.
Dalam setiap gigs, Marjinal selalu membuka work-shop cukilan kayu dan cetak sablon. Pada waktu tertentu kadangkala diisi diskusi yang serius. Atau sekadar bincang-bincang santai. Ternyata Marjinal jenaka pun bisa!
Awalnya, orang kalau melihat sosok Mike yang tinggi atletis dengan tattoo yang tergambar di pergelangan, leher hingga kepalanya, yang dilebati rambut gimbal, bikin orang ketar-ketir juga. Tapi begitu melihat seulas senyum dan vokalnya yang rada empuk bersahabat, orang-orang pun mendekat menjabat tangannya. Atau saling bertegur-sapa.
Sedangkan dengan Bob, walau sekujur tubuhnya dirajah dengan ornament tribal serta gambar pencakar langit plus Monas di betisnya… Bob langsung menyapa dan mendekat pada orang-orang yang rada canggung. Bob langsung mengajak bercanda-ria dan menyanyi bersama.
Publik pertamakali mengenal Marjinal, tentu saja, dari lagu-lagunya. Empat album yang telah dirilis beredar di lapak atau distro, bahkan dari tangan ke tangan, namun kini sudah dibajak pula dan beredar di kakilima di pelbagai pojok pelosok Indonesia. Selain itu, publik mengenal Marjinal dari desain cetakan sablon di kaos, yang merupakan bentuk aplikasi karya seni grafis cukilan kayu Marjinal. Kaos desain-desain Marjinal pun kini telah dibajak dan beredar di kaki lima di pelbagai pojok pelosok Indonesia.
“Sampai saat ini kita biarin karya kita dibajak. Hitung-hitung bagi-bagi rejekilah! Itu salah satu bentuk kemenangan komunitas punk, bias diterima secara luas,” ujar Mike sambil terkeh-kekeh.
lirik lagu-lagu Marjinal, menurut pengakuan sebagian besar kaum muda, sangat mewakili kenyataan hidup mereka yang termarjinalkan. Lirik-lirik lagu itu menggedor kesadaran mereka, agar melihat kenyataan lingkungan lalu bangkit menolong diri sendiri. Lagu-lagu itu memberi inspirasi agar kaum muda hidup mandiri.
“Marjinal itu purba banget,” kata seseorang pemuda dari Indramayu, yang enggan disebutkan namanya.
Lho, kok purba?
“Ya, sebagian besar publik pendengarnya tahu Marjinal cuma dari lagu-lagunya,” kata pemuda itu. Ia pun bersama beberapa temannya ketika liburan pergi ke markas Marjinal di Setu Babakan. “Kehidupan orang-orangnya sama persis kayak lagu-lagunya!” katanya.
Yup! Publik mengenal Marjinal dari lagu serta karya seni grafis, cukilan kayu yang diaplikasikan dalam sablon kaos, emblem dan pin. Sebagian besar karya cukilan kayu itu adalah bentuk narasi senirupa yang bersumber dari lirik-lirik lagu Marjinal. Mereka menyadari, lagu dan visual art sebagai media yang sangat ampuh membangun kesadaran kaum muda.
“Kita gunakan ruang publik kota sebagai tempat pameran. Kita berkompetisi dengan media visual yang lain, seperti iklan dan program pemerintah. Poster cukilan kayu dan stensil kita gunakan buat media penyadaran agar kita tidak melulu konsumtif. Kita anti konsumerisme yang selalu diiklankan di ruang public. Makanya kita harus berani merebut ruang publik sebagai ruang media visual kita!,” ujar Bob yang seringkali menggelar karya komik, cukilan kayu dan stensil di beberapa stasiun kereta api.
.
Kita berada di tengah kultur visual abad 21. Revolusi teknologi informasi dan komunikasi telah menjelma dunia jadi medan kecamuk citra. Pada abad digital ini tiap detik dunia digempur oleh citra yang datang-pergi silih berganti dengan agresivitas dan intensitas tinggi. Invasi citra kini telah dan makin jauh menembus teritori realitas. Dengan kapasitasnya melesatkan imajinasi tanpa batas, citra mampu memanipulasi realitas, atau bahkan menggantinya dengan realitas rekaan yang lebih “real”, lebih meyakinkan, lebih otoritatif.
Tapal-tapal batas antara yang natural dan artificial, antara yang “sungguhan” dan “bohongan”, bukan saja semakin kabur, tapi juga tidak relevan lagi.
Menjadi penghuni pada zaman ini berarti hidup dalam sebuah kebudayaan didominasi gambar, simulasi visual, stereotype, ilusi, reproduksi, imitasi dan fantasi. Masyarakat pascamodernisme dewasa ini dihidupi dan menghidupi rezim budaya citra, dengan citra visual sebagai panglima.
Dari halaman koran dan majalah, reklame di pinggir jalan, televisi, VCD, DVD, handphone, internet dsb, citra visual membanjiri seluruh dunia hingga ke pojok paling [elosok sekali pun, mengepung setiap individu dengan semua kekuatan seduktifnya berkembang biak dengan subur, teramat subur, over provokatif. Menginvasi segala sector kehidupan dan akhirnya menenggelamkan seluruh tubuh masyarakat kontemporer: mengubahnya jadi “masyarakat tontonan” (society of spectacle), sebuah masyarakat yang menggantungkan eksistensinya pada tampilan, kosmetik efek atraktif –spektakuler. Inilah masyarakat dimana kemasan lebih bernilai ketimbang isi, impresi lebih penting ketimbang esensi, visualisasi lebih berguna daripada kontemplasi.

***
Punk sebagai sebuah gerakan subkultur di Inggris dan Amerika muncul dari kantong-kantong kehidupan perkotaan (urban), muncul dari masyarakat industrial. Punk di Indonesia adalah hasil sebuah transformasi budaya akibat dari globalisasi arus bawah. Sebermula punk digandrungi kelas menengah-atas kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta atau Bandung, sebagai bentuk snobisme anak muda perkotaan. Tapi semanjak akhir 1990-an, subkultur punk menjadi sebuah gerakan subkultur yang merasuk sampai desa, kampung atau dusun di pojok pelosok Indonesia.
Beberapa scene punk di kota-kota kabupaten di Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan sekarang secara berkala membuat gelaran musik (gigs), yang diikuti band-band punk dari desa-desa di sekitarnya. Sebagaian besar kaum muda itu hidup sebagai petani atau pedagang dengan latar budaya agraris yang kuat.
Secara tidak langsung, Marjinal memberi pengaruh terhadap tumbuhnya komunitas punk di Indonesia. Setidaknya, empat album Marjinal album musik punk rock awal yang liriknya menggunakan bahasa Indonesia. Marjinal juga menyuntik rasa percaya diri band-band lokal untuk menciptakan lagu sendiri dalam bahasa Indonesia, ketika band-band punk lokal berorientasi pada punk yang tumbuh di London atau New York.
Sepuluh tahun yang lalu,sulit membayangkan sebuah band punk menyanyikan lagu ciptaan sendiri yang berbahasa Indonesia. Marjinal membangun “rumah bahasa” dalam komunitas punk – bahasa Indonesia yang tidak mengalami birokratiasasi, bahasa Indonesia yang mengenali kembali rasa berbahasa, jauh dari slogan-slogan politik bahasa pemerintah yang memaksa warganya berbahasa Indonesia baik dan benar tetapi terasa garing, tanpa rasa. Sepuluh tahun yang lalu ketika band-band punk lokal masih berorientasi pada punk yang tumbuh di London atau New York.
Ketika Marjinal mencipytakan lagu berbahasa Indonesia dan menyanyikan di depan publik, mereka menuai cacian dan diremehkan. “Kok punk nyanyi lagu bahasa Indonesia,” kata Mike menirukan keluhan orang-orang ketika itu.
Scene punk sepuluh tahun yang lalu masih berkiblat pada punk di Barat. Mereka acapkali menyanyikan lagu-lagu Sex Pistols, Ramones, The Exploited, dll.
Ketika Marjinal menyanyikan lagu-lagu dengan tema kritik sosial, pun scene punk di Jakarta kaget-kagetan dan mencemooh, “Kok punk ngomongin politik!”
“Ketika itu sebagian besar band punk rock bicara kebebasan, yang fokusnya adalah hubungan lelaki dan perempuan, cinta-cintaan gitu lho. Kita menulis lagu kritik sosial. Atau lagu seperti Cinta Pembodohan yang mengkritik abis segala bentuk cinta-cintaan yang cemen itu!,” ujar Bob.
***
Sebelas tahun Marjinal berjalan melangkah tidak selalu ringan menganyun. Orang-orang datang dan pergi, hidup dan menghidupi komunitas ini. Marjinal selama sebelas tahun membangun “rumah bahasa” sekaligus menatanya, dengan nilai etos gerakan punk Do It Yourself (DIY), aktivisme politis di tingkat akar rumput yang memiliki cakupan luas dan terbuka dengan nilai-nilai kearifan lokal.
Budaya DIY terutama mencuat pada 1990-an, di Inggris, ketika terjadi percampuran antara aksi protes (sebagai aksi politik langsung) dengan kegiatan pesta (aksi perayaan, festival). Budaya ini menyerukan gerakan counter culture atau underground di Amerika pada 1960-an, di mana politik dan pesta berbaur. Budaya DIY, di tangan Marjinal, menjadi ekonomi koperasi, pemenfaatan teknologi digital dan teknologi komunikasi untuk tujuan-tujuan masyarakat bebas, dan komitmen terhadap teknologi alternative. Mengembangkan sikap berdikari (berdiri di kaki sendiri), sikap independen, termasuk dalam hal memproduksi kebutuhan-kebutuhan estetis: musik fashion, rajah tubuh, aksesoris, buku dan komik.

Punk Sejati

Perawakannya tinggi, kekar, dengan rambut berpotongan mohawk. Dia selalu sendiri, walau pun bukan tipe penyandiri. Dia selalu nampak hadir di gig scene punk di mana pun: Jakarta, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Batang, Jogjakarta, Surabaya, Kediri, Malang, bahkan sampai menyeberangi lautan, di Batam dan sekitarnya. Dari mulutnya, kita selalu mendengar rangkaian peristiwa di gig atau kisah-kisah perjalanan yang mengesankan atau cerita tentang band-band di gig. Dan setiap bertemu dengannya, ia selalu bertanya,"Ada acara di mana?" atau ia memberi informasi tentang acara di sana dan di sono... Dia boleh dibilang "penyambung lidah" band-band punk-rock. Tapi dia juga hadir di gig reggae, begitu menikmati gelaran konser Steven N' Coconut Treez. Dia begitu bebas dan merdeka, tak pernah menyakiti atau melecehkan orang. "Dialah potret punk sejati," kata seorang kawan.

Saya tidak tahu bagaimana persisnya dia hidup selama di jalan. Tetapi yang jelas dia bekerja. Pagi atau siang hari bisa dijumpai mengamen di sekitar Gambir. Malam hari bekerja sebagai buruh bangunan. Dia begitu nyaman dengan jalan hidupnya. Pekerjaan, apa pun aktivitas itu, tidak mengikat kebebasannya untuk terus berjalan mendatangi gig, dari kota ke kota, dari desa ke desa. "Aku lebih menikmati jalan-jalan di pelosok desa, ketemu orang-orang yang baru kukenal," katanya suatu hari.

Dia selalu jalan sendiri, walaupun bukan tipe orang yang penyendiri. Dia tak pernah terlihat bergerombol. Dia selalu ringan-tangan, membantu orang. Kadang dia dekat dengan para seniman/perupa yang sedang berpameran di Galeri Nasional. Matanya dengan awas mengamati sekelilinginya, dan tanpa sungkan bertanya ini dan itu. Hidupnya mengalir, rasa humornya tinggi.

Dia adalah punk sejati. Dia ada, di sekitar kita...

"Apakah Aku Kapitalis?"

Suatu malam, di Desa Sumber, Cirebon, beberapa anak muda berkumpul di sebuah rumah, saling bersilaturahim. Sebagian besar adalah anak muda yang berprofesi sebagai wiraswasta. Ada yang berdagang buah, petani, pengerajin bola-bulu badminton, pemilik distro, dll.

Acara kangen-kangenan yang diselingi makan-minum ringan (mamiri), kadang menukik pada sebuah topik yang dalam. Ada satu-dua yang begitu gandrung dengan wacana anti-kemapanan, anti-kapitalisme, dan sederet anti-anti yang lain, yang begitu seksi hingga membetot perhatian anak muda sampai di kaki gunung. Sebagian besar pemuda itu sangat kecewa dengan sistem yang jauh dari rasa keadilan.

Mereka adalah pemuda desa yang berusaha mandiri dengan bertani di sawah atau berdagang di pasar. Mereka adalah pemuda yang berdikari, berdiri di kaki sendiri. Ada suatu pertanyaan yang menarik muncul dari seorang pemuda yang berasal dari Cirebon Girang,"Saya sehari-hari berdagang untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari, apakah saya kapitalis?"

Kapitalis? Kata itu seperti momok, apalagi kalau digambarkan dalam bahasa komunikasi visual, seorang yang gemuk tambun dengan hidung menyerupai hidung babi duduk di kursi singasana sembari mengepulkan cerutu... Tapi begitu melihat sosok pemuda desa dari Cirebon Girang yang malam itu membawa anak dan istrinya, menyusuri jalan-jalan dari balik bukit untuk datang bertemu dengan kawan-kawannya di sebuah rumah di Desa Sumber... Semua gambaran kapitalis yang satiris itu tidak cocok, bahkan jauh sekali dari kenyataan kesehariannya.

Kapitalis, berasal dari kata "kapital" yang berarti modal, dan pelaku ekonomi pasar yang memutar modal yang kecil untuk keuntungan sebesar-besarnya untuk mematikan pesaingnya adalah kapitalis. Dalam berniaga mendapat keuntungan dua kalilipat masih wajar dan adil, karena para pedagang harus mengeluarkan ongkos transportasi, disamping uang makan-minum dan rokok selama berdagang.

Wacana anti-kapitalis yang berkembang di negeri ini kadangkala tuna rujukan, ngawur dan sinis. Padahal dunia perniagaan harus berkembang dan wajib dikembangkan di desa-desa. Para pemuda harus bergiat berproduksi dan menjual produknya. Mengapa kita begitu puas menjadi konsumer, membeli dan memakai produk impor, dan melecehkan pedagang dari anak negeri sendiri? Inilah kontradiksi-kontradiksi yang berkembang yang patut dipangkas secepatnya.

Melihat air-muka pemuda dari Cirebon-Girang yang bersemangat dan gigih itu, kita teringat pada para pemuda desa di seluruh pelosok Indonesia. Ada optimisme dalam hidupnya, energi dan produktifitas, disamping rasa ingin tahu yang besar terhadap perkembangan sejagat. Sayang sekali kekuatan dan pengetahuan yang bertautan dengan kearifan lokal itu dipatahkan dengan wacana anti-ini dan anti-itu yang kini berkembang ngawur, sinis dan tuna rujukan.

OI! Punk, Ayo Diskusi!

Dinamika scene Punk di seantero Jakarta begitu dahsyat! Tapi sayang, sekali lagi sayang, hanya sebatas gosip, rumor dan sikap pro dan kontra. Khususnya ketika isu anti media dihembuskan sejak awal tahun 07, terkait Marjinal sebagai narasumber dalam acara Urban yang mengangkat tema punk di sebuah stasiun TV swasta nasional . Dengan sinis ada yang menghujamkan stigma bahwa Marjinal tidak Do It Yourself (DIY) lagi karena telah muncul di media mainstream. Dalam perkembangan di lapangan muncul provokasi (khususnya di gig) yang menyudutkan Marjinal dan komunitas Taringbabi. Bahkan ada pihak yang membajak desain karya Taringbabi, "Mari Berdansa Rame-rame" dengan imbuhan "di Tipi" dan menjualnya ke pasar. Aneh. Heran! Kita masih ingat bagaimana pihak yang membajak tersebut, selalu mengkampanyekan "anti pembajakan" tetapi dalam kenyataannya telah melakukan pembajakan desain, ditambah imbuhan kata-kata sinis. Alhamdulilah! Taringbabi pun bahkan mencetak kaos serupa, tapi pasti yang original, kreatif, inovatif , segar tanpa caci maki.

Perkara anti media yang menimbulkan pro dan kontra pada scene punk di seantero Jakarta dalam perkembangannya juga berbuntut intimidasi terhadap teman-teman street punk yang ngamen menyanyikan lagu-lagu Marjinal. Pengamen di kawasan Blok- M, misalnya, selalu mendapat tekanan apabila menyanyikan lagu-lagu Marjinal atau memakasi kaos desain produksi Taringbabi. Kalau semua itu sekadar wacana, ya... kita menyambutnya sebagai sebuah dinamika. Tapi pro dan kontra anti media telah menjurus pada aksi intimidasi dan kekerasan. Khususnya kekerasan di gig!



Aksi kekerasan di gig, menurut gue, adalah sesuatu bentuk teror yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kita semua harus mempunyai kesadaran yang sama untuk menolak kekerasan di gig. Band harus mengkampanyekan kepada semua scene punk untuk menolak kekerasan di gig yang akan memicu aksi kekerasan dalam skala luas.

Ada yang hilang dalam scene punk Jakarta sekarang: diskusi. Scene punk Jakarta tidak menyelesaikan permasalahan didalam dengan diskusi. Pro dan kontra anti media, misalnya, dapat saja diselesaikan dengan diskusi. Tidak dengan jalan provokasi lewat SMS serta menjelek-jelekan di belakang. Ada gejala munculnya hipokrasi (munak) dalam pergaulan: lain di depan, lain pula di belakang...

Terlepas dari pro dan kontra anti media, gue mengajak semua scene punk di Jakarta untuk lebih peka melihat gejala kekerasan di gig. Masalah kekerasan di gig, di negeri ini, memang sedang marak. Ada yang terluka, bahkan meninggal dunia. Gue mangajak scene punk di seantero Jakarta untuk mendiskusikan masalah ini secara mendalam. Semua harus mempunyai kesadaran, menolak aksi kekerasan di gig.

Karena itu, mari kita diskusi, menyelesaikan masalah bersama. Marilah kita bicara sebagai punker, sahabat dan saudara, menciptakan perdamaian di lingkungan kita.

Benyamin S. Sang Legenda

Musik Benyamin merupakan rekaman keadaan sehari-hari orang Betawi dengan setting gang-gang kecil di metropolitan, kampung-kampung lama yang rapat penduduk. Ia berbicara tentang dua tetangga yang berselisih, pertengkaran tukang kredit dan seorang ibu, bahkan tentang kultilanak yang menampakkan diri. Mulanya dicap kampungan, tapi sekarang, 12 tahun setelah kematiannya, anak-anak muda, kalangan yang tak pernah bersentuhan langsung dengannya, memajang wajahnya di dada baju kaus mereka.
1.
ENTAH sudah berapa ribu kali si Badut mati. Tapi lagu ini bercerita tentang suatu fragmen di hari Jumat Kliwon, manakala si penyanyi siap-siap memandikan burung kesayangannya. Si Badut, perkutut itu, burung peninggalan Majapahit, berhak mendapat perlakuan istimewa –kita mendengar suara bariton si penyanyi yang menyusun argumen. Tapi istrinya ogah mengerti, seraya tak melihat jalan lain buat si Badut kecuali dua: dibiarkan bebas atau disembelih. Hidup sudah melelahkan, dan tanpa merawat burung sekalipun seorang ibu rumah tangga harus main akrobat mengurus keluarga.

Perkutut lagu tahun 70-an, dan kita tahu, dibawakan oleh duet Benyamin S.-Ida Royani dalam irama gambang kromong modern yang mengajak kita membayangkan sebuah keluarga Betawi. Ya, keluarga di sebuah rumah sederhana: ada sang istri sedang berjuang di dapur, ada suaminya lagi mematut-matut burung. Musik bertempo sedang. Di antara iringan drum ketimbang gendang, bas elektrik ketimbang gong, kita mendengar Benyamin menyeret lagu itu perlahan keluar konteks, lantas mendaratkankannya persis di tengah-tengah tafsir yang erotis. Sangat asosiatif, ia mengalunkan lirik yang intinya kira-kira mengingatkan: ada “burung” lain di luar perkutut itu.

Di penghujung lagu, si Badut kembali ke sosok semula, seekor perkutut. Kita tahu Benyamin tak akan membiarkan burungnya terbang bebas, apalagi disembelih. Tapi nasib si Badut tak bagus: ia mati diterkam kucing. Tragis, namun suara Benyamin terdengar enteng, mungkin sedikit geli, menyaksikan usahanya yang begitu gigih mempertahankan makhluk kesayangannya gagal oleh kejadian yang tak pernah dibayangkan.

Perkutut jenis gambang kromong yang biasa dinyanyikan Benyamin – tokoh yang duabelas tahun yang lalu berpulang, tapi hingga sekarang tetap “hidup” bersama film-film dan album-album lagunya. Sebenarnya Benyamin S., putra kelahiran Kampung Bugis, Kemayoran, bukan orang pertama yang membawakan gambang kromong. Ada Rachmat Kartolo dan Franz Daromez, dua penyanyi bersuara hebat, bertampang cakep, yang lebih dulu hadir di dunia itu tahun 1960-an. Tapi, dari perkembangan waktu, tersingkaplah bahwa wajah dan penampilan fisik ternyata bukan modal utama keberhasilan di dunia itu. Dan Benyamin membuktikan bahwa humor adonan inti musik itu. Segalanya tidak bisa diambil terlalu serius.

Humor Benyamin humor Betawi. Dia bisa berbentuk slapstick yang biasa kita dapatkan di sepanjang perjalanan film komedi –dari film bisu Charlie Chaplin dulu hingga Dono Warkop. Prinsipnya: pokoknya tak ada yang lebih lucu dari kesialan orang. Baik orang lain maupun diri sendiri. Dan perbedaan antara Chaplin, Dono Warkop dan Benyamin mungkin terletak pada kemampuan Benyamin mengungkap itu sonder bahasa gambar sama sekali. Dalam album-albumnya, ia mengartikulasikan slapstick melalui bahasa yang lebih terbatas, bahasa musikal, bahasa lisan. Tentu, bahasa lisan yang sanggup melukiskan suasana dengan akurat.

Lagu Ondel-ondel adalah salah satu puncak humor jenis ini. Ondel-ondel jenis gambang kromong yang mempunyai kekayaan ritme cukup melimpah. Dari liriknya, kita pun bisa menangkap setting kejadiannya yang unik: di sebuah arak-arakan pengantin sunat, ketika ondel-ondel jadi pemandangan yang menghibur. Tiga serangkai bapak-ibu-anak ondel-ondel pandai ngibing mengikuti tepukan gendang yang hot. Namun, panorama ini sekonyong-konyong menjadi tawar jika dibandingkan dengan kejadian yang lebih seru selanjutnya. Seorang penonton iseng, menaruh puntung rokok di atas kepala anak ondel-ondel, dan akibatnya spektakuler: sebuah hiruk-pikuk. Si anak jejingkrakan, api dikepalanya mulai berkobar, dan para pengiring pengantin sunat panik bukan kepalang. Dan puncaknya: seember air comberan memadamkan kepala yang berasap itu. Tapi penonton bukannya merasa lega. Mereka menyambut adegan itu bagian dari tontonan; mereka bersorak-sorai, horeeee....

Humor Benyamin humor Betawi. Dia bisa berupa slapstick atau humor seks, sesuatu yang selalu disembunyikan, ditabukan, tapi menimbulklan tawa jika disentuh. Perkutut mengantung keduanya. Namun, diluar itu, gambang kromong Benyamin merupakan rekaman keadaan sehari-hari orang Betawi dengan setting gang-gang kecil di metropolitan, kampung-kampung lama yang rapat penduduk. Gara-gara Anak bicara tentang dua tetangga berselisih setelah anak mereka berantem. Benyamin tangkas menangkap paradoks dari sebuah ironi: sementara kepala dan hati kedua tetangga masih panas, anak mereka sudah bermain bersama. Sedangkan lagu Tukang Kridit merekam pertengkaran tukang kridit dengan seorang ibu. Melalui tukang kridit, Benyamin membaca fenomena orang begitu mudah mengutang, tapi begitu susah membayar cicilan.

2.
BENYAMIN dan gambang kromong, dua sosok yang tak terpisah. Tapi gambang kromong bukan cinta pertama di dalam dunia musik. Gambang kromong adalah sebuah pintu belakang yang meyelamatkan Benyamin dari politik yang menuntut dan melarang. Pada tahun 1965, Koes Bersaudara masuk penjara gara-gara melanggar larangan membawakan lagu-lagu “ngak-ngik-ngok”. Tapi itu tidak membuat Banyamin meninggalkan lagu-lagu seperti Blue Moon, Unchained, Melody dan My Way. Ia memutuskan terjun ke gambang kromong setelah Blue Moon yang dibawakannya dengan apik di sebuah klub malam di Kemayoran dikecam. Dan ia dituntut menyanyikan lagu yang punya identitas Indonesia.

Benyamin tak sepenuhnya meninggalkan musik Barat. Benyamin dipengaruhi James Brown, John Mayall, Led Zeppelin, Deep Purple, bahkan Jethro Tull. Lagu Luntang-lantung yang berkisah tentang seorang pemuda putus-asa mencari kerja. Perutnya keroncongan, jalannya sempoyongan. Tapi ketika melepas penat di dekat sebuah rumah, ia disangka maling jemuran. Permainan bas dan biola dalam lagu Crying yang dibawakan kelompok John Mayall & Bluesbreakers memang hadir dalam Luntang-lantung, tapi dalam tempo yang lebih cepat. Benyamin juga mengikuti garis melodi yang sama. Ya, ia memetik ilham dari John Mayall, tapi kemudian mengembangkan dengan kreativitasnya yang acap mencengangkan.

Lagu Kesurupan mengingatkan kita akan tokoh musik kulit hitam James Brown. Dalam Soul Survivor, James Brown Strory, sebuah narasi tentang perjalanan hidup dan musik “bapak moyang musik soul” ini, ia mengaku dengan suara serak: ada perasaan luka ketika orang berteriak. Memang, suara Brown tidak melodius. Secara umum bisa dikatakan, musiknya hanya permainan irama yang teramat kaya. Teriakannya menyelip diantara ketukan: terkadang mengejutkan seperti tembakan kanon, terkadang hanya menegaskan aksentuasi barisan peniup trombon, trompet, atau saksofon. Dan Benyamin melakukan hal yang sama dalam Kesurupan. Ia nyeletuk di antara dua ketukan, mendengus, berteriak, bahkan mencuri kesempatan buat nyerocos panjang –peluang untuk menembakkan humor.

Kesurupan bergerak dalam irama soul. Lagu itu dialog imajinatif antara Benyamin dan setan yang tiba-tiba numpang di tubuh anaknya. Setan yang tersinggung lantaran pondokannya di pohon asem diusik, diinjak dan ditendang sang anak. Setan bandel itu akhirnya angkat kaki, berjanji tak akan kembali lagi, setelah diusir dengan paksa. Di sepanjang lagu, Benyamin memperlihatkan spontanitasnya. Sementara dari tradisi musik gospel di Amerika ada James Brown yang biasa mendengus dan berteriak spontan, dari tradisi musik Betawi ada seorang Benyamin yang memiliki senggakan yang membuat musik bergelombang, tidak datar, tidak monoton.

Musik Benyamin: gambang kromong, blues, soul, keroncong, dan lain-lain. Dari instrumen yang digunakan, kita tahu gambang kromong punya peran dominan. Musik yang memadukan alat-alat musik Indonesia, Cina, dan perkusi Eropa. Namanya diambil dari dua alat Indonesia: gambang (xylophone) dan kromong (gong kecil). Tapi instrumen musik yang digunakannya meliputi rebab dua senar, suling, gong, kendang, kecrek, saksofon, organ dan gitar Hawaiian.

3.

KALAU pergi ke Kemayoran, di daerah Jiung, pasti lu lihat lalu-lintas yang padat ramai. Metromini 24, motor, mobil pribadi, bajaj, bus patas AC Mayasari Bhakti jurusan Pulogadung-Tanjung Priok melintasi jalan padat di tepi Kali Sentiong yang hitam pekat, mirip cincau. Wilayah ini memang jadi jalan lintasan dari Sunter, Kemayoran, Senen, dan Cempaka Putih.

Persis di depan jalan yang kukuh itu, terletak Jalan H. Ung, sering disingkat Jiung. Ketika sang jalan melintasi Kali Utan Panjang, tampak berderet rumah yang sudah dijadikan tempat usaha, bengkel, warteg (warung tegal). Di sebelah warung nasi ini berdiri rumah kerabat ibu Benyamin yang kabarnya akan dijual. Sekedar info, kebanyakan rumah yang ditempati keluarga besar Benyamin S itu sudah beralih ke tangan pendatang. Kini tempat tinggal mereka sudah masuk gang.

Seorang tukang rokok menunjukkan detail lokasi wakaf Benyamin. Ya, almarhum memberikan tanah wakaf seluas 150 meter persegi itu kepada masyarakat setempat untuk keperluan umum. Konon, Benyamin juga berpesan: kalau anak, cucu, dan keponakan hendak menikah, cukup di tanah wakaf itu saja.

Di atas tanah wakaf kini berdiri taman kanak-kanak Al-Quran (TKA) dan taman pendidikan Al-Quran (TPA) Al-Mawadah. Di depannya tertulis “wakaf tanah almarhum H. Bunyamin Sueb, Jl. H.Ung RT.001/003. Utang Panjang, Kemayoran”. Di tempat ini Benyamin menghabiskan masa kecilnya. Tentu waktu itu belum ada perosotan dan lantai semen.

Tapi kenapa namanya menjadi Bunyamin, bukan Benyamin? “Itu salah. Anak Benyamin sudah protes sama lurah. Namanya kan Benyamin,” ujar Cing Su, kakak ipar Benyamin, istri kakak lelakinya, almarhum Saidi. Cing adalah sebutan masyarakat Betawi untuk bibi. Perempuan yang kelihatan masih energetik di usia yang beranjak 70 tahun itu tidak tahu bahwa nama Benyamin Suaeb itu sesuai dengan akta dan diganti Benyamin ketika ia mulai tenar dengan alasan supaya mudah diucapkan. Rumah Cing Su adalah tempat Benyamin tinggal. “Benyamin pernah tinggal di sini juga sampai anak-anaknya duduk di sekolah dasar,” kata Cing Su. Dulu sekitar daerah itu berdiam sanak saudara; ibu Benyamin yang bernama Aisyah dan ayahnya, Suaeb. Anak-anak mereka Rohani, Muhammad Nur, Otto Suprapto, Rohaya, Munadji, Ruslan, Saidi dan si bungsu Benyamin. Mereka sudah lama wafat. Saidi, kakak yang paling akrab yang juga menciptakan lagu-lagu Benyamin, meninggal enam tahun yang lalu.

Tak ada foto Benyamin yang dipajang di rumah Cing Su. Yang ada malah foto Beim, putra Ben yang menjadi anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), berdua dengan anak laki-laki Cing Su dan foto anak cucunya. Cing Su mengeluarkan foto Benyamin, Saidi dan dia ketika tahun 70-an, di antaranya perayaan ulangtahun Beib—putra sulung Ben—di tanah wakaf, dimeriahkan oleh Ida Royani, Franz Damorez dan band. Ironisnya, album ini sudah tak punya “baju” –kendati masih dilindungi plastik bening pembungkusnya. Foto itu juga mengabadikan istri Ben, Noni ketika belum bercerai. Beberapa ada yang sudah menjamur kena air.

"Welcome To Taringbabi"

Judul di atas adalah judul sebuah film dokumenter karya Mash, mahasiswa antropologi Humbolt University, Berlin, Jerman yang ditayangkan pada publik bulan Juli yang lalu di Institut Global Justice (IGJ), Jakarta.

"Welcome to Taringbabi" merupakan reportase tentang komunitas Taringbabi yang juga menjadi tulangpunggung band Marjinal, sebuah band punk rock. Film berdurasi sekitar 20 menit itu dibuka dengan kemunculan Bob OI yang memandu melihat seluk-beluk aktifitas Taringbabi sebagai komunitas punk yang berinteraksi dengan warga Gang Setia Budi, Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.

KIta melihat aktifitas menyablon, cetak-mencetak dengan teknik cukil kayu (wood cut), kegiatan gotong-royong membangun jalan kampung, serta wawancara dengan Bob, Dodi, Mike dan Romi, yang menceritakan latarbelakang mereka memutuskan memilih jalan hidup sebagai punker.

Aktifitas di Taringbabi, menurut Bob, tidak ditujukan hanya untuk anggota Taringbabi belaka. Segala program yang dijalankan selama ini --khususnya keputusan untuk mengontrak sebuah rumah di tengah kampung-- adalah sebuah ikhtiar untuk belajar dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Mereka ingin mematahkan gambaran kalangan awam yang menganggap punk selalu membuat onar dan tidak produktif.

Ketika pertamakali tinggal di rumah kontrakan itu, Taringbabi sempat menjadi buah bibir atawa gosip warga karena melihat penampilan (fisik) yang sangar bertato dengan rambut mohawk. Untuk mematahkan gambaran itu, Taringbabi membuka pintu selebar-lebarnya untuk siapa pun, khususnya pemuda di Gang Setia Budi untuk melihat dan sekaligus terlibat dengan aktifitas di Taringbabi. Keterampilan menyablon kaos dan membuat emblem akhirnya dikembangkan oleh para pemuda jadi sumber penghasilan (income) yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Disamping itu, dengan ringan tangan Taringbabi bergotongroyong bersama warga dalam membangun jalan kampung. Jalan yang semua becek dan lenyah di musim penghujan kini padat bersemen sepanjang 300 meter.

Mash, sebagai film maker, lalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar kepada anggota Taringbabi. Dodi Cahyadi, musisi band Dislike, mengakui bahwa setelah menjadi punker hidupnya mempunyai tujuan dan semakin kreatif. "Dulu hidup saya seperti telur di ujung tanduk..." ujar Dodi yang berasal dari Tasikmalaya dan telah sepuluh tahun hidup bersama di Taringbabi. Sedangkan, Mike melihat gerakan punk di Indonesia muncul bersamaan dengan gerakan mengkritisi rejim Orde Baru yang fasis. Punk membentuk jaringan yang menghimpun pemuda dari pelbagai daerah di Indonesia untuk memperjuangkan kebebasan dan demokrasi.

"Welcome to Taringbabi" (2007) secara sederhana menjelaskan bagaimana kehidupan punk di tengah (kampung) masyarakat, merayakan perbedaan dengan kreatif dan produktif.

Indie Vs Major

Hujan mengguyur deras kampus Universitas Indonesia, Depok. MIke Marjinal berjalan bergegas melewati kantin dan koridor bersama Bob Oi, Haska dan Umam. Mereka basah kuyup. Sesekali Mike memeriksa telepon selulernya. Panitia Artcademi 2007 mengundangnya sebagai pembicara diskusi Indie Vs Major yang diselenggarakan ikatan alumni Fakultas Ilmu-ilmu sosial UI, 7 September yang lalu.

Memasuki ruang diskusi yang panas, Wendi Putranto, pengamat musik sekaligus kolumnis majalah The Rolling Stone Indonesia nampak dengan bersemangat melontarkan argumen-argumennya, di sebelahnya duduk, Andien seorang penyanyi yang mewakili major label. Sedangkan pembicara yang mewakili musisi Indie, Mike, tergopoh-gopoh masuk ruangan melepas jaketnya yang basah kuyup.

Andien nampak acuh tak acuh mendengar olaborasi Wendi. Ketika mendapat giliran bicara, ia hanya memberi komentar singkat bahwa musik yang diciptakan hanya untuk menghibur orang, sedangkan untuk urusan bisnis ia mempercayakan kepada label (industri rekaman) yang mengatur jadual rekaman, penjualan, promosi, konser dan royalti.

Sedangkan Mike dan Wendi menyoroti musik sebagai bagian dari budaya perlawanan (counter culture) di Indonesia masih terhitung muda dan masih mencari entitas ditengah pusaran gelombang industri musik (major label) yang cenderung menyeragamkan. Para musisi Indie label sebagai pelaku aktif harus bertahan dan dituntut lebih kreatif dalam berkarya sekaligus membangun infrastruktur baru agar musik diapreasiasi publik lebih luas sebagai media penyadaran.

Band-band yang kini tumbuh bagaikan jamur di musim hujan dalam perkembangannya harus takluk pada kemauan industri musik (label). Kondisi ini, menurut Wendi Putranto, menghambat kreatifitas. Label hanya bertolak dari bisnis semata, memaksakan musisi untuk membuat musik seperti yang dihasilkan band-band yang telah laku di pasaran. Fenomena ini cenderung memotong kreatifitas musisi. “ Dari dulu kita selalu disodori lagu-lagu cinta yang itu-itu juga, yang cenderung seragam secara tema. Tidak ada musisi yang membicarakan cinta dari sudut pandang, angle, yang lain. Ini menghambat kreatifitas, karena semua telah ditentukan label,” ujar Wendi dengan nada tinggi. Label seperti enggan melihat perkembangan pada scene musik. Kesenjangan ini melahirkan gerakan Indie label. Selain mencipta musik, para musisi juga membangun infrastruktur sendiri. Dari masalah rekaman (recording), produksi album dan jaringan distribusi melalui distro-distro.

Munculnya gerakan Indie label, menurut Mike, adalah sebuah reaksi keras terhadap industri musik (major label) yang totaliter, mengabaikan kreatifitas dan perkembangan di akar rumput. Kelahiran band punk rock seperti Sex Pistols di Inggris Raya, misalnya, awalnya dianggap aneh dan menyimpang oleh major label. Tetapi akhirnya major label mengerti karena punk rock sebagai genre musik mempunyai pengaruh yang besar sehingga melahirkan sub-genre musik lainnya. “Masalahnya, major label di sini tidak mau tahu dengan perkembangan kreatifitas pelaku musik di Indonesia. Namun publik yang cerdas mencari akses sendiri melalui komunitas,” ujar Mike yang telah sebelas tahun membangun band Marjinal dan Komunitas Taringbabi di Setu Babakan, Jakarta Selatan.

Selama sebelas tahun Marjinal telah merilis empat album yang dikerjakan secara Indie dengan distribusi di pulau Jawa, Sumatera, Bali, Sulawesi, Kalimantan hingga Papua. “Awalnya, kita tidak menduga Marjinal bisa didengar orang sampai di sebuah pulau terpencil seperti Pulau Siladen di Sulawesi Utara. Ini semua berkat bantuan teman-teman, dari tangan ke tangan sehingga musik kita bisa didengar dan diapresiasi sampai seluruh pelosok Indonesia,” tambah Mike yang kini sedang dalam proses recording album ke lima Marjinal.

Dari sekian banyak band punk rock yang ada, menurut Wendi, Marjinal mempunyai kekuatan pada musik yang berpadu dengan lirik yang menggugah kesadaran politik publik. Wendi menambahkan, banyak band punk rock di Indonesia mengabaikan kekuatan lirik dan tidak becus dalam menggarap musik.

Demikianlah butir-butir pemikiran dalam diskusi yang dihadiri sekitar 100-an mahasiswa. Di luar, hujan mulai reda. Jalanan meruapkan bau tanah.

Wawancara dengan MARJINAL

Pengantar Editor:
Agustus yang lalu, majalah TRAX membuat laporan utama "The Story So Far: 30 Years of Punk Rock". Farid Amriansyah, reporter Trax, mengajukan beberapa pertanyaan kepada Marjinal lewat e-mail, yang jawabannya kami kira berhak diketahui publik secara utuh.


- agak klise, tapi bisa cerita bagaimana marjinal terbentuk?

Bob OI: Marjinal dibentuk 11 tahun yang silam, pada 22 Desember -- bertepatan dengan Hari Ibu di kalender nasional. Sebelas tahun yang lalu, kite ketemu di sebuah kampus grafika di Jakarta Selatan. Awalnya, gue pengen kuliah, tapi makin lama semakin nggak tertarik. Apa yang dipelajari di kampus udeh kita kuasai, gue udah gape menggambar, bikin desain, demikian juga yang laen. Kebanyakan kita ketemu ngobrolin situasi di luar kampus, yang atmospherenya represif, nggak bebas mengeluarkan pendapat atau berekspresi. Lalu kita bangun sebuah jaringan namanya Anti Facist Racist Action (AFRA), yang terlibat adalah kawan-kawan yang mempunyai kesadaran melawan sistem yang fasis banget.

Kita gunakan media visual, lewat poster dari cukil kayu, baliho dan lukisan yang menggugah kesadaran generasi muda, untuk melawan sistem fasis yang diusung Orde Baru. Selain melakukan diskusi, penerbitan newsletter, dan aksi turun ke jalan... Kita secara kebetulan gape juga main musik. Ya, dengan modal gitar n jurus tiga kunci, kita maen musik, bikin lagu sendiri yang berangkat dari kenyataan hidup sehari-hari.

Mike Marjinal:Lalu kita namakan kelompok itu Anti Military. Dalam perkembangannya, Anty Military dipahami orang-orang sebagai sebuah band akhirnya... Padahal kita bukan anak band! Musik ini kan sebagai alat komunikasi kepada khalayak yang lebih luas, lebih asyik.. medium menyampaikan pesan dan jadi inspirasi untuk anak-anak di pergerakan ke depan, ketika melihat kenyataan kehidupan sosial-politik dikangkangi rejim yang fasis militeristik. Dari awal, kesadaran kita bukan sebagai anak band.

Setelah Harto digulingkan, kita melihat dimensi yang lebih luas lagi. Persoalannya bukan lagi rejim yang fasis dan rasis saja. Tapi lebih luas lagi... Negeri ini jadi negeri ngeri... Banyak tragedi, perang saudara, buruh-buruh diperas, dieksplioitasi, rumah sakit dan pendidikan begitu komersial, kereta-api sebagai sarana angkutan melayani orang seperti mengangkut binatang. So dari sistem yang fasis, anti demokrasi, terpusat dan korup.. kini menyebar ke sendi-sendi kehidupan bangsa. Kita lupa bagaimana para pejuang dulu mendirikan Indonesia sebagai sebuah nation. Indonesia kan didirikan sebagai kesatuan dari tekad para pemuda yang beragam suku, agama, latar belakang sosialnya itu bersatu membangun sebuah nation! Lalu kita ganti nama, dari Anti Military jadi Marjinal. Kisahnya, ketika Mike dapat nama Marjinal, dia terinspirasi oleh nama pejuang buruh perempuan yang mati disiksa militer," Marsinah..Marsinah... MARJINAL" Kata Marjinal sendiri waktu itu kan belum banyak dipakai untuk menjelaskan posisi orang-orang pinggiran.



- marjinal mengangkat beragam isu sosiopolitikdalam lirik kalian. Bisa cerita
apa misi kalian sebagai band?


Mike Marjinal: Lagi-lagi harus kukatakan dari lubuk hati yang dalam, cieee: "Kita bukan anak band". Sejak kita membangun AFRA kita memang punya kesadaran melawan sistem politik kotor di negeri ini, khususnya melawan ideologi fasis militeristik rejim Orba. Sejak menjadi Marjinal, kita kembali ke tengah masyarakat, belajar dari keseharian mereka sekaligus jadi inspirasi bagi lagu-lagu yang kita ciptakan. Lirik-lirik iitu kan mengangkat persoalan tetangga, kawan dan masyarakat kita. Kita cuma asal comot apa yang menjadi gelisahkan. Kita cuma jadi cermin, yang merefleksikan segala yang dirasakan masyarakat. Kita selama bertahun-tahun, di kolektif TaringBabi, hidup di tengah kampung Setu Babakan. Awalnya, mereka was-was melihat penampilan kita yang sangar, tapi lama kelamaan masyarakat merasa senang, karena kita ikut gotong-royong, membuat acara Agustusan, workshop sablon dan segala keterampilan cetak-mencetak. Setiap hari, puluhan anak-anak punk dari daerah mana aja datang ke TaringBabi, tapi masyarakat tidak lagi was-was. Pernah gue dengar ibu-ibu bilang,"Anak-anak itu rambutnya aja yang aneh, tapi hatinya baek...." Ibu-ibu juga nggak takut melihat tato, yang penting hatinya kagak bertato!

Dari sini kita kan bisa melihat hidup yang berwarna-warni, kita rayakan perbedaan dengan damai. Band Marjinal itu kan salah satu usaha kita berkomunikasi dengan masyarakat. Album atau kaset yang kita rilis secara indie juga diniatkan untuk membangun komunikasi. Kita nggak nyangka, Marjinal didengar sampai Pulau Siladen nun jauh di Sulawesi Utara sana. Ketika kita diundang main untuk scene punk Manado, kawan-kawan dari Kotamubagu datang, itu kan letaknya di pedalaman. Bayangkan, mereka datang jalan kaki. Ketika ketemu gue, ada yang langsung buka baju memperlihatkan tato bertuliskan Marjinal. Gue terharu, sekaligus bangga dengan semangat persekawanan ini...

Bob OI: Kita maen di mana aja, tidak untuk scene punk doang. Acara ulang tahun, perkawinan, peluncuran buku... Bahkan Mike sering bilang, acara apa pun kita main, ini ruang untuk berkomunikasidan silaturahmi, memperluas kesadaran kita sebagai nation, usaha kita saling belajar dan bekerja sama-sama. Pernah seorang guru, namanya Pak Sukri, dari STM YZA, Ciawi nyari-nyari alamat kita, nyasar ke sana-kemari, niatnya mengundang kita main untuk acara sekolahnya, karena murid-muridnya minta Marjinal main untuk acara perpisahan. Ditawari band lain, mereka nggak mau. Sebelum main, kita selalu membuat work-shop cukil kayu (wood cut). Mereka sangat antusias mencetak kaos polos dengan desain cukil kayu. Kalau ada waktu, kita bisa main di mana saja, asal kebebasan kita enggak dibelejeti. Karena dari kebebasan itu kita ada. Kebebasan yang mengatur diri kita sekaligus respect dengan kebebasan orang lain.


- Arti punk buat kalian?

Bob OI: Kita bikin desain kaos: Pemuda Urakan Nan Kreatif (PUNK). Ya, itulah tafsir kita untuk punk walau kata itu muncul pertama di Inggris dari sebuah karya William Shakespeare, The Marriage of Lady Windsor .Sebagai sub-kultur, Punk berkembang tahun 80-an. Punk sebagai gerakan mengunggulkan rasa toleransi dan kebebasan. Punk, sebagai sang pemula, yang pertama meneriakkan ketidakadilan dan perlawanan terhadap sistem yang korup.


-Apa arti menjadi politikal bagi kalian?



Mike Marjinal: Berusaha terlibat dengan realitas, melawan sistem yang korup, dan berusaha melakukan perubahan yang lebih baik dari hal yang terkecil, teman, keluarga, tetangga, dst.



-bagaimana kalian menjalankan etos dan prinsip yang tumbuh dan berkembang
dalam punk rock seperti konsep D.I.Y hingga beragam bentuk kesadaran
sosiopolitikal dalam keseharian baik secara personal maupun sebagai band?




Mike Marjinal: Do It Yourself itu kan sesuatu yang ideal, sehingga kita mampu berjalan di kaki sendiri, nggak tergantung dengan sistem yang nggak berkeadilan. DIY, sebenarnya kan sudah ada dalam etos perlawanan dalam budaya kita. Suku Samin di Jawa Tengah dan sekitarnya itu sudah DIY, membuat peradabannya sendiri ketika daerah-daerah lain ditindas kolonial Belanda. Mereka menanam benih, memanen dan membuat rumah secara bersama untuk kebutuhan bersama. DIY harus dilihat dalam konteks seperti itu di sini. Kita kan nggak harus copy-paste DIY yang ada di England sono, yang ditafsirkan hanya anti ini dan anti itu. Menurut gue sih, DIY itu bertolak dari Kebebasan. DIY itu bukan aturan dan aturan, seperti menolak media mainstream, TV, sponsor, dlsb. Semua hal harus dilihat hubungan sebab dan akibatnya, bukan cuma slogan anti ini dan anti itu: anti TV nasional sini tapi nongol di TV asing dengan alasan solidaritas internasional. Ini sih cipoa! Gue prihatin dengan kondisi kayak gini. Sudah lama scene punk nggak pernah mendiskusikan hal-hal yang mendasar seperti ini. Ayo kita bicara, dengan argumen yang cerdas. Tahun lalu, sebuah televisi swasta nasional meminta Marjinal sebagai nara sumber untuik sesi acara bertajuk Punk. Kru TV datang ke kita, bertanya ini dan itu dan membuat liputan kegiatan sehari-hari di kolektif TaringBabi. Ya, kita menerima dengan terbuka dan apa adanya. Tapi sebelum acara itu ditayangkan, Marjinal disembur fitnah yang keji, dianggap tidak DIY karena bekerjasama dengan media mainstream...Blaut! Kita jadi narasumber bukan untuk promosi album atau ngomong tentang isi perut band, tidak! Jadi, semua itu harus dilihat konteksnya, hubungan sebab dan akibatnya. Kalau kita kerja kita dapat duit, tapi kalau kita diundang main band, coba aja tanya yang ngundang, kita nggak pernah memberatkan tuan rumah. Paling-paling cuma dapet ongkos balik, sekedar makan-makan bareng sedunia ha..ha..ha..

Selama ini, kita hidup bukan dari band. Kita bertahan hidup dan menjalankan aktivitas dari karya yang kita jual. Desain, sablon kaos, kaset,atau nyari duit di luar. Gue kadang ngajar atau dapat kerjaan menggambar di sekolah-sekolah. Gue melukis potret. Ableh selain nyablon juga ngojek. Begitulah kenyataannya... Lagi-lagi harus ogut bilang, "Kite bukan anak band"

-pandangan akan kondisi obyektif scene punk rock lokal sekarang?



Bob Oi: Ada yang hilang dalam scene punk sekarang: diskusi. Dulu kan sempat banyak zine yang terbit, sekarang terbit tempo-tempo dan banyak nggak terbitnya, kalau pun terbit materi tulisannya adalah tulisan-tulisan yang lama, itu pun sebagian besar hasil terjemahan dari zine luar, ya... masih copy-paste!

Implikasinya scene punk nggak pernah belajar mendiskusikan persoalan-persoalan yang mendasar, misalnya tafsir tentang DIY di Indonesia dalam konteks sekarang ini. Scene punk masih bergairah dengan fashion-nya, itu yang kenceng... Padahal itu kan semua simbolis sifatnya, yang harus diungkap menjadi sebuah pengalaman dan kesadaran. Kenapa rambut mohawk ala Indian, misalnya, itu suatu bentuk solidaritas terhadap suku Indian di Amerika yang tertindas dan termarjinalkan. Mengapa punk pakai sepatu boot... Itu suatu perlawanan terhadap militer, kita pakai atribut sepatu boot untuk nginjek lumpur jalanan pasar, ngebersihin got, nginjek tokai! Yang kayak-kayak gitu belum dipahami... Orientasi punk di sini masih sebatas ngeband, main musik, ngobrolnya atau gosip=gosipnya pun masih seputar itu. Punk rock itu genre musik titik. Sedangkan punk adalah way of life, yang ngebentuk karakter kita untuk terus melawan terhadap sistem yang nggak berkeadilan dan mandiri: Pemuda Urakan Nan Kreatif, yang mengedepankan kesetaraan, menolak hirarki. Jadi nggak ada senior dan junior dalam scene punk. Semua bisa saling belajar. Bukan saling menindas, dengan melarang ini dan itu. Tidak ada polisi dalam scene punk. Kalau punk penuh aturan dan aturan yang memblejeti kebebasan... Gua orang pertama yang menyatakan diri bukan punk! Mendingan jadi nelayan di Cilincing mancing ikan di tengah laut, nggak ada yang ngelarang!

-Seberapa besar ekspektasi kalian bahwa musik kalian bisa membawa perubahan
dalam masyarakat
?



Mike Marjinal: Harapan terhadap perubahan yang diekspresikan lewat musik selalu menggelora di jiwa kita. Ketika sistem yang menindas dan korup ini merajalela, orang-orang kan selalu gelisah mencari katup pembebasan, minimal lewat musik yang didengar nyangkut di hati menjadi inspirasi untuk perubahan hidup yang lebih baik. Semua itu menjadi kesadaran yang ngasih energi, daya hidup, agar tetap survive di tengah negeri ngeri ini, dan bangkit untuk memperbaiki apa yang rusak atau selesai dalam diri kita, rumah dan lingkungan kita. Musik membentuk karakter individu yang kuat, memimpin dirinya atau rumahtangga/lingkungannya melakukan perubahan. Dari individu-individu berkarakter inilah akan dihasilkan kolektif yang kuat saling berbagi dan menolong yang lemah atau miskin. Kemiskinan kita kan tidak alamiah. Bayangkan Indonesia kan kaya, tapi kenapa kita miskin? Karena individunya lemah. Kita terlalu asyik bergerombol nonton orang ngeduk kekayaan Indonesia, kita lebih senang ongkang-ongkang dapat komisi 10 persen, yang kemudian diributkan. Hentikan itu semua! Ayo, kerja! Kalau kita kerja, niscaya karakter kita kuat! Sukarno dulu sering bicara tentang Berdikari, berdiri di kaki sendiri. Jauh sebelum DIY dikumandangkan di England sono!

Marjinal peduli dengan nation ini. Kita berusaha menulis lirik dalam bahasa Indonesia, karena kita peduli dengan nation ini, ingat Sumpah Pemuda. Awalnya, banyak yang mencibir, kok band punk liriknya pake bahasa Indonesia! Musik bagi kita kan salah satu jalan untuk berkomunikasi. Liriknya harus dipahami orang Indonesia dong. Musiknya boleh aja gado-gado, mau gambang kromong kek atau pake calung seperti Punk Lung dari Cicalengka, itu sangat kreatif, Atau terpengaruh geberan band-band punk sono, tapi lirik harus bahasa Indonesia walaupun nggak harus benar dan baik seperti yang dislogankan pemerintah. Musik itu selain enak didengar, untuk senang-senang tapi harus punya tujuan yang jelas yang diungkapkan lewat pesan yang memberi inspirasi untuk masyarakat. Kita meniru jejak Benyamin S. Semangat bang Ben serta perjuangannya, kita ambil. Terlepas genre musiknya, Benyamin.S bisa dibilang punk sejati.

-Selain lewat musik apa aksi konkrit kalian untuk mengaplikasikan lirik dan
kesadaran sosiopolitik yang kalian sampaikan
?


Bob OI: Aksi kongkrit kita, ya lebih dekat dengan masyarakat dengan membuka ruang-ruang kreatif: bikin workshop cukil kayu di gigs, ikut aktif dalam kegiatan gotong-royong. Bikin pelatihan keterampilan sablon, creative-writing, teater, melukis dan berpameran di ruang-ruang publik dan sekolah. Selain membuka ruang dialog dengan memaksimalkan media audio-visual, kayak bikin film pendek tapi bukan pendek pikiran lho.. he..he...he... Semua itu sebagai langkah awal untuk berdialog dengan masyarakat. Tujuannya bukan cuma hal yang politis doang, kita belajar, berkarya, dan bekerja sama-sama. Sehingga masyarakat terlibat dalam proses kreatif kita!


-Bagimana masyarakat disekitarnya memandang dan menerima kalian?


Mike Marjinal:Masyarakat, terutama ibu-ibu, sayang banget ama Marjinal. Kalau kita bikin acara, ibu-ibu di Gang Setia Budi, Srengsengsawah yang bantuin masak-masak. Ibu-ibu pun latihan bina vokalia bareng kita untuk kegiatan panggung Tujuhbelasan. Anak-anak muda mulai belajar nyablon, bikin tato temporer atau bikin distro di sekitar danau Setu Babakan, daerah tujuan wisata lokal itu karena di sono ada wisata perkampungan Betawi.


Bob OI: Pernah sekali gue bawa ransel gede lewat gang mau ke jalan raya. Ada yang nanya mau kemana, tiba-tiba mood becanda gue kumat,"Saya mau pindah, Bu! Kebetulan nih mau pamitan sekalian..." Ibu itu langsung protes: gue nggak boleh pindah rumah, karena dia demen ngeliat keberadaan punk di Gang. Setiabudi. Dia langsung narik-narik ransel gue sambil mau nangis. Akhirnya, gue nggak tega, gue bilang sebenarnya isi tas itu cuma kaos-kaos yang mau didistribusikan ke distro-distro, si ibu pun baru bisa ketawa... Begitulah, kita banyak berhutang budi dengan masyarakat di sana. Ada Babak Jaya yang sudah kami anggap orangtua, ada Pak Maman yang punya kontrakan yang ngasih kebebasan menggunakan rumah itu untuk aktifitas work-shop anak-anak muda, ada anak-anak TK dan SD yang datang tiap sore latihan main jimbe, ada tamu-tamu dari Jerman seperti Mash mahasiswi antropologi Humbolt University, Berlin yang sedang bikin penelitian tentang komunitas punk di Indonesia, atau tamu dari Amerika, Kanada, Prancis, dan tamu-tamu silih berganti kawan-kawan street punk atawa punk kentrung dari Kali Pasir, Jembatan Lima, Kota, Senen, Manggarai, Matraman, Blok M, Meruya, yang datang tukar cerita setelah seharuian ngamen atau kawan-kawan scene punk dari daerah: Porong, Mojokerto,Malang, Blitar, Sukabumi, Bandung, Indramayu, Makasar, Manado, Medan, Pontianak, Ambon, Lampung, Palembang, Batam, sampai Sorong-Papua.



- ada informasi tambahan, rencana kedepan atau proyek lain?


Mike Marjinal: Setelah tour silaturahmi maen di beberapa kota tahun ini: Makasar, Manado, Kotamubagu, Pulau Siladen, Sukabumi, Bali, Cirebon, Bandung, Jampang dan beberapa gigs di pelosok Jakarta, kita sekarang mempersiapkan ngegarap album kelima, masuk studio rekaman di rumah kediaman almarhum Pramoedya Ananta Toer, yang kebetulan cucunya, Adit, adalah drumer Marjinal. Kita juga lagi berkarya, bikin cukil kayu (woodcut), selama ini karya yang udah banyak diaplikasikan dalam sablon di kaos itu akan dipamerkan bulan November 2007, di Galeri Nasional, Bentara Budaya Kompas. Dan kita akan pamertan tunggal cukilan kayu sekaligus peluncuran album Predator yang sudah diperbaharui (new mastering) sekalian bikin work-shop segala,... Ntar kita kasih tahu, pokoknya mantrapsss!

Senin, 14 Januari 2008

Membincangkan Anarkisme

Apa itu “anarkisme”? apa itu “anarki”? siapa sih para “anarkis” itu?

Anarkisme adalah sebuah ide tentang hidup dengan cara yang lebih baik. Sedangkan Anarki adalah sebuah cara untuk hidup.

Anarkisme menganggap bahwa pemerintahan ( Negara ) itu bukan saja tidak diperlukan tapi juga berbahaya. Para anarkis adalah mereka yang mempercayai anarkisme dan memiliki hasrat untuk hidup di dalam anarki sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para leluhur kita dulu. Mereka yang mempercayai pemerintahan ( seperti kaum liberal, Marxis, Konservatif, sosialis dan fasis ) dijuluki sebagai “statist.”

Awalnya anarkisme mungkin terkesan sangat negatif – karena oposisinya yang mentah. Namun sebenarnya, para anarkis memiliki banyak ide positif mengenai hidup di dalam sebuah masyarakat tanpa pemerintahan. Tidak seperti para Marxis, Liberal dan konservatif, mereka sama sekali tidak menawarkan sebuah cetak biru dari masyarakat.

Apakah para anarkis itu adalah “bomb thrower”?

Tidak – setidaknya apabila kita membandingkannya dengan Pemerintah Amerika Serikat, yang lebih sering melempar bom ke Iraq setiap harinya dibanding para anarkis di dalam 150 tahun aktifitas gerakan mereka. Kenapa sih kita tidak pernah mendengar julukan “bomb throwing president”? mana yang lebih berbahaya jika para anarkis yang melempar bom dengan kapasitas individual yang setara dengan militer Amerika Serikat yang vertikal dan dominan?

Para anarkis telah aktif bertahun-tahun di berbagai Negara, di bawah pemerintahan otokratik sampai ke pemerintahan yang demokratik. Kadang ketika berada di dalam kondisi akut yang represif, beberapa anarkis merasa relevan untuk melempar bom. Namun banyak pengecualian untuk aksi semacam ini. Stereotip “anarkis pelempar bom” tersebut di buat oleh politisi dan jurnalis di akhir abad 19, dan sampai sekarang mereka masih sering menggunakannya, bahkan julukan tersebut adalah sesuatu yang terlalu dilebih-lebihkan.

Apakah pernah ada tatanan masyarakat anarkis yang benar-benar bekerja?

Ya, ribuan dari tatanan masyarakat anarkis pernah bekerja. Pada permulaan sejuta tahun ataupun lebih, seluruh manusia hidup sebagai ‘hunter-gatherers’ di dalam kelompok-kelompok kecil yang egaliter, tanpa ada hirarki maupun otoritas. Mereka ini adalah para leluhur kita. Masyarakat anarkis pernah sukses, kalau tidak, cukup diragukan keseluruhan dari kita sekarang ada disini. Negara baru berumur beberapa ribu tahun, dan memakan waktu cukup lama bagi Negara untuk menyingkirkan ‘masyarakat anarkis yang terakhir,’ seperti para San ( Bushmen ), para orang-orang kerdil dan suku Aborigin Australia.

Tapi bukankah kita tidak dapat kembali ke dalam cara hidup semacam itu?

Hampir semua dari pada anarkis akan setuju dengan pendapat tersebut. Namun bagi para anarkis, untuk mempelajari masyarakat semacam ini, tetap menjadi sebuah pembuka mata yang dapat kita manfaatkan dari ide-ide mereka yang berguna seperti: kerjasama, individualisme, dan sistem sukarela yang di praktekan oleh masyarakat tersebut. Ambil satu contoh, para anarkis dan ‘tribesmen’ seringkali memiliki metode resolusi konflik yang sangat efektif termasuk mediasi dan arbitrasi yang tidak terikat. Metode-metode mereka seringkali berhasil daripada sistem legal kita, karena keluarga, persahabatan, lingkungan para tetangga yang berselisih akan mencoba saling mendamaikan dan dibantu oleh kepercayaan dan simpati diantara mereka, lalu mencari resolusi yang masuk akal dari masalah yang dihadapi. Di tahun 1970an dan 80an, akademisi mengamati bahwa beberapa ahli mencoba mentransplantasikan metode semacam ini ke dalam sistem legal Amerika. Namun secara alami transplantasi ini pelan-pelan menghilang, karena metode semacam ini hanya dapat berhasil di sebuah masyarakat yang bebas.

Para anarkis itu naïf: mereka pikir sifat alami manusia itu pada dasarnya baik.

Tidak seperti itu. memang benar bahwa anarkis menolak ide-ide moral maupun dosa besar. Ide-ide semacam ini kepunyaan dari agama dimana kebanyakan orang tidak lagi mempercayainya. Tapi anarkis juga tidak sepenuhnya percaya bahwa sifat alami manusia itu pada dasarnya baik. Mereka melihat manusia sebagaimana tindakannya. Kenyataannya adalah manusia bebas dari segala macam ‘esensi’ ( sifat alami ). Kita yang hidup di dalam kapitalisme dan sekutunya, yaitu Negara, adalah orang-orang yang tidak memiliki kesempatan untuk menjadi apapun yang kita inginkan.

Meskipun para anarkis seringkali memperlihatkan bentuk moral yang baik di dalam masyarakat, sebanyak mereka terlihat memiliki kepentingan yang tercerahkan. Anarkisme bukanlah doktrin pengorbanan diri, walau banyak dari para anarkis berjuang dan mati dikarenakan apa yang mereka percayai. Para anarkis mempercayai bahwa memperjuangkan basis mendasar dari ide mereka akan menciptakan kehidupan yang lebih baik kepada semua orang.

Tapi bagaimana kamu mempercayai kalau orang-orang tidak akan saling mengorbankan satu sama lain tanpa adanya kendali Negara akan kejahatan?

Apabila kamu tidak percaya kalau orang-orang biasa tidak akan mengorbankan satu sama lain, lalu bagaimana bisa kamu percaya kalau Negara tidak akan mengorbankan kita semua? Apakah mereka yang berada di kekuasaan adalah orang-orang yang tidak mementingkan diri sendiri, penuh dedikasi dan lebih superior dari orang-orang yang mereka kuasai? Semakin kamu memiliki kepercayaan kepada sesamamu, semakin banyak alasan bagimu untuk menjadi seorang anarkis. Dibawah anarki, kekuasaan disebarkan dan direduksi. Setiap orang memiliki satu, dan tidak ada satupun yang memiliki lebih. Dibawah Negara, kekuasaan dikonsentrasikan, dan kebanyakan masyarakat tidak memilikinya sama sekali. Bentuk kekuasaan seperti apa yang akan kamu lawan?

Tapi—realistis ajalah—apa yang bisa terjadi kalau polisi itu nggak ada?

Sebagaimana seorang anarkis Allen Thornton mengamati, “bisnis polisi bukanlah untuk melindungi; bisnis mereka adalah balas dendam.” Mari lupakan Batman yang mengelilingi kota dengan memerangi kejahatan yang sedang terjadi. Patroli polisi tidak mencegah kejahatan atau menangkap kriminal. Ketika patroli polisi berhenti diam-diam di lingkungan masyarakat kota Kansas, rating kejahatan masih berada di peringkat yang sama. Namun ketika masyarakat bersama-sama menjaga lingkungan mereka dan saling memperingati akan kejahatan, penjahat akan memilih lingkungan masyarakat yang hanya dijagai polisi. Bagi para kriminal daerah seperti itu tidak terlalu beresiko.

Tapi Negara modern telah sedemikian dalam terlibat di dalam peraturan keseharian. Hampir setiap aktifitas memiliki semacam hubungan dengan peraturan Negara.

Memang benar – tapi ketika kamu memikirkannya lagi, kehidupan sehari-hari kita hampir semuanya adalah anarkis. Cukup jarang kamu menemui polisi kecuali ketika mereka sedang menilangmu karena mengemudi terlalu cepat. Perencanaan sukarela dan saling mengerti hadir di hampir semua aktifitas. Sebagaimana anarkis Rudolph Rocker menulisnya: “fakta bahwa di bawah despotisme pun hubungan personal manusia dengan sahabat-sahabatnya direncanakan dengan persetujuan yang bebas dan kerjasama yang solider, tanpa hubungan semacam ini kehidupan sosial tidak mungkin terjadi.”

Kehidupan keluarga, membeli dan menjual, persahabatan, penyembahan, seks, dan waktu luang adalah anarkis. Bahkan ditempat kerja, yang dilihat oleh para anarkis sebagai bagian dari Negara, para pekerja masih dapat bekerjasama diam-diam, terlepas dari genggaman bos, dengan tujuan untuk meminimalisir dan juga agar cepat menyelesaikan pekerjaan. Beberapa orang mengatakan kalau anarki itu tidak bekerja. Namun segala hal yang dikerjakan Negara berada di dalam sebuah fondasi anarki, bahkan di ranah ekonomi.

Bukankah para anarkis itu ateis? Kebanyakan orang bukanlah ateis.

Kamu tidak perlu menjadi seorang ateis untuk menjadi anarkis. Anarkis menghargai semua kepercayaan pribadi individu. Secara historis, kebanyakan anarkis menjadi ateis karena institusi agama dalam sejarah selalu menjadi sekutu dari Negara, dan juga karena mencegah orang-orang berpikir untuk dirinya sendiri. Semua anarkis menolak aliansi tidak suci antara agama dan Negara dimanapun itu, entah di Iran, Israel, ataupun di Amerika Serikat. Tapi ada juga anarkis-anarkis religius yang inspiratif seperti para anarkis Kristen ( Leo Tolstoy, Dorothy Day ), anarkis yahudi ( Paul Goodman ), anarkis muslim ( Hakim Bey ), dan para anarkis yang menganut pagan dan kepercayaan-kepercayaan relijius timur lainnya.

Budaya?

Anarkisme selalu menjadi inspirasi bagi individu-individu kreatif yang memperkaya budaya. Penyair anarkis seperti Percy Bysshe Shelley, William Blake, Arthur Rimbaud dan Lawrence Ferlinghetti. Essais anarkis Amerika seperti Henry David Thoreau dan di abad 20 seperti, si anarkis katolik Dorothy Day, Paul Goodman, dan Alex Comfort ( The Joy of Sex). Anarkis akademisi seperti ahli linguistik Noam Chomsky, sejarawan Howard Zinn, dan anthropologis A.R Radcliffe-Brown dan Pierre Clastres. Terlalu banyak Sastrawan anarkis di dalam daftar, mungkin yang lebih dikenal seperti Leo Tolstoy, Oscar Wilde, dan Mary Shelley ( penulis Frankenstein ). Pelukis anarkis seperti Gustav Courbet, Georges Seurat, Camille Pisarro, dan Jackson Pollock. Anarkis-anarkis kreatif lainnya seperti musisi John Cage, John Lennon, dan band CRASS, masih banyak lagi.

Misalnya pendapatmu tepat bahwa anarki itu adalah sebuah cara hidup yang lebih daripada sistem (Negara) yang ada sekarang ini, bagaimana kamu dapat menyingkirkannya apabila Negara memang sekuat dan seopresif seperti yang kamu bilang tadi?

Para anarkis selalu memikirkan pertanyaan seperti ini. Dan mereka tidak memiliki jawaban yang mudah. Di Spanyol, pada tahun 1936 kaum anarkis mencapai jumlah jutaan orang dan militer sedang mengusahakan kudeta, mereka membantu pekerja mengambil alih pabrik-pabrik dan secara bersamaan melawan fasis di garda depan. Mereka juga membantuk petani-petani untuk membentuk kolektif-kolektif di desa-desa. Para anarkis juga melakukannya di Ukraina sekitar tahun 1918-1920, dimana mereka terpaksa harus melawan tentara Czar dan Komunis. Namun cara-cara tersebut bukan lagi cara yang akan digunakan kalau kita ingin menyingkirkan sistem di abad 21 ini.

Apabila mempertimbangkan revolusi-revolusi yang menyingkirkan komunisme di Eropa bagian timur, banyak kekerasan dan kematian yang terjadi, kejadian ini melebihi Negara-negara lainnya. Tapi apa yang dapat menurunkan para politisi, birokrat, dan jendral-jendral—musuh-musuh yang sama yang kita hadapi—hanya karena mayoritas dari populasi menolak untuk bekerja atau melakukan apapun yang akan membuat sistem yang sudah busuk ini untuk terus berjalan. Apa yang bisa dilakukan oleh pemimpin-pemimpin di Moskow ataupun Warsaw ketika ini terjadi, menjatuhkan bom nuklir ke diri mereka sendiri? Membunuh semua pekerja yang bekerja demi kehidupan mereka?

Kebanyakan anarkis telah lama mempercayai metode yang mereka sebut sebagai ‘pemogokan besar-besaran’ dapat menjadi bagian penting untuk menyingkirkan negara. Yaitu, suatu penolakan atas kerja secara kolektif.

Jika kalian semua menentang pemerintahan, kalian pasti menentang demokrasi.

Apabila demokrasi berarti masyarakat mengambil kendali atas hidup kita sendiri, maka semua anarkis adalah, sebagaimana yang dikatakan seorang anarkis Amerika Benjamin Tucker sebagai, “demokrat Jeffersonian yang tidak pengecut” – satu-satunya demokrat yang sejati. Namun itu bukanlah demokrasi sebenarnya. Di kehidupan nyata, sebagian orang ( di Amerika, hanya segelintir orang ) memilih para politisi yang akan megnendalikan kehidupan kita dan membuat peraturan-peraturan dengan menggunakan birokrat-birokrat yang tidak dipilih juga polisi untuk menjalankannya tanpa mempertimbangkan apakah mayoritas menyetujuinya atau tidak.

Sebagaimana yang pernah ditulis oleh filsuf Perancis Rosseau ( bukan anarkis ), di dalam demokrasi, masyarakat hanya bebas di saat mereka memilih, dan di momen-momen selain itu mereka adalah budak-budak pemerintah. Dan para politisi di kantor juga para birokrat biasanya berada di dalam kendali yang kuat dari bisnis-bisnis besar, bahkan seringkali dibawah kendali bisnis-bisnis yang mempunyai kepentingan tertentu. Semua orang mengetahui fakta ini. Tapi sebagian orang terus-menerus mendiamkannya karena mereka juga mendapatkan keuntungan dari para pemegang kekuasaaan. Yang lain tetap mendiamkannya karena mereka tahu kalau protes itu sia-sia dan mereka beresiko di cap sebagai “ekstrimis” atau bahkan “anarkis” (!) jika memang seperti ini, demokrasi memang hebat ya!

Well, kalau kamu tidak memilih petugas pemerintahan untuk membuat keputusan, jadi siapa yang akan melakukan hal tersebut? Jangan bilang kalo kamu akan mengatakan kalau semua orang bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa mempertimbangkan yang lain.

Kaum anarkis memiliki banyak ide mengenai bagaimana keputusan akan diciptakan di dalam sebuah masyarakat yang bersifat sukarela dan kooperatif. Kebanyakan anarkis percaya kalau masyarakat seperti ini harus berbasis komunitas lokal yang cukup kecil agar orang-orang saling mengenal satu sama lain, atau setidaknya orang-orang akan menjalin pertalian seperti keluarga, persahabatan, dan berbagi pandangan maupun kepentingan satu dengan yang lainnya. Dan karena ini adalah sebuah komunitas lokal, masyarakat akan memiliki pengetahuan bersama atas komunitas dan lingkungan mereka. Mereka akan menyadari bahwa mereka harus hidup dengan konsekuensi atas keputusan yang mereka buat. Tidak seperti politisi dan birokrat yang memutuskannya untuk masyarkat ( yang bahkan tidak mereka kenal ).

Para anarkis percaya bahwa keputusan harus selalu dibuat di dalam level sekecil mungkin. Setiap keputusan dimana para individu bisa memutuskannya untuk diri mereka sendiri, tanpa mencampuri keputusan individu lainnya, yang juga harus membuat keputusan mereka sendiri. Setiap keputusan yang dibuat oleh kelompok kecil ( seperti keluarga, konrgregasi relijius, organ-pekerja, etc ) sekali lagi adalah keputusan mereka sendiri dan tidak diperkenankan mencampuri keputusan kelompok yang lain. Keputusan-keputusan antar kelompok yang menyebabkan benturan yang signifikan, jika benar-benar dikhawatirkan oleh semuanya, dapat membentuk sebuah dewan ekstra untuk bertemu dan menangani masalah.

Dewan komunitas semacam ini bukanlah legislator. Tidak ada satupun yang dipilih. Masyarakat harus berbicara untuk diri mereka sendiri. Dan ketika mereka akan membicarakan isu lebih spesifik disitu, mereka cukup sadar bahwa bagi mereka, menang bukanlah, sebagaimana yang dikatakan oleh pelatih grup sepak bola Vince Lombardi, “segala-galanya.” Mereka menginginkan semua orang untuk menang. Mereka menghargai pertemanan mereka dengan tetangga. Yang harus mereka lakukan, pertama, mereduksi kesalahpahaman yang ada dan mengklarifikasikan isu. Seringkali tindakan semacam ini sudah cukup untuk menghasilkan persetujuan. Jika itu memang tidak cukup, mereka dapat melakukan kompromi. Namun seringkali tindakan pertama sudah cukup. Jika memang tidak dapat berjalan sama sekali, dewan dapat menunda isu, selama isu ini tidak membutuhkan keputusan yang cepat, agar keseluruhan komunitas dapat merefleksikannya dan mendiskusikan masalah tersebut di pertemuan selanjutnya. Jika benar-benar gagal, komunitas yang harus menemukan jalan apakah masih ada jalan bagi mayoritas dan minoritas untuk berpisah dalam sementara waktu, maka keduanya harus mengajukan apa yang mereka inginkan mengenai hal tersebut.

Apabila semua itu telah dilakukan, dan memang gagal, jika masyarakat memiliki perbedaan isu yang tidak dapat disatukan, maka minoritas memiliki dua pilihan. Dapat bergabung dengan mayoritas, untuk kali ini, karena keharmonisan komunitas lebih penting dari isu yang di perjuangkan. Mungkin mayoritas dapat menegosiasikan keputusan minoritas mengenai hal yang lain. Jika ini gagal juga, dan jika isunya memang sangat penting bagi minoritas, solusi yang mungkin adalah memisahkan diri, seperti yang dilakukan oleh Negara-negara bagian Amerika (Connecticut, Rhode Island, Vermont, Kentucky, Maine, Utah, West Virginia, etc ). Apabila pemisahan diri mereka ini bukanlah sebuah alasan menentang statisme, maka ini tidak menentang anarki. Ini bukanlah kegagalan bagi anarki, karena komunitas yang baru akan menciptakan kembali anarki. Anarki bukanlah sistem yang sempurna – hanya saja lebih baik dari yang lainnya.

Kita tidak dapat memuaskan kepentingan dan kemauan kita pada level lokal saja

Mungkin tidak semuanya, tapi ada bukti dari arkeologi bahwa pernah terjadi perdagangan jarak-jauh, lebih dari ratusan bahkan ribuan mil, di era prasejarah yang anarkis di Eropa. Masyarakat primitif anarkis pernah dikunjungi oleh ahli anthropologi di abad 20, seperti para ‘hunter-gatherer’ San ( Bushmen) dan suku tribal Trobriand, melakukan perdagangan semacam ini dalam hubungan dagang antar individu – meskipun hubungan semacam ini lebih seperti saling memberi daripada yang kita pikir sekarang sebagai kepentingan dagang. Anarki yang telah dipraktekan tidak pernah bergantung pada self-suffiisiensi lokal yang total. Namun banyak dari anarkis modern menegaskan bahwa komunitas dan daerah-daerah, harus bisa menjadi seself-suffisien mungkin, agar tidak bergantung pada bagian yang luar yang jauh. Bahkan dengan teknologi modern, yang seringkali di desain untuk memperbesar pasar komersil dengan menghancurkan self-suffisiensi, sebagaimana pemerintah dan korporasi menginginkan lemahnya self-suffisiensi lokal lebih dari yang kita tahu.

Satu definisi dari “anarki” adalah kekacauan. Bukankah seperti itu wajah anarki yang sebenarnya—kekacauan?

Pierre-Joseph Proudhon, orang pertama yang mengaku dirinya seorang anarkis, menulis bahwa “kebebasan adalah ibu, bukanlah anak perempuan dari tatanan.” Tatanan anarkis lebih superior daripada tatanan Negara karena anarki bukanlah sebuah sistem hukum yang koersif, tatanan ini sesimpel bagaimana masyarakat dapat mengenal satu sama lain dan memutuskan bagaimana mereka akan hidup bersama-sama. Tatanan anarkis berdasarkan persetujuan dan perspektif bersama.

Kapan sih filosofi anarkisme diformulasikan?

Beberapa anarkis berpendapat bahwa ide-ide anarkis telah diekspresikan oleh Diogenes kaum Cynic pada peradaban Yunani Kuno, oleh Lao Tse di era China Kuno, dan beberapa mistik medieval juga selama abad 17 di Inggris ketika terjadi perang sipil. Namun anarkisme modern dimulai dengan William Godwin dengan tulisannya Political Justice yang diterbitkan di Inggris di tahun 1793. Di bangkitkan kembali oleh Proudhon di tahun 1840 ( dalam tulisan What is Property? ). Dia menginspirasikan gerakan anarkis diantara pekerja-pekerja Perancis. Max Stirner dengan tulisan The Ego and His Own (1844) dipertimbangkan sebagai pencerahan dari egoisme yang menjadi basis mendasar nilai-nilai anarkis. Seorang Amerika, Josiah Warren, secara independen mencapai ide yang sama di jaman yang sama dan menginspirasikan sebuah gerakan skala besar untuk mencapai komunitas utopian. Ide-ide anarkis dikembangkan oleh revolusioner Russia Mikhail Bakunin dan juga oleh ilmuwan Russia Peter Kropotkin. Para anarkis berharap ide-ide mereka berkembang seiring berubahnya dunia.

Para revolusioner ini terkesan mirip sekali dengan Komunisme, yang tidak diinginkan orang banyak.

Kaum anarkis dan Marxis telah menjadi musuh semenjak tahun 1860. Meski kadang-kadang mereka bekerja sama melawan musuh bersama-sama seperti Czarist selana revolusi Russia dan fasis Spanyol selama perang sipil Spanyol, dan para komunis selalu mengkhianati anarkis. Dari Karl Marx sampai Joseph Stalin, kaum Marxis selalu mencela anarkisme.

Beberapa anarkis, pengikut Kropotkin, menjuluki diri mereka sebagai “komunis” – namun bukan Komunis. Namun mereka membedakan komunisme yang mereka praktikan, yang di organisasikan dari bawah – pengambil-alihan tanah, fasilitas dilakukan secara sukarela dan mereka bekerja di komunitas lokal dimana orang-orang saling mengenal satu sama lain – Berbeda dengan Komunisme yang dipaksa melalui Negara, menasionalisasi tanah dan fasilitas produksi, menolak semua bentuk otonomi lokal, dan mereduksi para pekerja menjadi pegawai-pegawai Negara. Apakah kedua sistem ini kurang berbeda?

Kaum anarkis menerima dan bahkan berpartisipasi di dalam kejatuhan Komunisme Eropa. Beberapa anarkis dari luar membantu para oposisi blok timur – sebagaimana yang tidak pernah dilakukan oleh pemerintah AS – selama bertahun-tahun. Para anarkis sekarang justru banyak aktif di Negara-negara bekas pendudukan Komunis.

Kejatuhan Komunis memang banyak menjatuhkan imej kiri-Amerika, tapi bukan para anarkis, banyak dari para anarkis sendiri tidak menganggap diri mereka sebagai orang kiri. Anarkis sudah ada sebelum Marxisme dan masih ada setelahnya.

Bukankah para anarkis menggunakan kekerasan?

Kaum anarkis tidak sebrutal kaum demokrat, republikan, liberal dan konservatif. Orang-orang ini tampak tidak berbahaya karena mereka menggunakan Negara untuk melaksanakan semua pekerjaan kotornya – untuk menggunakan kekerasan demi kepentingan mereka. Kekerasan tetaplah kekerasan. Menggunakan seragam atau mengibarkan sebuah bendera tidak dapat merubah definisinya. Negara adalah defiinisi dari kekerasan itu sendiri. Tanpa menggunakan kekerasan yang mereka gunakan kepada leluhur anarkis kita – para ‘hunter-gatherers’ dan petani – tidak akan pernah ada yang namanya Negara sekarang ini. Beberapa anarkis memang menghalalkan kekerasan – tapi seluruh bentuk Negara melakukan kekerasan setiap harinya.

Beberapa anarkis, di dalam tradisi Tolstoy, adalah pasifis dan menolak kekerasan secara prinsip. Sejumlah kecil anarkis percaya strategi untuk melawan Negara dengan kekerasan. Kebanyakan anarkis percaya akan mekanisme mempertahankan diri juga menghalalkan beberapa tingkat penggunaan kekerasan di dalam situasi revolusioner.

Isu sebenarnya bukanlah pro kekerasan melawan anti-kekerasan. Tapi aksi langsung. Para anarkis percaya bahwa masyarakat – seluruh masyarakat – harus memutuskan nasib mereka ke tangan mereka sendiri, secara individu maupun kolektif, entah melakukan sesuatu yang legal ataupun illegal, entah itu harus dicapai dengan kekerasan atau tanpa-kekerasan.

Apa sih struktur sosial sebenarnya dari sebuah masyarakat yang anarkis?

Kebanyakan anarkis belum benar-benar “yakin.” Karena dunia akan menjadi sangat berbeda setelah pemerintahan telah dihapuskan.

Kaum anarkis tidak biasanya menawarkan cetak biru, tapi mereka menawarkan cara-cara menuju hal tersebut. Mereka berpendapat bahwa ‘mutual aid’ – kerjasama dibanding kompetisi – adalah basis yang utama di dalam kehidupan sosial. Mereka adalah individualis di dalam sudut pandang dimana mereka berpendapat bahwa masyarakat eksis demi kepentingan individual, bukannya sebaliknya. Mereka menawarkan desentralisasi, yang berarti fondasi dari masyarakat haruslah lokal, komunitas yang berhubungan langsung. Komunitas seperti ini lalu difederasikan – di dalam hubungan saling menguntungkan – namun hanya untuk mengkoordinasikan aktifitas-aktifitas yang bisa dikerjakan oleh komunitas lokal. Desentralisasi anarkis memutar-balikan hirarki atas-kebawah. Sekarang ini, semakin tinggi level dari pemerintahan, semakin besar kekuasaannya. Dibawah anarki, level tinggi dari organisasi bukanlah pemerintah sama sekali. Mereka tidak memiliki kekuatan koersif, dan semakin tinggi levelnya, semakin sedikit tanggung jawab yang akan di delegasikan ke mereka dari bawah. Namun tetap, para anarkis tetap waspada apabila federasi berubah menjadi birokratik dan statis. Kita semua adalah utopian tapi juga realis. Karena itu kita harus memonitor federasi sedekat-dekatnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Thomas Jefferson, “kewaspadaan yang abadi adalah harga dari kemerdekaan.”

Kata-kata akhir?

Winston Churchill, seorang politisi alkoholik penyakitan dari Inggris dan penjahat perang, pernah menulis bahwa “demokrasi adalah sistem terburuk bagi pemerintah, kecuali untuk yang lainnya.” Anarki adalah sistem terburuk bagi masyarakat – kecuali yang lainnya. Sejauh ini, semua peradaban (masyarakat Negara) telah runtuh dan disukseskan oleh masyarakat anarkis. Masyarakat Negara tidak stabil secara inheren. Cepat atau lambat, peradaban kita juga akan runtuh. Tidaklah terlalu dini untuk mulai berpikir mengenai pengganti dari masyarakat ini. Para anarkis telah memikirkannya lebih dari 200 tahun. Kami punya sebuah awal. Kami mengundangmu untuk mengeksplorasi ide-ide kami – dan untuk bergabung dengan kami di dalam usaha untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.