Aku Menerangkan Beberapa Soal
Kau akan bertanya kepadaku: dan di mana itu batang-batang lili?
Dan metafisika berhias kelopak popi?
Dan hujan yang berulang kali menabur-naburkan
Kata-kata dan mengisinya dengan
Kebajikan dan burung-burung berkicauan?
Aku akan jelaskan.
Aku tinggal di pinggiran kota,
Pinggiran kota Madrid, dengan genta-genta,
Jam-jam dan pepohonan.
Dari sana kau bisa pandang
Wajah Castille yang kerontang:
Rumahku bernama
Rumah bunga, karena di setiap sudutnya
Geranium bersembulan ke udara:
Rumah yang sedap ditatap
Dengan anjing dan kanak-kanaknya.
Ingat Raul?
Atau Rafael? Federico, dari bawah tanah sana
Ingatkah kau akan balkon rumahku di mana
Cahaya bulan Juni membanjiri bunga-bunga di mulutmu?
Saudara, saudaraku!
Suasana
Riuh dengan sesuara besar, garam dari jagat dagang,
Tumpukan roti yang pingsan,
Kios-kios di Argeelles dengan patungnya
Yang seperti tinta yang mengering dalam satu gelombang udara:
Minyak dialirkan ke sendok,
Sebuah teluk yang dalam
Tercipta dari kaki dan tangan yang bergoyangan di jalan-jalan,
Meter, liter, ukuran tajam
Atas hidup, tumpukan ikan,
Tekstur genteng-genteng dengan sebongkah matahari dingin
Yang dipasang cuaca,
Kuning gading daging kentang,
Tomat demi tomat yang bergulingan ke laut.
Dan pada suatu pagi semua itu terbakar,
Pada suatu pagi nyala api
Melompat keluar dari dalam Bumi
Dan mencabik-cabik umat manusia –
Dan sejak itu muncul tembakan,
Kemudian mesiu,
Kemudian darah.
Bandit di pesawat dan orang-orang Moor,
Bandit dengan cincin dan nyonya-nyonya bangsawan,
Bandit dengan para pendeta hitam menaburkan pemberkatan
Datang dari Langit untuk membunuh anak-anak
Dan darah anak-anak mengalir di jalanan
Tanpa henti, sebagaimana mestinya darah anak-anak
Anjing geladak yang tak akan diakui kaum geladak sendiri
Batu-batu yang akan dikunyah kadal dan dimuntahkan lagi,
Ular yang pasti akan dipunahkan juga oleh ular.
Ketika bersitatap denganmu aku lihat darah Spanyol
Seperti ombak
Yang akan membenamkanmu dalam satu gelombang
Kebangaan dan belati!
Jenderal-jenderal
Licik:
Lihatlah rumahku yang mati,
Lihatlah Spanyol yang berserpih:
Dari setiap rumah berpijaran besi membara
Dan bukannya bunga,
Dari setiap ceruk Spanyol
Spanyol bangkit
Dan dari setiap anak yang mati ada senapan yang punya mata,
Dan dari setiap kejahatan terlahir peluru
Yang suatu saat nanti akan menemukan
Ulu hatimu.
Dan kau akan bertanya: kenapa puisinya
Tak berkisah tentang mimpi dan dedaunan
Dan gunung-gunung raksasa di kampung halamannya?
Datang dan lihatlah darah di jalanan.
Datang dan lihatlah
Darah di jalanan.
Datang dan lihatlah darah
Di jalanan!
Selasa, 19 Februari 2008
Bom Waktu dan Konser Maut
oleh Wenzz Rawk
Tragedi konser metal maut di Bandung sebenernya bisa terjadi di mana saja dan kapan saja di Indonesia ini. Setelah sebelumnya konser-konser band mainstream yang menelan korban (Sheila On 7, Padi, Ungu) dan kita sering mengejek karena ternyata yang menye-menye jauh lebih membunuh dibanding yang rock, akhirnya sekarang kejadian juga di musik yang kita senangi.
Sepertinya kita terlalu menganggap remeh dan lupa bahwa sebenarnya malaikat maut juga sudah mengintai konser-konser underground. Banyak bom waktu sudah ditanam di berbagai venue konser seperti ini di seluruh Indonesia. Memang sepertinya tinggal nunggu momentum dan venue yang tepat untuk diledakkan saja.
Sudah menjadi rahasia umum juga kalo sejak puluhan tahun yang lalu organizer konser-konser indie/underground yang melibatkan ratusan atau ribuan penonton rata-rata tidak menganggap serius atau menyiapkan hal-hal di bawah ini:
1. Tim medis, ruang medis atau mobil ambulance apabila terjadi insiden seperti ini.
2. Akses masuk-keluar venue dan pintu darurat buat penonton yang nggak diperhatikan serius atau diprioritaskan.
3. Kapasitas venue yang tidak diindahkan organizer.
4. Pembawa acara atau MC setelah konser berakhir tidak memberikan instruksi lewat pengeras suara bagi para penonton yang akan keluar dari venue
5. Tim keamanan (peace patrol) yang jumlahnya memadai, terlatih dan paham apa yang harus dilakukan jika terjadi keadaan darurat. Karena sebenarnya tidak perlu mengerahkan banyak polisi juga. Yang terpenting adalah tetap berkoordinasi dengan mereka.
Dan bom waktu itu akhirnya kemarin meledak juga di Bandung. Menelan korban jiwa 10 orang yang rata-rata kehabisan napas dan terinjak-injak. Kebanyakan masih remaja ABG pula. Sangat menyedihkan dan disesalkan pastinya. Tidak seharusnya juga ada orang mati sia-sia setelah nonton konser!
Sebagai penonton konser yang telah membayar tiket mereka tidak berhak mati, mereka malah berhak untuk bersenang-senang!
Kita semua langsung terkaget-kaget dan seperti nggak percaya kalau jenis musik death metal ternyata bisa berdampak secara harfiah seperti ini.
Pihak Enk Ink Enk sebagai organizer menurut gue sebenernya ketiban apes aja. Apes karena ternyata bom waktu itu meledak di konser yang mereka selenggarakan. Padahal selama sekitar 15 tahun ada konser-konser sejenis semuanya seperti berlangsung aman-aman saja.
Gue percaya nggak ada satu pihak pun yang mengharapkan tragedi ini terjadi, termasuk pihak Enk Ink Enk sendiri. Karena mereka pun menyelenggarakan konser ini bukan untuk mengeruk keuntungan besar-besar tapi lebih karena semangat untuk mendukung band-band lokal dan gerakan musik underground itu sendiri.
Berapa sih keuntungan yang di dapat dari penyelenggaraan konser underground dengan harga tiket Rp. 10.000 seperti ini? Hampir tidak ada! Bisa jadi mereka malah merugi terus. Belum lagi jarangnya sponsor komersial yang mau mendukung proyek konser idealis seperti ini.
Lalu kenapa konser-konser seperti ini berlanjut terus?
Karena kita senang dan ingin terus bersenang-senang dengan musik ini tentunya. Senang kalau band-band teman kita yang bagus menjadi maju, lebih dikenal dan memiliki fanbase besar. Senang kalau teman-teman kita yang menggemari musik seperti ini bisa terhibur dan having a good time. Senang kalau kebudayaan ini bisa menjadi alternatif bagi publik untuk terhindar dari keseragaman jenis musik yang bahkan bisa merendahkan martabat sebagai manusia.
Lalu apakah kemudian organizernya bisa kaya? Tidak juga pastinya. Kalau kata dedikasi dianggap terlalu muluk tapi memang seperti itulah keadaan yang sebenarnya. Saya angkat topi setinggi-tingginya untuk organizer-organizer konser ini. Tanpa kerja mereka semua sudah pasti rock show punah dari negeri ini!
Buat orang awam, gue yakin bakal susah untuk dimengerti alasannya. Begitu juga buat orangtua, polisi, gubernur, walikota dan birokrat-birokrat uzur lainnya. Selain korupsi, mereka memang nggak akan pernah bisa mengerti apa yang anak-anak muda ini lakukan.
Polisi malah hanya bisa menuduh tanpa dasar kalau panitia konser ini membagi-bagikan alkohol kepada para penonton. Tuduhan yang sangat tolol dari aparat kepolisian kita tentunya. Dan setelah otopsi dilakukan ternyata tidak terbukti dan mereka pun kembali belagak bego. Sejak kapan organizer konser bertiket murah bisa menjadi sinterklas?
Tujuannya pasti hanya untuk mendiskreditkan fans musik rock yang selalu distereotipkan akrab dengan alkohol dan narkotika. Mereka lupa atau belagak bego kalau di konser-konser dangdut tak hanya alkohol dan narkotika saja yang beredar, namun juga golok, celurit dan berbagai senjata tajam lainnya :)
Karena publikasi tentang tragedi ini sudah sangat meluas ke dalam dan luar negeri, bahkan sudah jadi insiden internasional (Blabbermouth, BBC, AOL, Yahoo, MSNBC, Reuters) maka gue prediksi ini yang akan terjadi selanjutnya di scene musik lokal kita nantinya:
1. Konser-konser band rock/metal internasional di Indonesia akan kembali mengalami kemunduran. Pihak booking agency artis-artis ini akan sangat cerewet mempertanyakan profesionalisme promotor lokal atau malah sepihak membatalkan kontrak-kontrak show di Indonesia. Alasan gampangnya mereka nggak akan mau menjadi kambing hitam apabila insiden yang sama terulang!
Para orangtua akan segera melarang anak-anak mereka yang masih ABG untuk datang ke konser-konser musik terlepas apapun itu jenis musiknya. Mereka sudah melihat mimpi buruknya langsung via televisi!
Kepolisian akan melarang atau sangat memperketat keluarnya izin penyelenggaraan konser musik (khususnya rock/metal).
Pemerintah daerah akan mengeluarkan seribu satu macam alasan untuk melarang penggunaan venue publik bagi aktivitas anak muda yang berhubungan dengan musik rock.
2. Sponsor-sponsor komersial akan menarik dukungannya bagi penyelenggaraan konser musik rock karena takut terkena imbasnya apabila terjadi insiden serupa.
3. Banyak EO/promotor rock yang gulung tikar dan berubah menjadi promotor dugem karena lebih menguntungkan dan indah secara visual :)
4. Band-band rock indie/underground akan kesulitan mencari panggung.
5. Dan akhirnya scene musik rock lokal pun mati dengan sendirinya haha. tinggallah tersisa ajep ajep dan top forty tentunya
Tapi tenang saja....
Negara ini sudah sangat terkenal karena hangat-hangat tahi ayamnya. Ketika tanah makam para 10 korban ini belum mengering, dijamin semua pihak di atas juga akan cepat lupa dengan tragedi ini. Semua larangan akan dilanggar dan semua upaya antisipasi tidak akan dipedulikan lagi. Semua akan kembali berjalan normal seperti sedia kala nantinya.
Yah, minimal sampai bom waktu yang lebih besar lagi meledak dan rekor korban jiwa terpecahkan nantinya. Bukankah 10 korban tewas di konser Ungu di Pekalongan hanya berselang 1 tahun saja dengan tragedi Bandung ini?
10? 20? 30? 100? 200 orang mati di konser rock? Bukan tidak mungkin.
Ini Indonesia, bung!
Kalau ini Amerika Serikat maka ini hak para penonton konser di sana:
1. Hak untuk menikmati konser dalam lingkungan yang aman.
2. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari panitia, keamanan dan performers terlepas dari apapun yang berhubungan dengan SARA.
3. Hak untuk mendapatkan informasi tentang kewajiban-kewajiban bagi pemegang tiket dan menaati segala peraturan yang berlaku di venue.
Jika Anda sepakat ini bukan Indonesia maka seharusnya kita melakukan hal-hal dibawah ini di masa depan:
A. Event Organizer/Promoter
1. Menyediakan tim medis, ruang medis dan mobil ambulance.
2. Tidak menjual tiket melebihi kapasitas venue (80% terisi, 20% kosongkan).
3. Menginformasikan tata letak venue dan letak pintu darurat di tiket.
4. Menginformasikan peraturan selama konser berlangsung di tiket.
5. Menginformasikan kepada penonton etiket di mosh-pit sebelum atau selama konser berlangsung.
6. Menginformasikan bahaya aksi stage-diving atau crowd surfing.
7. Menyediakan tim keamanan konser yang memadai, terlatih dan berpengalaman.
8. Memperhatikan ventilasi dan sirkulasi udara yang baik bagi penonton.
9. Suka atau tidak suka, menjalin koordinasi dengan polisi atau aparat keamanan selama dan setelah konser berlangsung.
10. Apapun yang terjadi di luar venue jangan membuka pintu masuk jika venue sudah 80% terisi. Hormati pembeli tiket, jangan hormati para penonton jebolan!
B. Performers
1. Menginformasikan kepada penonton etiket di mosh-pit sebelum atau selama konser berlangsung.
2. Menginformasikan bahaya aksi stage-diving atau crowd surfing.
3. Segera memberhentikan konser jika terjadi keributan atau kerusuhan di mosh pit.
4. Menciptakan kondisi yang kondusif selama konser berlangsung.
5. Melalui website-website band lakukan edukasi bagi para fans yang akan datang ke konser Anda.
C. Audience
1. Membeli tiket.
2. Jangan lupa membawa identitas diri (KTP, KTM) jika pergi ke konser.
3. Jangan lupa makan dan minum secukupnya sebelum ke konser (apalagi jika konser di outdoor).
4. Taati peraturan yang berlaku selama konser berlangsung. Semuanya dibuat dengan alasan dan tujuan yang jelas: Demi konser yang aman dan nyaman.
5. Jika mengonsumsi alkohol sebelum ke konser pastikan takaran yang bijaksana :) Banyak silly things bisa terjadi jika kita mabuk di konser.
6. Paham bahaya dan konsekuensi jika terjadi kegagalan melakukan moshing, stage diving atau crowd surfing.
7. Segeralah menolong jika ada siapapun terjatuh di mosh pit.
8. Hindari penggunaan aksesoris yang dapat melukai orang di mosh-pit.
9. Kenakan earplug (jika ada).
10. Jangan ikut-ikutan berkomplot untuk menjebol pintu masuk. Tolol!
Untuk apa nongkrong di depan pintu masuk? Pastikan tujuan datang ke konser hanya untuk menikmati konser. Nongkronglah di kakus atau tempat nongkrong yang semestinya
Tragedi konser metal maut di Bandung sebenernya bisa terjadi di mana saja dan kapan saja di Indonesia ini. Setelah sebelumnya konser-konser band mainstream yang menelan korban (Sheila On 7, Padi, Ungu) dan kita sering mengejek karena ternyata yang menye-menye jauh lebih membunuh dibanding yang rock, akhirnya sekarang kejadian juga di musik yang kita senangi.
Sepertinya kita terlalu menganggap remeh dan lupa bahwa sebenarnya malaikat maut juga sudah mengintai konser-konser underground. Banyak bom waktu sudah ditanam di berbagai venue konser seperti ini di seluruh Indonesia. Memang sepertinya tinggal nunggu momentum dan venue yang tepat untuk diledakkan saja.
Sudah menjadi rahasia umum juga kalo sejak puluhan tahun yang lalu organizer konser-konser indie/underground yang melibatkan ratusan atau ribuan penonton rata-rata tidak menganggap serius atau menyiapkan hal-hal di bawah ini:
1. Tim medis, ruang medis atau mobil ambulance apabila terjadi insiden seperti ini.
2. Akses masuk-keluar venue dan pintu darurat buat penonton yang nggak diperhatikan serius atau diprioritaskan.
3. Kapasitas venue yang tidak diindahkan organizer.
4. Pembawa acara atau MC setelah konser berakhir tidak memberikan instruksi lewat pengeras suara bagi para penonton yang akan keluar dari venue
5. Tim keamanan (peace patrol) yang jumlahnya memadai, terlatih dan paham apa yang harus dilakukan jika terjadi keadaan darurat. Karena sebenarnya tidak perlu mengerahkan banyak polisi juga. Yang terpenting adalah tetap berkoordinasi dengan mereka.
Dan bom waktu itu akhirnya kemarin meledak juga di Bandung. Menelan korban jiwa 10 orang yang rata-rata kehabisan napas dan terinjak-injak. Kebanyakan masih remaja ABG pula. Sangat menyedihkan dan disesalkan pastinya. Tidak seharusnya juga ada orang mati sia-sia setelah nonton konser!
Sebagai penonton konser yang telah membayar tiket mereka tidak berhak mati, mereka malah berhak untuk bersenang-senang!
Kita semua langsung terkaget-kaget dan seperti nggak percaya kalau jenis musik death metal ternyata bisa berdampak secara harfiah seperti ini.
Pihak Enk Ink Enk sebagai organizer menurut gue sebenernya ketiban apes aja. Apes karena ternyata bom waktu itu meledak di konser yang mereka selenggarakan. Padahal selama sekitar 15 tahun ada konser-konser sejenis semuanya seperti berlangsung aman-aman saja.
Gue percaya nggak ada satu pihak pun yang mengharapkan tragedi ini terjadi, termasuk pihak Enk Ink Enk sendiri. Karena mereka pun menyelenggarakan konser ini bukan untuk mengeruk keuntungan besar-besar tapi lebih karena semangat untuk mendukung band-band lokal dan gerakan musik underground itu sendiri.
Berapa sih keuntungan yang di dapat dari penyelenggaraan konser underground dengan harga tiket Rp. 10.000 seperti ini? Hampir tidak ada! Bisa jadi mereka malah merugi terus. Belum lagi jarangnya sponsor komersial yang mau mendukung proyek konser idealis seperti ini.
Lalu kenapa konser-konser seperti ini berlanjut terus?
Karena kita senang dan ingin terus bersenang-senang dengan musik ini tentunya. Senang kalau band-band teman kita yang bagus menjadi maju, lebih dikenal dan memiliki fanbase besar. Senang kalau teman-teman kita yang menggemari musik seperti ini bisa terhibur dan having a good time. Senang kalau kebudayaan ini bisa menjadi alternatif bagi publik untuk terhindar dari keseragaman jenis musik yang bahkan bisa merendahkan martabat sebagai manusia.
Lalu apakah kemudian organizernya bisa kaya? Tidak juga pastinya. Kalau kata dedikasi dianggap terlalu muluk tapi memang seperti itulah keadaan yang sebenarnya. Saya angkat topi setinggi-tingginya untuk organizer-organizer konser ini. Tanpa kerja mereka semua sudah pasti rock show punah dari negeri ini!
Buat orang awam, gue yakin bakal susah untuk dimengerti alasannya. Begitu juga buat orangtua, polisi, gubernur, walikota dan birokrat-birokrat uzur lainnya. Selain korupsi, mereka memang nggak akan pernah bisa mengerti apa yang anak-anak muda ini lakukan.
Polisi malah hanya bisa menuduh tanpa dasar kalau panitia konser ini membagi-bagikan alkohol kepada para penonton. Tuduhan yang sangat tolol dari aparat kepolisian kita tentunya. Dan setelah otopsi dilakukan ternyata tidak terbukti dan mereka pun kembali belagak bego. Sejak kapan organizer konser bertiket murah bisa menjadi sinterklas?
Tujuannya pasti hanya untuk mendiskreditkan fans musik rock yang selalu distereotipkan akrab dengan alkohol dan narkotika. Mereka lupa atau belagak bego kalau di konser-konser dangdut tak hanya alkohol dan narkotika saja yang beredar, namun juga golok, celurit dan berbagai senjata tajam lainnya :)
Karena publikasi tentang tragedi ini sudah sangat meluas ke dalam dan luar negeri, bahkan sudah jadi insiden internasional (Blabbermouth, BBC, AOL, Yahoo, MSNBC, Reuters) maka gue prediksi ini yang akan terjadi selanjutnya di scene musik lokal kita nantinya:
1. Konser-konser band rock/metal internasional di Indonesia akan kembali mengalami kemunduran. Pihak booking agency artis-artis ini akan sangat cerewet mempertanyakan profesionalisme promotor lokal atau malah sepihak membatalkan kontrak-kontrak show di Indonesia. Alasan gampangnya mereka nggak akan mau menjadi kambing hitam apabila insiden yang sama terulang!
Para orangtua akan segera melarang anak-anak mereka yang masih ABG untuk datang ke konser-konser musik terlepas apapun itu jenis musiknya. Mereka sudah melihat mimpi buruknya langsung via televisi!
Kepolisian akan melarang atau sangat memperketat keluarnya izin penyelenggaraan konser musik (khususnya rock/metal).
Pemerintah daerah akan mengeluarkan seribu satu macam alasan untuk melarang penggunaan venue publik bagi aktivitas anak muda yang berhubungan dengan musik rock.
2. Sponsor-sponsor komersial akan menarik dukungannya bagi penyelenggaraan konser musik rock karena takut terkena imbasnya apabila terjadi insiden serupa.
3. Banyak EO/promotor rock yang gulung tikar dan berubah menjadi promotor dugem karena lebih menguntungkan dan indah secara visual :)
4. Band-band rock indie/underground akan kesulitan mencari panggung.
5. Dan akhirnya scene musik rock lokal pun mati dengan sendirinya haha. tinggallah tersisa ajep ajep dan top forty tentunya
Tapi tenang saja....
Negara ini sudah sangat terkenal karena hangat-hangat tahi ayamnya. Ketika tanah makam para 10 korban ini belum mengering, dijamin semua pihak di atas juga akan cepat lupa dengan tragedi ini. Semua larangan akan dilanggar dan semua upaya antisipasi tidak akan dipedulikan lagi. Semua akan kembali berjalan normal seperti sedia kala nantinya.
Yah, minimal sampai bom waktu yang lebih besar lagi meledak dan rekor korban jiwa terpecahkan nantinya. Bukankah 10 korban tewas di konser Ungu di Pekalongan hanya berselang 1 tahun saja dengan tragedi Bandung ini?
10? 20? 30? 100? 200 orang mati di konser rock? Bukan tidak mungkin.
Ini Indonesia, bung!
Kalau ini Amerika Serikat maka ini hak para penonton konser di sana:
1. Hak untuk menikmati konser dalam lingkungan yang aman.
2. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari panitia, keamanan dan performers terlepas dari apapun yang berhubungan dengan SARA.
3. Hak untuk mendapatkan informasi tentang kewajiban-kewajiban bagi pemegang tiket dan menaati segala peraturan yang berlaku di venue.
Jika Anda sepakat ini bukan Indonesia maka seharusnya kita melakukan hal-hal dibawah ini di masa depan:
A. Event Organizer/Promoter
1. Menyediakan tim medis, ruang medis dan mobil ambulance.
2. Tidak menjual tiket melebihi kapasitas venue (80% terisi, 20% kosongkan).
3. Menginformasikan tata letak venue dan letak pintu darurat di tiket.
4. Menginformasikan peraturan selama konser berlangsung di tiket.
5. Menginformasikan kepada penonton etiket di mosh-pit sebelum atau selama konser berlangsung.
6. Menginformasikan bahaya aksi stage-diving atau crowd surfing.
7. Menyediakan tim keamanan konser yang memadai, terlatih dan berpengalaman.
8. Memperhatikan ventilasi dan sirkulasi udara yang baik bagi penonton.
9. Suka atau tidak suka, menjalin koordinasi dengan polisi atau aparat keamanan selama dan setelah konser berlangsung.
10. Apapun yang terjadi di luar venue jangan membuka pintu masuk jika venue sudah 80% terisi. Hormati pembeli tiket, jangan hormati para penonton jebolan!
B. Performers
1. Menginformasikan kepada penonton etiket di mosh-pit sebelum atau selama konser berlangsung.
2. Menginformasikan bahaya aksi stage-diving atau crowd surfing.
3. Segera memberhentikan konser jika terjadi keributan atau kerusuhan di mosh pit.
4. Menciptakan kondisi yang kondusif selama konser berlangsung.
5. Melalui website-website band lakukan edukasi bagi para fans yang akan datang ke konser Anda.
C. Audience
1. Membeli tiket.
2. Jangan lupa membawa identitas diri (KTP, KTM) jika pergi ke konser.
3. Jangan lupa makan dan minum secukupnya sebelum ke konser (apalagi jika konser di outdoor).
4. Taati peraturan yang berlaku selama konser berlangsung. Semuanya dibuat dengan alasan dan tujuan yang jelas: Demi konser yang aman dan nyaman.
5. Jika mengonsumsi alkohol sebelum ke konser pastikan takaran yang bijaksana :) Banyak silly things bisa terjadi jika kita mabuk di konser.
6. Paham bahaya dan konsekuensi jika terjadi kegagalan melakukan moshing, stage diving atau crowd surfing.
7. Segeralah menolong jika ada siapapun terjatuh di mosh pit.
8. Hindari penggunaan aksesoris yang dapat melukai orang di mosh-pit.
9. Kenakan earplug (jika ada).
10. Jangan ikut-ikutan berkomplot untuk menjebol pintu masuk. Tolol!
Untuk apa nongkrong di depan pintu masuk? Pastikan tujuan datang ke konser hanya untuk menikmati konser. Nongkronglah di kakus atau tempat nongkrong yang semestinya
Mengapa Marxisme?
Daniel Singer
Tepat sebelum meninggalkan Paris, saya dihadiahi buku oleh Michael Löwy dengan suatu kata pengantar yang baru dan juga kutipan yang baru. Saya ingin membaginya dengan Anda di sini, dalam kesempatan yang istimewa ini. Dalam kutipan itu dikatakan, "Marx jelas-jelas mati demi kemanusiaan." Ayolah Daniel, kamu hanyalah obyek, melanconglah ke seluruh dunia untuk mewartakan omong kosong itu. Untuk kontribusimu itu, kami akan membayarmu satu sen dolar selusin! Tapi, sebenarnya itu bukanlah omong kosongmu. Datangnya dari Italia, melalui Benedetto Croce pada 1907 dan persisnya 90 tahun yang lalu. Saya telah mengutipnya, untuk mengingatkan kamu penggali kuburannya Marx - seorang filsuf baru, Fukuyama – yang keturunannya bejibun, memiliki banyak pewaris, dan tak pernah takut kehilangan waktunya walaupun tak mendapatkan bayaran. Pada point pertama ini, saya mau mengatakan, terjadi peristiwa yang kebetulan antara kebangkitan kembali nama baik dan runtuhnya Uni Sovyet.
Ini point pertama. Point kedua dan bagi saya krusial, adalah apa yang dibutuhkan gerakan saat ini - terutama sekali di Eropa Barat, di mana konfrontasi sedang mencapai suatu tahapan penting, tidak hanya radikal, tetapi juga global - suatu alternatif menyeluruh bagi sistem kapitalis yang ada. Ini membawa saya pada point ketiga yakni, tingkat di mana mereka tidak hanya secara tegas memisahkan sifat dari berbagai gerakan sosial tapi, mengidealkan pemisahan itu, mereka yang menolak aksi global atau aksi kolektif. Bagi mereka, apapun yang dimaksudkan dengan kata total, pastilah bersifat totaliter; lebih luas lagi, sadar atau tidak sadar, mereka melayani kekuasaan yang mapan. Akhirnya, karena keterbatasan waktu, saya mau mengatakan sesuatu tentang Marxisme, yang kita di aula ini ingin melihat kelahiran dan kebangkitannya kembali. Marxisme yang dengan bangganya kita lihat telah mati dan dikuburkan. Maksud saya, buku suci penguasa Soviet, dengan berbagai kutipan yang sesuai untuk setiap kesempatan, yang disajikan oleh pendeta pejabat dari Marxisme-Leninisme yang - mungkin Anda telah mencatatnya - dikatakan oleh Milton Friedman, dengan senang hati telah berubah menjadi penginjil kapitalis.
Mari kita mulai dengan pertunjukan terakhir tentang pemakaman Marxisme. Saya mendapati hal yang membingungkan bahwa harusnya hal itu dipercepat oleh runtuhnya Tembok Berlin dan kebangkrutan Uni Soviet. Kekuasaan yang ada seharusnya bisa mengambil keuntungan untuk memproklamirkan bahwa Marxisme, sosialisme, revolusi, atau istilah sejenis, kini telah berakhir untuk selamanya; ini adalah hukum alam yang sempurna. Dan ternyata ada cukup banyak orang pada sisi kiri, di dalam lingkaran yang progresif, yang juga dengan jelas dibingungkan dengan keadaan ini. Dan sungguh, saya tak bisa memahaminya.
Pada 1956, tahun dimana muncul surat tuduhan Khrushchev terhadap Stalin dan penyerbuan ke Hongaria, merupakan tahun kejutan bagi para pendukung Khruschev, ketika tank-tank Soviet memasuki Praha pada 1968. Tetapi duapuluh tahun kemudian, tak ada seorang pun yang dengan serius percaya bahwa suatu alternatif sosialis sedang ditempa di blok Soviet.
Bagi mereka yang melulu berpropaganda secara meyakinkan, dengan mudah menjawab bahwa hanya yang hidup yang bisa mati. Sosialisme oleh karena itu tak pernah mati di Timur, karena di sana, Marx yang dihubungkan dengan para produser, tidak dalam posisi sebagai pemilik pabrik-pabrik dan nasib mereka. Tetapi ini tidak cukup. Kita tidak punya model tetapi, kita mempunyai warisan dan kita harus meneliti sejarahnya dalam tampilan Marxis. Apa yang salah dan mengapa? Apakah karena revolusi dengan cepat telah diubah ke dalam sebuah transformasi dari atas? Atau apakah itu disebabkan oleh takdir, setidak-tidaknya setelah terjadi kemunduran di Rusia, sehingga gagal disebarkan? Saya akan meninggalkan perdebatan yang belum selesai ini tapi, tak berarti tak ada debat pada momen ini. Saya akan kembali pada point kedua.
Secara bertentangan, robohnya model neo-Stalinist tidak bersamaan dengan kesuksesan sosial-demokrasi. Sebaliknya, bersamaan waktu dengan kebangkrutan kejayaan itu, kapitalisme menunjukkan dirinya sendiri dalam bentuk yang paling telanjang. Tak ada lagi kapitalisme berwajah manusia tapi, kembali ke masa hukum rimba. Setelah duapuluh tahun atau lebih hasil restrukturisasi, krisis menjadi semakin gawat. Ini terutama sekali sangat tampak di Eropa Barat, di mana saya tinggal. Kita tengah menyaksikan suatu periode yang aneh tentang transisi, dengan harapan dan bahayanya. Untuk beberapa tahun dari sekarang, berbagai usaha dibuat untuk memaksakan model Amerika, yang bukan mimpi Amerika dari masa lalu tapi, mimpi buruk Amerika. Sebuah serangan terhadap upah, melawan apa yang disebut negara kesejahteraan, melawan semua penakluk pasca perang dari gerakan buruh, dan konsesi terhadap kapital yang bersedia tunduk.
Pesta penghormatan, penghormatan terhadap tercipatanya orde ini: Tony Blair, orang yang kemudian dengan cepat mengambilalih kekuasaan di Inggris. Atau mantan komunis Massimo d'Alema, orang yang mengilhami pembentukan koalisi dari para penguasa di Italia. Mereka siap berkorban bagi dewa baru globalisasi. Tetapi rakyat pekerja, terutama sekali di Eropa kontinental, tidak bersedia tunduk pada dewa baru ini. Sejak 1994, berkali-kali usaha untuk memotong pelayanan sosial di Italia, Perancis, dan Jerman, berhadapan dengan perlawanan rakyat. Saya pribadi berpikir pemogokan dan demonstrasi-demonstrasi pada musim dingin di Perancis pada 1995, disebabkan oleh ketidakpuasan, dan kemudian berbalik menjadi perlawanan yang bersifat ideologis. Setelah seperempat abad pergeseran ideologi ke kanan, kini muncul sebuah gerakan yang mengejek pemerasan itu: Tak Ada Alternatif (there is no alternative). Pesan ini, mendatangkan ketakutan pada pendeta-pendeta mapan, yang dengan terang-terangan mengatakan:
“jika ini adalah masa depan yang kalian tawarkan kepada kami dan anak-anak kami, maka pergilah ke neraka bersama masa depanmu itu!”
Dan terjadilah perlawanan itu, yang pada momen ini, hanya sebuah perlawanan dan bukan awal dari sebuah serangan balasan. Hal itu kemudian diikuti dengan pemberian konsesi dan kompromi. Dan itulah yang terjadi. Pentingnya penolakan tak bisa ditaksir terlalu tinggi. Anda tak bisa memulai pembangunan di masa depan tanpa aksi penolakan hari ini. Tetapi, di atas platform yang negatif (baca: penolakan) ini, Anda harus mulai menempa sebuah alternatif. Anda harus mengawalinya dengan pertarungan-pertarungan berdasarkan argumentasi musuhmu – Anda akan menjadi sebuah sekte jika Anda tidak melakukan pertarungan ini. Tapi, Anda tak bisa menghindar dari keharusan memberikan solusi yang membuat Anda melampaui teritori, yang melampaui batasan yang ada pada masyarakayat yang ada. Kapitalisme adalah sebuah sistem dengan segala kemelekatannya atau konsistensinya, masuk akal – Istvan Mészáros mengatakan dengan metabolismenya sendiri – pada akhirnya hanya dapat dikalahkan oleh sistem yang lain dengan logika dan konsistensinya pula. Ini tak berarti ribut-ribut Bastille atau pengambilalihan istana musim dingin.Tak ada sesuatu yang instan tentang perubahan revolusioner. Ia membutuhkan waktu, perenungan yang mendalam bahkan, konsesi yang bisa berlangsung setiap saat. Ketika masalah itu muncul ke permukaan, Anda mungkin meledak atau bahkan memberontak. Tetapi, kita tidak bisa membayangkan sebuah gerakan yang hegemonik dalam jangka panjang tanpa adanya visi yang fundamental mengenai masyarakat yang berbeda.
Di sini saya menjadi bagian dari bentuk-bentuk terbaru sebuah gerakan seperti, posmodernisme dan lain-lain. Saya tidak memiliki masalah dengan dekonstruksi. Hal itu mengingatkan saya pada gambaran di dalam buku teks filsafatku, sebagai murid sekolah, dari Descartes dengan catatan kakinya pada gundukan dari buku yang memproklamirkan: tidak pernah menerima sesuatu sebagai kebenaran sebelum dibuktikan. Atau, dari diktum Gramsci, sekarang saatnya berontak, kebenaran adalah revolusioner. Dalam pernyataan mengagumkan tentang ras dan gender - menyatakan gender – kurang sering klas – menyembunyikan bias di bawah deklarasi besar tentang prinsip-prinsip para pendeta dan orang-orang terpelajar. Para penganut dekonstruksi sedang menyerang dan menghancurkan sistem tersebut. Tetapi, pada waktu yang sama, sebagai seorang post-modernis, mereka datang sebagai penyelamat, menyalahkan tidak hanya narasi besar tapi, gagasan mendasar yang padu, sebuah alternatif sistematis berhadapan dengan kapitalisme. Dan sang penolong jauh lebih penting ketimbang menyerang, sebab sistem kapitalis dapat ditempatkan tanpa kesatuan yang terorganisasi, dan tetap eksis berhadapan dengan serangan yang sporadis. Satu-satunya yang menakutkan adalah koherensi dan serangan frontal.
Beri saya kesempatan untuk lebih menjernihkan. Saya sama sekali tidak mengritik gerakan sosial - yang berjuang melawan rasisme, melawan penindasan gender, atau perjuangan untuk mempertahankan lingkungan. Tentu saja, saya menerima fakta bahwa semua perjuangan tersebut berkembang di luaran. Dan itu pertanda bahwa gerakan sosialis di abad ke-20 sedang mengalami kebangkrutan. Saya hanya menyerang mereka dari jauh, menyesalkan watak gerakan yang terfragmentasi (terpecah-pecah) tersebut, terfragmentasi menjadi kepingan fakta yang permanen tentang hidup dan membuat kebaikan pada sebagian divisi saja. Apapun juga kebiasaan terbaru dari gerakan – serius maupun sekadar iseng - saya pikir mereka harus meninjau kembali gagasan mereka atau dipinggirkan oleh gerakan sosial yang mengembangkan seluruh kemampuan menyerangnya.
Dari sini timbul pertanyaan: mengapa Marxisme? Jawaban kasarnya, kekuasaan kapital lebih absolut dari yang pernah ada dan Marxisme tetap merupakan alat analisa terbaik untuk menguliti kuasa, watak, dan kontradiksi di dalam sistem kapitalisme. Dengan syarat, kita tidak menjadikannya sebagai Kitab Suci. Telah saya katakan, bagaimana kita semua di sini bersama-sama menolak penyimpangan doktrin yang dijadikan sebagai alat atau topeng bagi para penguasa Soviet, para penindasnya dan pelayannya. Tapi itu tidak cukup. Kita tidak bisa memperlakukan Marxisme sebagai teks yang suci dan tidak bisa menoleransi tabu apapun. Marx tidak mengatakan segalanya. Ia tidak mempunyai waktu untuk itu, ia hanya memberi satu contoh saja, ia cukup mengajukan pertanyaan kunci mengenai peran negara. Bagaimanapun visi Marx, ia mungkin tak bisa membayangkan keadaan satu abad sesudahnya dan perubahan cepat teknologi dimana kita hidup di bawah kapitalisme, dimana kita menghadapi benturan antara perkembangan buta dari kekuatan produktif dan lingkungan kita. Dengan kata lain, kita menghadapi ancaman bunuh diri.
Guna menyingkat waktu, kita harus menggunakan Marxisme dalam wujud Marxis: mengadaptasikannya sejak semula untuk direalisasikan pada zaman kita. Masalahnya, kita tidak hanya berhadapan lingkungan yang berubah dengan cepat tapi, juga seluruh landasan pemikiran kita sendiri, menguji perubahan cepat watak kelas buruh dan, oleh karena itu, kapasitasnya untuk bertindak sebagai agen pengubah sejarah
Hanya dalam wujud seperti ini, kita bisa mengerjakan isu-isu yang menjadi agenda kita: masalah pekerjaan, dan tidak hanya masalah kerja dan waktu luang, dalam masyarakat kita di mana kemajuan teknologi telah menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran dan atau kemiskinan; masalah perubahan yang radikal dan keterbatasan negara bangsa dalam suatu masyarakat yang terglobalisasi; masalah kesetaraan dalam sebuah dunia yang pertumbuhan sosialnya tidak adil; masalah demokrasi, tidak hanya karena ini adalah warisan kita yang sangat mengerikan tapi, karena kita ingin mentransformasikan esensi perencanaan ke dalam pengorganisasian sendiri masyarakat.
Saya lanjutkan sedikit. Tugas kita jelas sangat berat dan karena itu, membutuhkan waktu. Tetapi tugas itu juga sangat mendesak. Saya benar-benar merasakan adanya sinar harapan di kaki langit. Tanda-tanda awalnya sudah nampak dari kebangkitannya sejak dari Paris hingga Seoul. Tetapi ada juga bayang-bayang. Ketika Front Nasional yang xenophobic menduduki balai kota di Perancis Selatan melalui hak pilih universal, dengan mayoritas absolut, adalah mendesak untuk melakukan sesuatu. Maksud saya, menawarkan kepada rakyat yang tak puas dengan sistem yang ada sebuah alternatif yang radikal. Jika kita tidak melakukan itu, mereka akan bertindak reaksioner dan irasional. Tapi, kita harus dapat, dan oleh karena itu, kita harus melakukannya dan Marxisme adalah alat yang tepat bagi penyelesaian kita.***
DANIEL SINGER adalah koresponden The Nation’s di Eropa selama beberapa tahun. Ia adalah penulis sejumlah buku, termasuk The Road to Gdansk (1981) and Whose Millennium?: Theirs or Ours?
Sumber: Monthly Review, Nov. 1997, Vol. 49, Nomor 6
Diposting oleh KORAN MARJINAL di 03:34
Tepat sebelum meninggalkan Paris, saya dihadiahi buku oleh Michael Löwy dengan suatu kata pengantar yang baru dan juga kutipan yang baru. Saya ingin membaginya dengan Anda di sini, dalam kesempatan yang istimewa ini. Dalam kutipan itu dikatakan, "Marx jelas-jelas mati demi kemanusiaan." Ayolah Daniel, kamu hanyalah obyek, melanconglah ke seluruh dunia untuk mewartakan omong kosong itu. Untuk kontribusimu itu, kami akan membayarmu satu sen dolar selusin! Tapi, sebenarnya itu bukanlah omong kosongmu. Datangnya dari Italia, melalui Benedetto Croce pada 1907 dan persisnya 90 tahun yang lalu. Saya telah mengutipnya, untuk mengingatkan kamu penggali kuburannya Marx - seorang filsuf baru, Fukuyama – yang keturunannya bejibun, memiliki banyak pewaris, dan tak pernah takut kehilangan waktunya walaupun tak mendapatkan bayaran. Pada point pertama ini, saya mau mengatakan, terjadi peristiwa yang kebetulan antara kebangkitan kembali nama baik dan runtuhnya Uni Sovyet.
Ini point pertama. Point kedua dan bagi saya krusial, adalah apa yang dibutuhkan gerakan saat ini - terutama sekali di Eropa Barat, di mana konfrontasi sedang mencapai suatu tahapan penting, tidak hanya radikal, tetapi juga global - suatu alternatif menyeluruh bagi sistem kapitalis yang ada. Ini membawa saya pada point ketiga yakni, tingkat di mana mereka tidak hanya secara tegas memisahkan sifat dari berbagai gerakan sosial tapi, mengidealkan pemisahan itu, mereka yang menolak aksi global atau aksi kolektif. Bagi mereka, apapun yang dimaksudkan dengan kata total, pastilah bersifat totaliter; lebih luas lagi, sadar atau tidak sadar, mereka melayani kekuasaan yang mapan. Akhirnya, karena keterbatasan waktu, saya mau mengatakan sesuatu tentang Marxisme, yang kita di aula ini ingin melihat kelahiran dan kebangkitannya kembali. Marxisme yang dengan bangganya kita lihat telah mati dan dikuburkan. Maksud saya, buku suci penguasa Soviet, dengan berbagai kutipan yang sesuai untuk setiap kesempatan, yang disajikan oleh pendeta pejabat dari Marxisme-Leninisme yang - mungkin Anda telah mencatatnya - dikatakan oleh Milton Friedman, dengan senang hati telah berubah menjadi penginjil kapitalis.
Mari kita mulai dengan pertunjukan terakhir tentang pemakaman Marxisme. Saya mendapati hal yang membingungkan bahwa harusnya hal itu dipercepat oleh runtuhnya Tembok Berlin dan kebangkrutan Uni Soviet. Kekuasaan yang ada seharusnya bisa mengambil keuntungan untuk memproklamirkan bahwa Marxisme, sosialisme, revolusi, atau istilah sejenis, kini telah berakhir untuk selamanya; ini adalah hukum alam yang sempurna. Dan ternyata ada cukup banyak orang pada sisi kiri, di dalam lingkaran yang progresif, yang juga dengan jelas dibingungkan dengan keadaan ini. Dan sungguh, saya tak bisa memahaminya.
Pada 1956, tahun dimana muncul surat tuduhan Khrushchev terhadap Stalin dan penyerbuan ke Hongaria, merupakan tahun kejutan bagi para pendukung Khruschev, ketika tank-tank Soviet memasuki Praha pada 1968. Tetapi duapuluh tahun kemudian, tak ada seorang pun yang dengan serius percaya bahwa suatu alternatif sosialis sedang ditempa di blok Soviet.
Bagi mereka yang melulu berpropaganda secara meyakinkan, dengan mudah menjawab bahwa hanya yang hidup yang bisa mati. Sosialisme oleh karena itu tak pernah mati di Timur, karena di sana, Marx yang dihubungkan dengan para produser, tidak dalam posisi sebagai pemilik pabrik-pabrik dan nasib mereka. Tetapi ini tidak cukup. Kita tidak punya model tetapi, kita mempunyai warisan dan kita harus meneliti sejarahnya dalam tampilan Marxis. Apa yang salah dan mengapa? Apakah karena revolusi dengan cepat telah diubah ke dalam sebuah transformasi dari atas? Atau apakah itu disebabkan oleh takdir, setidak-tidaknya setelah terjadi kemunduran di Rusia, sehingga gagal disebarkan? Saya akan meninggalkan perdebatan yang belum selesai ini tapi, tak berarti tak ada debat pada momen ini. Saya akan kembali pada point kedua.
Secara bertentangan, robohnya model neo-Stalinist tidak bersamaan dengan kesuksesan sosial-demokrasi. Sebaliknya, bersamaan waktu dengan kebangkrutan kejayaan itu, kapitalisme menunjukkan dirinya sendiri dalam bentuk yang paling telanjang. Tak ada lagi kapitalisme berwajah manusia tapi, kembali ke masa hukum rimba. Setelah duapuluh tahun atau lebih hasil restrukturisasi, krisis menjadi semakin gawat. Ini terutama sekali sangat tampak di Eropa Barat, di mana saya tinggal. Kita tengah menyaksikan suatu periode yang aneh tentang transisi, dengan harapan dan bahayanya. Untuk beberapa tahun dari sekarang, berbagai usaha dibuat untuk memaksakan model Amerika, yang bukan mimpi Amerika dari masa lalu tapi, mimpi buruk Amerika. Sebuah serangan terhadap upah, melawan apa yang disebut negara kesejahteraan, melawan semua penakluk pasca perang dari gerakan buruh, dan konsesi terhadap kapital yang bersedia tunduk.
Pesta penghormatan, penghormatan terhadap tercipatanya orde ini: Tony Blair, orang yang kemudian dengan cepat mengambilalih kekuasaan di Inggris. Atau mantan komunis Massimo d'Alema, orang yang mengilhami pembentukan koalisi dari para penguasa di Italia. Mereka siap berkorban bagi dewa baru globalisasi. Tetapi rakyat pekerja, terutama sekali di Eropa kontinental, tidak bersedia tunduk pada dewa baru ini. Sejak 1994, berkali-kali usaha untuk memotong pelayanan sosial di Italia, Perancis, dan Jerman, berhadapan dengan perlawanan rakyat. Saya pribadi berpikir pemogokan dan demonstrasi-demonstrasi pada musim dingin di Perancis pada 1995, disebabkan oleh ketidakpuasan, dan kemudian berbalik menjadi perlawanan yang bersifat ideologis. Setelah seperempat abad pergeseran ideologi ke kanan, kini muncul sebuah gerakan yang mengejek pemerasan itu: Tak Ada Alternatif (there is no alternative). Pesan ini, mendatangkan ketakutan pada pendeta-pendeta mapan, yang dengan terang-terangan mengatakan:
“jika ini adalah masa depan yang kalian tawarkan kepada kami dan anak-anak kami, maka pergilah ke neraka bersama masa depanmu itu!”
Dan terjadilah perlawanan itu, yang pada momen ini, hanya sebuah perlawanan dan bukan awal dari sebuah serangan balasan. Hal itu kemudian diikuti dengan pemberian konsesi dan kompromi. Dan itulah yang terjadi. Pentingnya penolakan tak bisa ditaksir terlalu tinggi. Anda tak bisa memulai pembangunan di masa depan tanpa aksi penolakan hari ini. Tetapi, di atas platform yang negatif (baca: penolakan) ini, Anda harus mulai menempa sebuah alternatif. Anda harus mengawalinya dengan pertarungan-pertarungan berdasarkan argumentasi musuhmu – Anda akan menjadi sebuah sekte jika Anda tidak melakukan pertarungan ini. Tapi, Anda tak bisa menghindar dari keharusan memberikan solusi yang membuat Anda melampaui teritori, yang melampaui batasan yang ada pada masyarakayat yang ada. Kapitalisme adalah sebuah sistem dengan segala kemelekatannya atau konsistensinya, masuk akal – Istvan Mészáros mengatakan dengan metabolismenya sendiri – pada akhirnya hanya dapat dikalahkan oleh sistem yang lain dengan logika dan konsistensinya pula. Ini tak berarti ribut-ribut Bastille atau pengambilalihan istana musim dingin.Tak ada sesuatu yang instan tentang perubahan revolusioner. Ia membutuhkan waktu, perenungan yang mendalam bahkan, konsesi yang bisa berlangsung setiap saat. Ketika masalah itu muncul ke permukaan, Anda mungkin meledak atau bahkan memberontak. Tetapi, kita tidak bisa membayangkan sebuah gerakan yang hegemonik dalam jangka panjang tanpa adanya visi yang fundamental mengenai masyarakat yang berbeda.
Di sini saya menjadi bagian dari bentuk-bentuk terbaru sebuah gerakan seperti, posmodernisme dan lain-lain. Saya tidak memiliki masalah dengan dekonstruksi. Hal itu mengingatkan saya pada gambaran di dalam buku teks filsafatku, sebagai murid sekolah, dari Descartes dengan catatan kakinya pada gundukan dari buku yang memproklamirkan: tidak pernah menerima sesuatu sebagai kebenaran sebelum dibuktikan. Atau, dari diktum Gramsci, sekarang saatnya berontak, kebenaran adalah revolusioner. Dalam pernyataan mengagumkan tentang ras dan gender - menyatakan gender – kurang sering klas – menyembunyikan bias di bawah deklarasi besar tentang prinsip-prinsip para pendeta dan orang-orang terpelajar. Para penganut dekonstruksi sedang menyerang dan menghancurkan sistem tersebut. Tetapi, pada waktu yang sama, sebagai seorang post-modernis, mereka datang sebagai penyelamat, menyalahkan tidak hanya narasi besar tapi, gagasan mendasar yang padu, sebuah alternatif sistematis berhadapan dengan kapitalisme. Dan sang penolong jauh lebih penting ketimbang menyerang, sebab sistem kapitalis dapat ditempatkan tanpa kesatuan yang terorganisasi, dan tetap eksis berhadapan dengan serangan yang sporadis. Satu-satunya yang menakutkan adalah koherensi dan serangan frontal.
Beri saya kesempatan untuk lebih menjernihkan. Saya sama sekali tidak mengritik gerakan sosial - yang berjuang melawan rasisme, melawan penindasan gender, atau perjuangan untuk mempertahankan lingkungan. Tentu saja, saya menerima fakta bahwa semua perjuangan tersebut berkembang di luaran. Dan itu pertanda bahwa gerakan sosialis di abad ke-20 sedang mengalami kebangkrutan. Saya hanya menyerang mereka dari jauh, menyesalkan watak gerakan yang terfragmentasi (terpecah-pecah) tersebut, terfragmentasi menjadi kepingan fakta yang permanen tentang hidup dan membuat kebaikan pada sebagian divisi saja. Apapun juga kebiasaan terbaru dari gerakan – serius maupun sekadar iseng - saya pikir mereka harus meninjau kembali gagasan mereka atau dipinggirkan oleh gerakan sosial yang mengembangkan seluruh kemampuan menyerangnya.
Dari sini timbul pertanyaan: mengapa Marxisme? Jawaban kasarnya, kekuasaan kapital lebih absolut dari yang pernah ada dan Marxisme tetap merupakan alat analisa terbaik untuk menguliti kuasa, watak, dan kontradiksi di dalam sistem kapitalisme. Dengan syarat, kita tidak menjadikannya sebagai Kitab Suci. Telah saya katakan, bagaimana kita semua di sini bersama-sama menolak penyimpangan doktrin yang dijadikan sebagai alat atau topeng bagi para penguasa Soviet, para penindasnya dan pelayannya. Tapi itu tidak cukup. Kita tidak bisa memperlakukan Marxisme sebagai teks yang suci dan tidak bisa menoleransi tabu apapun. Marx tidak mengatakan segalanya. Ia tidak mempunyai waktu untuk itu, ia hanya memberi satu contoh saja, ia cukup mengajukan pertanyaan kunci mengenai peran negara. Bagaimanapun visi Marx, ia mungkin tak bisa membayangkan keadaan satu abad sesudahnya dan perubahan cepat teknologi dimana kita hidup di bawah kapitalisme, dimana kita menghadapi benturan antara perkembangan buta dari kekuatan produktif dan lingkungan kita. Dengan kata lain, kita menghadapi ancaman bunuh diri.
Guna menyingkat waktu, kita harus menggunakan Marxisme dalam wujud Marxis: mengadaptasikannya sejak semula untuk direalisasikan pada zaman kita. Masalahnya, kita tidak hanya berhadapan lingkungan yang berubah dengan cepat tapi, juga seluruh landasan pemikiran kita sendiri, menguji perubahan cepat watak kelas buruh dan, oleh karena itu, kapasitasnya untuk bertindak sebagai agen pengubah sejarah
Hanya dalam wujud seperti ini, kita bisa mengerjakan isu-isu yang menjadi agenda kita: masalah pekerjaan, dan tidak hanya masalah kerja dan waktu luang, dalam masyarakat kita di mana kemajuan teknologi telah menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran dan atau kemiskinan; masalah perubahan yang radikal dan keterbatasan negara bangsa dalam suatu masyarakat yang terglobalisasi; masalah kesetaraan dalam sebuah dunia yang pertumbuhan sosialnya tidak adil; masalah demokrasi, tidak hanya karena ini adalah warisan kita yang sangat mengerikan tapi, karena kita ingin mentransformasikan esensi perencanaan ke dalam pengorganisasian sendiri masyarakat.
Saya lanjutkan sedikit. Tugas kita jelas sangat berat dan karena itu, membutuhkan waktu. Tetapi tugas itu juga sangat mendesak. Saya benar-benar merasakan adanya sinar harapan di kaki langit. Tanda-tanda awalnya sudah nampak dari kebangkitannya sejak dari Paris hingga Seoul. Tetapi ada juga bayang-bayang. Ketika Front Nasional yang xenophobic menduduki balai kota di Perancis Selatan melalui hak pilih universal, dengan mayoritas absolut, adalah mendesak untuk melakukan sesuatu. Maksud saya, menawarkan kepada rakyat yang tak puas dengan sistem yang ada sebuah alternatif yang radikal. Jika kita tidak melakukan itu, mereka akan bertindak reaksioner dan irasional. Tapi, kita harus dapat, dan oleh karena itu, kita harus melakukannya dan Marxisme adalah alat yang tepat bagi penyelesaian kita.***
DANIEL SINGER adalah koresponden The Nation’s di Eropa selama beberapa tahun. Ia adalah penulis sejumlah buku, termasuk The Road to Gdansk (1981) and Whose Millennium?: Theirs or Ours?
Sumber: Monthly Review, Nov. 1997, Vol. 49, Nomor 6
Diposting oleh KORAN MARJINAL di 03:34
Sekilas Tentang Analisis Kelas dan Relevansinya
Hilmar Farid
Saya diminta untuk membicarakan soal analisis kelas. Tapi, sebelum sampai ke sana, saya akan menyambung apa yang tadi disebut George Aditjondro, bahwa jangan hanya analisis kelas, kita juga harus mengerti soal etnis, dan jender. Peringatan semacam itu disampaikan, karena orang yang menggunakan analisis kelas menganggap, dimensi kelas itu penting—kalau bukan yang paling penting—di dalam kenyataan sosial. Saya tidak termasuk jenis itu.
Bagi saya, analisis kelas, jender, etnis, dan segala macam adalah cara kita mengorganisasi pengetahuan. Kita lihat suatu masyarakat, dimensi apa yang mau kita perhatikan: bisa kelas, bisa jender, bisa apapun. Dalam kesempatan yang satu, dimensi kelas sangat menonjol dibanding dimensi yang lain, sementara dalam kesempatan lain tidak. Dengan kata lain, analisis kelas merupakan satu dari sekian banyak cara untuk melihat masyarakat.
Jadi, analisis kelas bukan untuk dihadap-hadapkan, dipertentangkan dengan macam-macam pendekatan atau analisis yang lain. Memang, ada kekhususan dari analisis kelas: membayangkan bahwa gerak sejarah dari masa lalu sampai sekarang aspek kelas sangat menonjol. Penting untuk dicatat, aspek tersebut bukan yang paling penting, tetapi sangat menonjol, dan banyak menentukan dimensi kehidupan yang lain. Kurang lebih itu awalan untuk membicarakan analisis kelas.
Mendudukkan Analisa Kelas
Dalam tulisan berjudul “The Class Question in Indonesian Social Science” (Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae, "Social Sciences and Power in Indonesia," p. 167—196), ada dua hal yang dibahas. Pertama, tentang sejarah teori, karena tujuan dari tulisan itu adalah berbicara tentang hubungan ilmu sosial dengan kekuasaan. Hubungan itu ternyata tidak mulus. Kita tahu, selama Orde Baru banyak ilmuwan sosial dipekerjakan oleh pemerintah untuk membuat proyek-proyek penelitian yang kesimpulannya akan mendukung kebijakan pemerintah. Sampai sekarang, hal itu masih ada. Departemen-departemen merekrut peneliti-peneliti sosial, untuk membuat studi yang rekomendasinya untuk mendukung kebijakan pemerintah.
Jika dilihat dari segi perkembangan ilmu sosial di Indonesia dari tahun 1970-an, sempat populer apa yang disebut teori modernisasi. Teori tersebut membayangkan bahwa masyarakat seperti Indonesia yang bekas jajahan, miskin, yang biasanya disebut Dunia Ketiga, harus mengejar ketertinggalan. Ada keyakinan di sana bahwa perkembangan umat manusia itu sebetulnya sama saja: dari tradisional ke modern, dan yang perlu dilakukan oleh ilmuwan sosial adalah mencari pola-pola tersebut. Teori modernisasi di beberapa universitas mungkin masih dipelajari. Tetapi, teori tersebut umumnya sudah ketinggalan, ada salahnya, dan banyak bias-nya. Namun demikian, teori tersebut sempat dominan. Hal yang menarik dan penting dicatat, teori modernisasi menjadi dominan di Indonesia dikarenakan tidak ada alternatifnya. Jika kita membaca tulisan di tahun 1970-an, hampir semua menganggap teori modernisasi adalah ilmu sosial itu sendiri. Jadi, ilmu sosial tidak terdiri atas macam-macam pendekatan, tetapi satu saja: teori modernisasi. Teori itulah yang diajarkan dan dipahami sebagai kebenaran.
Pertanyaannya, mengapa bisa sampai seperti itu? Mengapa bisa satu dari sekian banyak pendekatan dalam ilmu sosial dianggap sebagai ilmu sosial itu sendiri? Itu ada sejarahnya. Pada titik itulah pembahasan tentang sejarah teori menjadi sangat penting. Kita tahu di Indonesia ada peristiwa G30S/1965 dan pembasmian PKI (Partai Komunis Indonesia). Bersamaan dengan itu terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam kajian-kajian ilmu sosial. Banyak sekali orang yang ditangkap, tidak boleh berekspresi dan kemudian negara membuat pembatasan-pembatasan sampai pada tingkat yang tidak masuk akal. Dalam konteks itu, tidak ada hubungan antara kebenaran dengan praktik pelarangan.
Pembatasan yang dilakukan Orde Baru berdampak sangat luas, termasuk di lingkungan universitas. Orang tidak mau mengajar teori-teori tertentu karena alasan keamanan. Jadi, perkembangan ilmu sosial di Indonesia, memang sangat dikontrol oleh negara. Akibatnya, kita tidak pernah—paling tidak dalam ilmu sosial tahun 1970-an—mengenal wacana kelas. Sementara, di belahan lain, orang bebas berbicara tentang kelas. Tidak ada yang aneh dengan itu. Karena kelas sangat sentral. Namun, dalam percakapan sehari-hari di Indonesia, hal itu praktis tidak dikenal. Ada semacam pengikisan mental (mental eraser), yang membuat orang tidak bisa berpikir tentang kelas. Dan ini berlangsung cukup lama.
Wacana kelas mulai muncul kembali di awal 1980-an, ketika ada banyak orang Indonesia yang melanjutkan pendidikan di Amerika, di “dunia bebas.” Begitu kembali, mereka mencoba mengembangkan apa yang mereka pelajari. Di antara mereka adalah almarhum Farhan Bulkin, Dawam Raharjo dan Arief Budiman. Mereka mengembangkan apa yang mereka namakan ilmu sosial kritis, atau ilmu sosial historis. Jurnal utamanya adalah Prisma. Itu pertama kalinya analisis kelas kembali ke Indonesia. Namun, analisis kelas yang berkembang waktu itu masih terbatas, dalam arti, mereka menggunakan konsep kelas, tetapi fokus utamanya adalah mencari siapa subjek revolusioner; siapa agen yang bisa membawa perubahan di era Orde Baru.
Di situ diskusi tentang kelas terkait dengan diskusi dalam rangka mencari siapa yang menjadi agen perubahan. Dari situ mulai dilihat mana kelas yang paling berkepentingan atas perubahan. Sebagian menyebutkan—mengikuti analisis Marxis dari Barat—adalah kelas pekerja atau buruh. Dari sana lalu muncul perhatian terhadap buruh dan orang pun menulis tentang buruh. Sebagian lainnya menganggap, yang paling berkepentingan adalah kelas menengah. Diskusi itu berlangsung terus, dan terkait dengan usaha demokratisasi melawan Orde Baru.
Sampai kira-kira tahun 1990-an, isu kelas kembali menghilang, diganti oleh satu konsep yang awet hingga kini, civil society. Istilah itu dikemukakan bermacam-macam, seperti civil society, masyarakat sipil, masyarakat madani. Tapi, intinya, civil society, yang tidak jelas bentuknya itu, dianggap sebagai agen perubahan. Ilmu sosial praktis didominasi oleh pembicaraan seperti itu, dengan pertanyaan dasar: siapa yang menjadi agen perubahan. Jadi, bisa dikatakan, analisis kelas—kalaupun dia muncul di era Orde baru—pada dasarnya dilakukan secara sambil lalu saja. Pembahasan tentang kelas bukan karena ada keinginan untuk memahami masyarakat secara lebih lengkap melalui perspektif kelas, melainkan berangkat dari kehendak untuk mencari aktor perubahan dalam iklim politik Orde Baru yang otoriter.
Pertanyaan selanjutnya dan lebih penting: apa sebenarnya isi analisis kelas itu. Jika orang memberi judul atau menggunakan kata kelas dalam tulisannya, tidak berarti dia menggunakan analisis kelas. Demikian juga, sekalipun ada yang mengklaim bahwa dia menggunakan analisis kelas, tidak dengan sendirinya dia betul-betul mengembangkan analisis kelas. Bisa saja dia hanya menggunakan retoriknya, jargonnya, istilahnya, tetapi dengan kerangka yang sama sekali lain dengan analisis kelas.
Di Indonesia, yang paling terkenal berbicara tentang kelas adalah Richard Robison. Bukunya yang sangat terkenal adalah "Indonesia The Rise of Capital." Buku itu berisi tentang kemunculan kelas kapitalis di Indonesia. Analisis Robison memperhatikan tumbuhnya orang-orang yang dia golongkan sebagai kelas kapitalis atau borjuasi. Ada borjuasi Cina, borjuasi pribumi, domestik, asing dan seterusnya. Dia membuat semacam pemetaan. Cara pemetaan seperti itulah yang paling popular. Kompas, misalnya, pernah membuat survey di jaman Soeharto tentang pemetaan kelas menengah. Berdasarkan survey Kompas, tercatat ada 18 kelas. Jadi, kelas dalam pengertian tersebut—seperti yang dipakai Robison dan Kompas, dan orang-orang Prisma waktu itu—sebetulnya sama, semuanya ingin membuat klasifikasi masyarakat. Jadi, masyarakat hendak dilihat dalam kelas yang berbeda-berbeda. Kemudian dilihat ekspresi politiknya, gaya hidupnya dan berbagai macam kecenderungannya. Mereka melihat berbagai macam pola dari klasifikasi tersebut. Hal itu menarik, karena orang-orang tersebut menganggap bahwa ilmu sosial yang mereka kembangkan itu baru: dianggap sebagai jawaban terhadap ilmu sosialnya Orde Baru yang didominasi teori modernisasi.
Analisis yang mereka kembangkan sangat mirip dengan analisis kelas yang dikembangkan PKI (Partai Komunis Indonesia). Bandingkan, misalnya, tulisan Aswab mahasin dengan tulisannya D.N. Aidit, ketua CC PKI, tentang kelas menengah. Perbedaannya tipis. Aswab mengatakan, kelas menengah itu para kyai, guru madrasah, yang atribut sosialnya kuat di dalam masyarakat—memiliki pamor, nama baik dan semacamnya. Aidit pun menggunakan cara pembagian kelas seperti itu. Jadi, atribut sosial digunakan sebagai penanda batas-batas kelas. Bukan soal ekonomi semata yang digunakan untuk menandai kelas, tetapi juga soal perilaku sosial. PKI, misalnya, pada jaman land reform awal 1960-an, mengenal istilah tuan tanah baik dan tuan tanah jahat. Pada titik itu, bukan hanya posisi berdasarkan ekonomi yang dikembangkan tapi, juga tentang bagaimana seseorang bersikap dan berperilaku. Jadi, secara metode dan juga metodologi, ada kesamaan antara analisis kelasnya PKI dengan ilmu sosial historis/ilmu sosial kritis.
Demikian juga Richard Robison. Mereka yang membahas kelas waktu itu hampir semuanya masuk dalam cara berpikir yang berusaha mengklasifikasi masyarakat, membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas. Perbedaannya hanya pada apa yang membedakan kelas satu dengan kelas lainnya, sementara cara pandang, cara kerja dari teorinya sendiri sama.
Menurut saya analisis kelas tidak seperti itu. Analisis kelas bukan untuk menentukan kotak-kotak, karena analisis semacam itu akan sangat bermasalah secara teori maupun politik. Secara teori penjelasannya begini: ketika krisis terjadi tahun 1997 banyak buruh dipecat. Bukan hanya buruh, sampai level menejer rendahan yang posisinya di atas blue colar dipecat. Jadi masuk kelas apa mereka? Kebanyakan dari mereka menganggur. Menggunakan tabungan mereka dari pesangon sampai cukup lama, kemudian menjadi pedagang. Buruh, nasibnya lebih buruk lagi, tidak tentu mendapatkan pekerjaan. Mereka menjadi bagian yang sering disebut underclass, paria. Tetapi, ada pula yang lumayan, memiliki tabungan, kemudian membuka warung. Jadi, penyebaran dari orang-orang yang dipecat bermacam-macam.
Nah, jika kita memakai analisis kelas yang sifatnya klasifikasi, kita akan mendapati orang yang berpindah dari kelas satu ke kelas lain dalam kurun waktu yang relatif cepat. Dalam tulisan itu saya beri contoh kawan kerja saya sendiri. Dia kerja kantoran, setelah dipecat menjadi sopir taksi. Dia termasuk kelas buruh. Dari yang tadinya masuk kategori kelas menengah dalam beberapa hari jadi sopir taksi. Setelah menjadi sopir taksi selama tiga bulan, diberi modal oleh orang tuanya kemudian membuka warung. Jadilah dia borjuis kecil. Dari borjuis kecil, kemudian usahanya lumayan jalan sampai kemudian diambil alih istrinya karena mendapat pekerjaan lagi—yang posisinya kurang lebih sama dengan posisinya semula. Jadi, posisinya kembali lagi ke awal menjadi bagian dari kelas menengah.
Jika setiap orang bisa berpindah-pindah kelas dalam kehidupannya yang relatif singkat—katakanlah dua sampai tiga tahun—lalu apa yang mau kita analisis? Itu artinya tidak ada yang namanya struktur. Kita tidak bisa bicara lagi tentang proses sosial yang panjang, apalagi bicara kecenderungan politik. Jadi, analisis kelas yang semacam itu—membuat klasifikasi kelas—sangat terbatas dan sangat bermasalah secara teoretis, karena menganggap kenyataan sosial itu mengikuti kategori-kategori yang kita miliki. Padahal sebaliknya, kita membuat kategori itu untuk lebih memahami kenyataan.
Di samping itu, analisis kelas model pengklasifikasian bermasalah pula secara politik. Dalam pengorganisasian misalnya, kita akan kesulitan menentukan kelompok sasaran, karena perpindahan orang dari satu kelas ke kelas lainnya begitu cepat. Dalam perburuhan, misalnya, sekarang ini paling ruwet. Masuk pengorgasnisasian buruh, begitu buruhnya berubah menjadi pedagang—karena di-PHK atau kontraknya habis—maka dia bukan lagi menjadi kelompok sasaran pengorganisasian. Hal seperti itu saat ini sudah menjadi norma, menjadi aturan, bukan lagi pengecualian. Fleksibilisasi pasar tenaga kerja membuat buruh tidak lagi seperti di jaman lalu, bisa diprediksi keberadaannya di dalam pabrik selama 10, 15 sampai 20 tahun. Oleh sebab itu, analisis kelas model klasifikasi pasti akan kesulitan untuk memahami kenyataan pasar tenaga kerja yang fleksibel seperti sekarang.
Lebih dari itu, untuk waktu ke depan, secara politik organisasi buruh akan kehilangan orang, karena sistem kontrak dan pergantian orang yang begitu cepat. Dengan kalimat lain, serikat buruh tidak bisa berkembang jika menggunakan cara berpikir semacam itu. Jadi, secara politik pengorganisasian masyarakat memiliki kelemahan mendasar jika menggunakan analisis klasifikasi kelas. Sayangnya, atau menariknya, cara pandang tersebut masih dominan.
Menggali Marx
Menghadapi kondisi tersebut, alternatifnya bagi saya sederhana. Sederhana bukan berarti yang paling benar. Menurut saya, kembali saja ke awal: bagaimana analisis kelas itu untuk pertama kalinya berkembang. Untuk itu, mau tidak mau, kita harus kembali ke Karl Marx. Marx terlalu sering disalahpahami. Orang menganggap, teori dia mengenai pertentangan proletariat dengan borjuis. Itu betul dan penting, tetapi cara pandang dia sangat lain dengan apa yang kemudian disebut Marxisme-Leninisme.
Dalam Marxisme-Leninisme, cara pikir mereka sebenarnya agak mirip dengan lingkup ilmu sosial historis: membuat klasifikasi, kemudian dari situ kita menentukan perilaku politik berdasarkan pengklasifikasian tersebut. Masalah-masalah cara pandang semacam itu di lapangan politik cukup jelas terjadi di Uni Soviet, ketika Stalin menggasak Kulak. Cukup jelas pula di Cina. Banyak penangkapan di jaman Revolusi Kebudayaan di Cina. Alasan penangkapan karena borjuis. Kenapa dianggap borjuis, karena menimbun barang di rumahnya, dan itu haram. Namun, perlu dicatat bahwa pandangan tersebut bukan berasal dari Marx tapi, menurut aturan Partai Komunis Cina. Jadi, kita lihat bahwa cara pelabelan kelas itu bisa mematikan, karena itu sangat bermasalah secara politik.
Kembali ke Marx, bagaimana cara dia menganalisis hingga bisa sampai pada kesimpulan adanya kelas-kelas dalam masyarakat. Pembagian atau pemisahan kelas itu berangkat dari kajian dia mengenai kapitalisme. Itu yang perlu dicatat. Marx, menurut saya, bukan seperti filsuf atau semacam nabi, yang bisa memberikan jawaban terhadap seluruh masalah di dunia. Yang paling penting dari Marx adalah cara dia melihat kapitalisme. Dari situ seluruh teorinya mengenai kelas dan segala macam mengalir. Namun, sebelum sampai ke sana kita harus paham terlebih dahulu bagaimana cara dia memahami kapitalisme, atau apa yang dia sebut kapitalisme.
Diskusi mengenai kapitalisme harus kembali kepada apa yang oleh Marxi disebut kapital. Apa sebetulnya modal itu, dan bagaimana modal itu berkembang. Untuk memulai penjelasannya, saya tidak akan bercerita tentang isi buku Das Kapital, tetapi uraian saya akan didasarkan pada itu. Pembahasan Marx tentang kapital dimulai dari apa yang disebut komoditas (barang dagangan). Di dalam usaha membuat barang dagangan—menjual, membuat barang untuk dijual—kita melalui satu fase. Kita memiliki sejumlah uang yang disimpan dalam proses produksi untuk menghasilkan uang yang lebih besar. Rumus dasarnya adalah:
M (Money) – C (Commodity) – M (Money)
Nah, mana yang disebut modal? Banyak orang seperti Robison, misalnya, menganggap modal adalah uang. Bagi dia kapitalisme dimulai ketika datangnya/masuknya aliran uang ke Indonesia—investasi. Oleh sebab itu, bagi dia momen yang paling penting dalam membicarakan kapital di Indonesia adalah ketika Orde Baru mengundang investor dari luar untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Bagi Marx, tidak demikian. Bukan soal uang yang penting. Uang memang penting, tapi bukan yang paling penting, karena yang penting adalah memahami proses M–C–M secara keseluruhan. Mengapa? Sebab, ada mesin tanpa ada tenaga kerja yang menjalankan mesin tidak akan menghasilkan apa-apa. Dengan kalimat lain, uang saja tidak cukup. Memiliki banyak uang, tidak dengan sendirinya bisa menghasilkan proses produksi kapital. Apalagi—dan ini paling penting—di dalam suatu masyarakat di mana cara produksi kapitalis tidak merata.
Di sebagian kecil negara di dunia ini, cara produksi non-kapitalis masih bertahan. Tetapi, kebanyakan sekarang sudah disebut generalize, sudah secara umum kapitalis. Berproduksi di jaman sekarang, lebih mudah daripada seratus tahun lalu. Jika membaca, misalnya saja, penelitian tentang perkebunan yang ditulis Ann Stoler atau tulisan-tulisan Benjamin White, akan kelihatan bahwa pada masa lalu yang menjadi masalah di perkebunan adalah bagaimana caranya memobilisasi tenaga kerja. Mengapa perkebunan di Sumatera Timur banyak Jawanya, banyak orang Cina, itu karena tidak ada orang. Orang-orang Batak pada saat itu masih relatif bisa menjaga diri untuk tidak terlibat di dalam proses produksi kapitalis. Jadi, ada satu proses yang membuat orang kemudian mau bekerja di dalam cara produksi kapitalis yang tidak menyenangkan itu. Dan itulah yang menurut Marx, adalah titik awal yang penting untuk dianalisis sebelum kita bisa memahami gerak dari M–C–M. Kebanyakan orang berbicara turunan-turunan. Saya, dalam tulisan itu antara lain berbicara tentang apa yang disebut akumulasi primitif (akumulasi asali): awal modal mulai berkembang.
Awal mula modal itu bukan karena ada uang, melainkan karena ada (1) uang, (2) alat produksi dan (3) tenaga kerja yang bisa digerakkan untuk berproduksi. Dan jika kita melihat sejarah dimanapun di dunia ini, proses tersebut penuh masalah, sangat berdarah, dan penuh kekerasan. Dalam buku Naomi Klein yang baru misalnya, dia berbicara tentang "Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism"—kapitalisme bencana. Menurut analisis dia, setiap bencana sekarang diikuti dengan ekspansi kapitalisme. Dia memberi contoh yang sangat bagus. Ketika New Orleans terkena bencana, para pejabat di sana sudah memiliki rencana—pada saat korban bencana belum tahu bagaimana kehidupan mereka setelah bencana—pembangunan yang sesuai dengan logika pasar. Sistem pendidikan di New Orleans sangat terkenal karena serikat buruhnya kuat, mempertahankan pendidikan publik dan sangat sedikit pendidikan swasta. Karena bencana alam, seluruh gurunya dipecat. Jumlah sekolah negeri dan swasta pun berbalik: dari yang awalnya jumlah sekolah swasta hanya 7 menjadi 30, dan sekolah publik yang tadinya 30 menjadi 2. Kita bisa melihat bahwa ternyata banyak hal, termasuk bencana alam bisa menjadi titik tolak bagi ekspansi kapital.
Berdasarkan rumus M–C–M, lalu di mana tempat kelas itu? Tempat kelas adalah ketika proses M–C–M mulai bergerak. Jadi, bisa dikatakan bahwa proses pembentukkan kelas itu, jauh lebih menentukan daripada pengklasifikasian kelas. Class formation itu jauh lebih penting daripada memotret kelas (klasifikasi). Karena itulah analisis kelas selalu historis. Analisis kelas tidak mungkin membuat potret tentang masyarakat, karena cara berpikirnya bukan memotret. Jika sekarang kita berbicara tentang modal, maka gerak M–C–M secara keseluruhan itulah yang disebut modal: gerak dari uang menjadi komoditi menjadi uang. Itulah yang disebut capital. Jadi, kapital itu bukan benda, dan itulah hal paling kunci yang dipikirkan oleh Marx, ketika dia berbicara tentang apa yang disebut fetisisme (pemberhalaan). Kapital itu diberhalakan, dianggap itulah penentu dari segalanya. Jadi, sesuatu yang merupakan proses, oleh orang kemudian diambil unsur-unsurnya dan dianggap itulah intinya.
Jadi, jika sekarang, misalnya, kita mendengar pernyataan, “modal akan masuk,” sudah harus ada di dalam kepala kita, asumsinya, lahan yang tersedia untuk menjalankan produksi kapitalis juga sudah ada. Akumulasi modal dengan sendirinya menjadi akumulasi tenaga kerja. Kalau kita melakukan akumulasi modal, uang kita bertambah banyak, bersamaan dengan itu, orang yang bekerja di dalam cara produksi kapitalis semakin banyak pula, dan di situlah pemisahan kelas terjadi. Itu artinya, pemisahan kelas bukan karena adanya perbedaan jenis pekerjaan. Oleh sebab itu, tidak mungkin membuat analisis kelas berdasarkan sensus. Dengan itu seorang peneliti tidak akan memperoleh proses, melainkan potret, dan potret tidak akan bisa dipakai untuk memahami situasi kelas di dalam suatu masyarakat.
Implikasi Teoritis dan Politik
Jika pembahasan kita persingkat, maka pertanyaannya, apa kemudian implikasinya? Implikasinya secara teoretik adalah sulit bagi kita membuat penelitian yang isolasi subjeknya di dalam kategori kelas tertentu. Contohnya, bisa kita lihat dalam isu buruh. Siapa sih kelas buruh itu? Kelas buruh adalah mereka yang masih bekerja di pabrik. Itu definisi buruh menurut UU Ketenagakerjaan, bukan menurut analisis kelas. Kadang-kadang, kita berpikir sangat legalistik. Kategori-kategori sosial kita ambil dari hukum, padahal itu adalah dua hal yang berbeda bahkan, kadang-kadang hukum dibuat untuk menutupi kenyataan sosial.
Implikasi teoretis dari cara pandang yang melihat kelas secara lebih historis, pertama, harus melihat dia (buruh) senantiasa dalam sebuah proses, artinya harus tahu mengapa dia sampai pada keadaan seperi itu; dan kedua, sadar bahwa kategori itu tidak mutlak. Dengan demikian, jika kita bicara soal konsep, apa konsep paling tepat untuk menamai, katakanlah memberi label pada kelompok-kelompok sosial yang kita lihat, menurut saya, harus selalu dimengerti bahwa kelompok-kelompok sosial itu terbagi-bagi, terbelah-belah dalam proses tertentu. Konsep hanya berguna sejauh dia memang bisa menangkap kenyataan itu, bukan kenyataan yang dipaksa mengikuti konsep.
Secara politik, seperti yang sudah kita lihat di muka, sulit untuk membangun gerakan buruh dengan cara pengklasifikasian kelas. Secara politik, sangat sulit bila dalam membangun gerakan buruh atau tani, misalnya, harus mengikuti metode klasifikasi. Sebaliknya, jika menggunakan metode proses maka kita bisa membuat organisasi yang jauh lebih terbuka. Karena itu, mungkin serikat buruh lama—yang berpatokan pada tenaga kerja tetap—bukan lagi model yang menjanjikan untuk sekarang. Harus mulai berpikir melakukan pengorganisasian di dalam kominitas. Dan seluruh pemisahan yang selama ini kita buat, seperti pekerja, penganggur, dan macam-macam harus diperiksa ulang, agar pengorganisasian politik bisa efektif. Jika terus bertahan pada status yang sifatnya legal, maka serikat buruh hanya akan mengurus orang-orang- yang bekerja di pabrik. Implikasinya, serikat buruh tidak akan pernah menjadi besar, karena buruh sekarang tidak berusia lama di dalam pabrik.
Dengan demikian, seluruh logika pengorganisasian serikat buruh yang bertumpu pada pemahaman lama mengenai kapitalisme sudah saatnya dipikir ulang. Karya asli Marx membuka pintu yang jauh lebih solid mengenai kapitalisme daripada ilmu sosial historis maupun Marxisme-Leninisme-nya PKI. Marxisme-Leninisme-nya PKI sederhana, karena itu pelabelan: tuan tanah baik, tuan tanah jahat dan seterusnya. Tidak disadari bahwa dalam kenyataan ada dinamika, posisi sosial seseorang bisa naik dan turun. Dan ketika membuat organisasi berdasarkan klasifikasi semacam itu seringkali gagal. Hal yang menarik adalah, dalam sejarah politik, gerakan-gerakan yang mencoba mengorganisasi berdasarkan kelas selalu terbalik dengan teorinya. Orang-orang yang mendukung analisis semacam itu justru datang dari mereka yang tidak, bukan dari mereka yang paling tidak diuntungkan. PKI dan BTI, misalnya, petani sedang, bukan buruh tani. Buruh tani malah cenderung mengikuti tuan tanah baik dan tuan tanah jahat yang di atasnya. Jadi, sangat terkait antara upaya untuk memobilisasi politik dengan cara kita memahami masyarakat dengan analisis kelas maupun bukan.
Terakhir sebagai penutup, kembali ke dalam sejarah teori ilmu sosial, sekarang sebetulnya dunia akademik dan dunia aktivis jauh lebih terbuka. Sehingga agak sulit untuk mengatakan satu paradigma dominan dan yang lainnya tidak. Ada pertandingan dan kompetisi didalamnya. Pertanyaannya, apakah analisis kelas sekarang masih relevan? Ada yang menyebutkan sudah tidak relevan, karena kapitalisme sekarang sudah jauh berkembang dari kapitalisme yang menjadi perhatian Marx. Memang betul, tapi baik kapitalisme dulu maupun sekarang berdiri di atas prinsip yang sama: M-C-M. Pada titik itu tidak ada perubahan. Tidak ada perubahan yang terlalu istimewa dari cara kerja modal: semuanya untuk akumulasi. Bahwa ada banyak ragam atau cara akumulasi modal yang lain, itu betul, tetapi prinsip dasar yang menghidupinya tetap sama.
Sejauh mana analisis kelas berguna atau tidak? Kalau saya melihat, analisis kelas masih sangat berguna, sebagai titik awal untuk memahami kapitalisme yang kompleks. Bagaimanapun juga, setuju atau tidak, suka atau tidak, jika kita hendak menganalisis sesuatu harus dimulai dari satu titik. Kita tidak bisa memulai dari chaos—menjelaskan segala hal. Jika ingin membuat analisis yang serius harus ada titik berangkat. Tidak masalah jika di akhir perjalanan melakukan analisis, kita melihat bahwa apa yang kita lihat di awal ternyata tidak sehebat yang kita duga sehingga banyak revisi. Itu tidak masalah, karena dengan cara itulah teori berkembang. Dan di dalam semangat menghidupkan teori, analisis dan politiknya sekaligus, saya kira analisis kelas tidak ada matinya. Dia akan terus berguna di dalam rangka menghidupkan seluruh perdebatan di dalam (1) politik, yakni bagaimana caranya menghasilkan politik yang efektif; dan (2) di dalam teori, yakni bagaimana kita lebih bisa mengorganisisasi kenyataan di dalam sistem pengetahuan kita—tergantung di mana kita berdiri dan apa yang kita kerjakan. Tapi jelas, dia sangat berguna.
Sengaja saya tutup dengan provokasi berharap ada reaksi, sehingga terjadi perdebatan.***
Catatan:
Tulisan ini merupakan transkrip presentasi yang disampaikan Hilmar Farid dalam Diskusi Bulanan Akatiga dengan tema Analisis Kelas dan Ilmu Sosial Indonesia, 05 November 2007.
Saya diminta untuk membicarakan soal analisis kelas. Tapi, sebelum sampai ke sana, saya akan menyambung apa yang tadi disebut George Aditjondro, bahwa jangan hanya analisis kelas, kita juga harus mengerti soal etnis, dan jender. Peringatan semacam itu disampaikan, karena orang yang menggunakan analisis kelas menganggap, dimensi kelas itu penting—kalau bukan yang paling penting—di dalam kenyataan sosial. Saya tidak termasuk jenis itu.
Bagi saya, analisis kelas, jender, etnis, dan segala macam adalah cara kita mengorganisasi pengetahuan. Kita lihat suatu masyarakat, dimensi apa yang mau kita perhatikan: bisa kelas, bisa jender, bisa apapun. Dalam kesempatan yang satu, dimensi kelas sangat menonjol dibanding dimensi yang lain, sementara dalam kesempatan lain tidak. Dengan kata lain, analisis kelas merupakan satu dari sekian banyak cara untuk melihat masyarakat.
Jadi, analisis kelas bukan untuk dihadap-hadapkan, dipertentangkan dengan macam-macam pendekatan atau analisis yang lain. Memang, ada kekhususan dari analisis kelas: membayangkan bahwa gerak sejarah dari masa lalu sampai sekarang aspek kelas sangat menonjol. Penting untuk dicatat, aspek tersebut bukan yang paling penting, tetapi sangat menonjol, dan banyak menentukan dimensi kehidupan yang lain. Kurang lebih itu awalan untuk membicarakan analisis kelas.
Mendudukkan Analisa Kelas
Dalam tulisan berjudul “The Class Question in Indonesian Social Science” (Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae, "Social Sciences and Power in Indonesia," p. 167—196), ada dua hal yang dibahas. Pertama, tentang sejarah teori, karena tujuan dari tulisan itu adalah berbicara tentang hubungan ilmu sosial dengan kekuasaan. Hubungan itu ternyata tidak mulus. Kita tahu, selama Orde Baru banyak ilmuwan sosial dipekerjakan oleh pemerintah untuk membuat proyek-proyek penelitian yang kesimpulannya akan mendukung kebijakan pemerintah. Sampai sekarang, hal itu masih ada. Departemen-departemen merekrut peneliti-peneliti sosial, untuk membuat studi yang rekomendasinya untuk mendukung kebijakan pemerintah.
Jika dilihat dari segi perkembangan ilmu sosial di Indonesia dari tahun 1970-an, sempat populer apa yang disebut teori modernisasi. Teori tersebut membayangkan bahwa masyarakat seperti Indonesia yang bekas jajahan, miskin, yang biasanya disebut Dunia Ketiga, harus mengejar ketertinggalan. Ada keyakinan di sana bahwa perkembangan umat manusia itu sebetulnya sama saja: dari tradisional ke modern, dan yang perlu dilakukan oleh ilmuwan sosial adalah mencari pola-pola tersebut. Teori modernisasi di beberapa universitas mungkin masih dipelajari. Tetapi, teori tersebut umumnya sudah ketinggalan, ada salahnya, dan banyak bias-nya. Namun demikian, teori tersebut sempat dominan. Hal yang menarik dan penting dicatat, teori modernisasi menjadi dominan di Indonesia dikarenakan tidak ada alternatifnya. Jika kita membaca tulisan di tahun 1970-an, hampir semua menganggap teori modernisasi adalah ilmu sosial itu sendiri. Jadi, ilmu sosial tidak terdiri atas macam-macam pendekatan, tetapi satu saja: teori modernisasi. Teori itulah yang diajarkan dan dipahami sebagai kebenaran.
Pertanyaannya, mengapa bisa sampai seperti itu? Mengapa bisa satu dari sekian banyak pendekatan dalam ilmu sosial dianggap sebagai ilmu sosial itu sendiri? Itu ada sejarahnya. Pada titik itulah pembahasan tentang sejarah teori menjadi sangat penting. Kita tahu di Indonesia ada peristiwa G30S/1965 dan pembasmian PKI (Partai Komunis Indonesia). Bersamaan dengan itu terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam kajian-kajian ilmu sosial. Banyak sekali orang yang ditangkap, tidak boleh berekspresi dan kemudian negara membuat pembatasan-pembatasan sampai pada tingkat yang tidak masuk akal. Dalam konteks itu, tidak ada hubungan antara kebenaran dengan praktik pelarangan.
Pembatasan yang dilakukan Orde Baru berdampak sangat luas, termasuk di lingkungan universitas. Orang tidak mau mengajar teori-teori tertentu karena alasan keamanan. Jadi, perkembangan ilmu sosial di Indonesia, memang sangat dikontrol oleh negara. Akibatnya, kita tidak pernah—paling tidak dalam ilmu sosial tahun 1970-an—mengenal wacana kelas. Sementara, di belahan lain, orang bebas berbicara tentang kelas. Tidak ada yang aneh dengan itu. Karena kelas sangat sentral. Namun, dalam percakapan sehari-hari di Indonesia, hal itu praktis tidak dikenal. Ada semacam pengikisan mental (mental eraser), yang membuat orang tidak bisa berpikir tentang kelas. Dan ini berlangsung cukup lama.
Wacana kelas mulai muncul kembali di awal 1980-an, ketika ada banyak orang Indonesia yang melanjutkan pendidikan di Amerika, di “dunia bebas.” Begitu kembali, mereka mencoba mengembangkan apa yang mereka pelajari. Di antara mereka adalah almarhum Farhan Bulkin, Dawam Raharjo dan Arief Budiman. Mereka mengembangkan apa yang mereka namakan ilmu sosial kritis, atau ilmu sosial historis. Jurnal utamanya adalah Prisma. Itu pertama kalinya analisis kelas kembali ke Indonesia. Namun, analisis kelas yang berkembang waktu itu masih terbatas, dalam arti, mereka menggunakan konsep kelas, tetapi fokus utamanya adalah mencari siapa subjek revolusioner; siapa agen yang bisa membawa perubahan di era Orde Baru.
Di situ diskusi tentang kelas terkait dengan diskusi dalam rangka mencari siapa yang menjadi agen perubahan. Dari situ mulai dilihat mana kelas yang paling berkepentingan atas perubahan. Sebagian menyebutkan—mengikuti analisis Marxis dari Barat—adalah kelas pekerja atau buruh. Dari sana lalu muncul perhatian terhadap buruh dan orang pun menulis tentang buruh. Sebagian lainnya menganggap, yang paling berkepentingan adalah kelas menengah. Diskusi itu berlangsung terus, dan terkait dengan usaha demokratisasi melawan Orde Baru.
Sampai kira-kira tahun 1990-an, isu kelas kembali menghilang, diganti oleh satu konsep yang awet hingga kini, civil society. Istilah itu dikemukakan bermacam-macam, seperti civil society, masyarakat sipil, masyarakat madani. Tapi, intinya, civil society, yang tidak jelas bentuknya itu, dianggap sebagai agen perubahan. Ilmu sosial praktis didominasi oleh pembicaraan seperti itu, dengan pertanyaan dasar: siapa yang menjadi agen perubahan. Jadi, bisa dikatakan, analisis kelas—kalaupun dia muncul di era Orde baru—pada dasarnya dilakukan secara sambil lalu saja. Pembahasan tentang kelas bukan karena ada keinginan untuk memahami masyarakat secara lebih lengkap melalui perspektif kelas, melainkan berangkat dari kehendak untuk mencari aktor perubahan dalam iklim politik Orde Baru yang otoriter.
Pertanyaan selanjutnya dan lebih penting: apa sebenarnya isi analisis kelas itu. Jika orang memberi judul atau menggunakan kata kelas dalam tulisannya, tidak berarti dia menggunakan analisis kelas. Demikian juga, sekalipun ada yang mengklaim bahwa dia menggunakan analisis kelas, tidak dengan sendirinya dia betul-betul mengembangkan analisis kelas. Bisa saja dia hanya menggunakan retoriknya, jargonnya, istilahnya, tetapi dengan kerangka yang sama sekali lain dengan analisis kelas.
Di Indonesia, yang paling terkenal berbicara tentang kelas adalah Richard Robison. Bukunya yang sangat terkenal adalah "Indonesia The Rise of Capital." Buku itu berisi tentang kemunculan kelas kapitalis di Indonesia. Analisis Robison memperhatikan tumbuhnya orang-orang yang dia golongkan sebagai kelas kapitalis atau borjuasi. Ada borjuasi Cina, borjuasi pribumi, domestik, asing dan seterusnya. Dia membuat semacam pemetaan. Cara pemetaan seperti itulah yang paling popular. Kompas, misalnya, pernah membuat survey di jaman Soeharto tentang pemetaan kelas menengah. Berdasarkan survey Kompas, tercatat ada 18 kelas. Jadi, kelas dalam pengertian tersebut—seperti yang dipakai Robison dan Kompas, dan orang-orang Prisma waktu itu—sebetulnya sama, semuanya ingin membuat klasifikasi masyarakat. Jadi, masyarakat hendak dilihat dalam kelas yang berbeda-berbeda. Kemudian dilihat ekspresi politiknya, gaya hidupnya dan berbagai macam kecenderungannya. Mereka melihat berbagai macam pola dari klasifikasi tersebut. Hal itu menarik, karena orang-orang tersebut menganggap bahwa ilmu sosial yang mereka kembangkan itu baru: dianggap sebagai jawaban terhadap ilmu sosialnya Orde Baru yang didominasi teori modernisasi.
Analisis yang mereka kembangkan sangat mirip dengan analisis kelas yang dikembangkan PKI (Partai Komunis Indonesia). Bandingkan, misalnya, tulisan Aswab mahasin dengan tulisannya D.N. Aidit, ketua CC PKI, tentang kelas menengah. Perbedaannya tipis. Aswab mengatakan, kelas menengah itu para kyai, guru madrasah, yang atribut sosialnya kuat di dalam masyarakat—memiliki pamor, nama baik dan semacamnya. Aidit pun menggunakan cara pembagian kelas seperti itu. Jadi, atribut sosial digunakan sebagai penanda batas-batas kelas. Bukan soal ekonomi semata yang digunakan untuk menandai kelas, tetapi juga soal perilaku sosial. PKI, misalnya, pada jaman land reform awal 1960-an, mengenal istilah tuan tanah baik dan tuan tanah jahat. Pada titik itu, bukan hanya posisi berdasarkan ekonomi yang dikembangkan tapi, juga tentang bagaimana seseorang bersikap dan berperilaku. Jadi, secara metode dan juga metodologi, ada kesamaan antara analisis kelasnya PKI dengan ilmu sosial historis/ilmu sosial kritis.
Demikian juga Richard Robison. Mereka yang membahas kelas waktu itu hampir semuanya masuk dalam cara berpikir yang berusaha mengklasifikasi masyarakat, membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas. Perbedaannya hanya pada apa yang membedakan kelas satu dengan kelas lainnya, sementara cara pandang, cara kerja dari teorinya sendiri sama.
Menurut saya analisis kelas tidak seperti itu. Analisis kelas bukan untuk menentukan kotak-kotak, karena analisis semacam itu akan sangat bermasalah secara teori maupun politik. Secara teori penjelasannya begini: ketika krisis terjadi tahun 1997 banyak buruh dipecat. Bukan hanya buruh, sampai level menejer rendahan yang posisinya di atas blue colar dipecat. Jadi masuk kelas apa mereka? Kebanyakan dari mereka menganggur. Menggunakan tabungan mereka dari pesangon sampai cukup lama, kemudian menjadi pedagang. Buruh, nasibnya lebih buruk lagi, tidak tentu mendapatkan pekerjaan. Mereka menjadi bagian yang sering disebut underclass, paria. Tetapi, ada pula yang lumayan, memiliki tabungan, kemudian membuka warung. Jadi, penyebaran dari orang-orang yang dipecat bermacam-macam.
Nah, jika kita memakai analisis kelas yang sifatnya klasifikasi, kita akan mendapati orang yang berpindah dari kelas satu ke kelas lain dalam kurun waktu yang relatif cepat. Dalam tulisan itu saya beri contoh kawan kerja saya sendiri. Dia kerja kantoran, setelah dipecat menjadi sopir taksi. Dia termasuk kelas buruh. Dari yang tadinya masuk kategori kelas menengah dalam beberapa hari jadi sopir taksi. Setelah menjadi sopir taksi selama tiga bulan, diberi modal oleh orang tuanya kemudian membuka warung. Jadilah dia borjuis kecil. Dari borjuis kecil, kemudian usahanya lumayan jalan sampai kemudian diambil alih istrinya karena mendapat pekerjaan lagi—yang posisinya kurang lebih sama dengan posisinya semula. Jadi, posisinya kembali lagi ke awal menjadi bagian dari kelas menengah.
Jika setiap orang bisa berpindah-pindah kelas dalam kehidupannya yang relatif singkat—katakanlah dua sampai tiga tahun—lalu apa yang mau kita analisis? Itu artinya tidak ada yang namanya struktur. Kita tidak bisa bicara lagi tentang proses sosial yang panjang, apalagi bicara kecenderungan politik. Jadi, analisis kelas yang semacam itu—membuat klasifikasi kelas—sangat terbatas dan sangat bermasalah secara teoretis, karena menganggap kenyataan sosial itu mengikuti kategori-kategori yang kita miliki. Padahal sebaliknya, kita membuat kategori itu untuk lebih memahami kenyataan.
Di samping itu, analisis kelas model pengklasifikasian bermasalah pula secara politik. Dalam pengorganisasian misalnya, kita akan kesulitan menentukan kelompok sasaran, karena perpindahan orang dari satu kelas ke kelas lainnya begitu cepat. Dalam perburuhan, misalnya, sekarang ini paling ruwet. Masuk pengorgasnisasian buruh, begitu buruhnya berubah menjadi pedagang—karena di-PHK atau kontraknya habis—maka dia bukan lagi menjadi kelompok sasaran pengorganisasian. Hal seperti itu saat ini sudah menjadi norma, menjadi aturan, bukan lagi pengecualian. Fleksibilisasi pasar tenaga kerja membuat buruh tidak lagi seperti di jaman lalu, bisa diprediksi keberadaannya di dalam pabrik selama 10, 15 sampai 20 tahun. Oleh sebab itu, analisis kelas model klasifikasi pasti akan kesulitan untuk memahami kenyataan pasar tenaga kerja yang fleksibel seperti sekarang.
Lebih dari itu, untuk waktu ke depan, secara politik organisasi buruh akan kehilangan orang, karena sistem kontrak dan pergantian orang yang begitu cepat. Dengan kalimat lain, serikat buruh tidak bisa berkembang jika menggunakan cara berpikir semacam itu. Jadi, secara politik pengorganisasian masyarakat memiliki kelemahan mendasar jika menggunakan analisis klasifikasi kelas. Sayangnya, atau menariknya, cara pandang tersebut masih dominan.
Menggali Marx
Menghadapi kondisi tersebut, alternatifnya bagi saya sederhana. Sederhana bukan berarti yang paling benar. Menurut saya, kembali saja ke awal: bagaimana analisis kelas itu untuk pertama kalinya berkembang. Untuk itu, mau tidak mau, kita harus kembali ke Karl Marx. Marx terlalu sering disalahpahami. Orang menganggap, teori dia mengenai pertentangan proletariat dengan borjuis. Itu betul dan penting, tetapi cara pandang dia sangat lain dengan apa yang kemudian disebut Marxisme-Leninisme.
Dalam Marxisme-Leninisme, cara pikir mereka sebenarnya agak mirip dengan lingkup ilmu sosial historis: membuat klasifikasi, kemudian dari situ kita menentukan perilaku politik berdasarkan pengklasifikasian tersebut. Masalah-masalah cara pandang semacam itu di lapangan politik cukup jelas terjadi di Uni Soviet, ketika Stalin menggasak Kulak. Cukup jelas pula di Cina. Banyak penangkapan di jaman Revolusi Kebudayaan di Cina. Alasan penangkapan karena borjuis. Kenapa dianggap borjuis, karena menimbun barang di rumahnya, dan itu haram. Namun, perlu dicatat bahwa pandangan tersebut bukan berasal dari Marx tapi, menurut aturan Partai Komunis Cina. Jadi, kita lihat bahwa cara pelabelan kelas itu bisa mematikan, karena itu sangat bermasalah secara politik.
Kembali ke Marx, bagaimana cara dia menganalisis hingga bisa sampai pada kesimpulan adanya kelas-kelas dalam masyarakat. Pembagian atau pemisahan kelas itu berangkat dari kajian dia mengenai kapitalisme. Itu yang perlu dicatat. Marx, menurut saya, bukan seperti filsuf atau semacam nabi, yang bisa memberikan jawaban terhadap seluruh masalah di dunia. Yang paling penting dari Marx adalah cara dia melihat kapitalisme. Dari situ seluruh teorinya mengenai kelas dan segala macam mengalir. Namun, sebelum sampai ke sana kita harus paham terlebih dahulu bagaimana cara dia memahami kapitalisme, atau apa yang dia sebut kapitalisme.
Diskusi mengenai kapitalisme harus kembali kepada apa yang oleh Marxi disebut kapital. Apa sebetulnya modal itu, dan bagaimana modal itu berkembang. Untuk memulai penjelasannya, saya tidak akan bercerita tentang isi buku Das Kapital, tetapi uraian saya akan didasarkan pada itu. Pembahasan Marx tentang kapital dimulai dari apa yang disebut komoditas (barang dagangan). Di dalam usaha membuat barang dagangan—menjual, membuat barang untuk dijual—kita melalui satu fase. Kita memiliki sejumlah uang yang disimpan dalam proses produksi untuk menghasilkan uang yang lebih besar. Rumus dasarnya adalah:
M (Money) – C (Commodity) – M (Money)
Nah, mana yang disebut modal? Banyak orang seperti Robison, misalnya, menganggap modal adalah uang. Bagi dia kapitalisme dimulai ketika datangnya/masuknya aliran uang ke Indonesia—investasi. Oleh sebab itu, bagi dia momen yang paling penting dalam membicarakan kapital di Indonesia adalah ketika Orde Baru mengundang investor dari luar untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Bagi Marx, tidak demikian. Bukan soal uang yang penting. Uang memang penting, tapi bukan yang paling penting, karena yang penting adalah memahami proses M–C–M secara keseluruhan. Mengapa? Sebab, ada mesin tanpa ada tenaga kerja yang menjalankan mesin tidak akan menghasilkan apa-apa. Dengan kalimat lain, uang saja tidak cukup. Memiliki banyak uang, tidak dengan sendirinya bisa menghasilkan proses produksi kapital. Apalagi—dan ini paling penting—di dalam suatu masyarakat di mana cara produksi kapitalis tidak merata.
Di sebagian kecil negara di dunia ini, cara produksi non-kapitalis masih bertahan. Tetapi, kebanyakan sekarang sudah disebut generalize, sudah secara umum kapitalis. Berproduksi di jaman sekarang, lebih mudah daripada seratus tahun lalu. Jika membaca, misalnya saja, penelitian tentang perkebunan yang ditulis Ann Stoler atau tulisan-tulisan Benjamin White, akan kelihatan bahwa pada masa lalu yang menjadi masalah di perkebunan adalah bagaimana caranya memobilisasi tenaga kerja. Mengapa perkebunan di Sumatera Timur banyak Jawanya, banyak orang Cina, itu karena tidak ada orang. Orang-orang Batak pada saat itu masih relatif bisa menjaga diri untuk tidak terlibat di dalam proses produksi kapitalis. Jadi, ada satu proses yang membuat orang kemudian mau bekerja di dalam cara produksi kapitalis yang tidak menyenangkan itu. Dan itulah yang menurut Marx, adalah titik awal yang penting untuk dianalisis sebelum kita bisa memahami gerak dari M–C–M. Kebanyakan orang berbicara turunan-turunan. Saya, dalam tulisan itu antara lain berbicara tentang apa yang disebut akumulasi primitif (akumulasi asali): awal modal mulai berkembang.
Awal mula modal itu bukan karena ada uang, melainkan karena ada (1) uang, (2) alat produksi dan (3) tenaga kerja yang bisa digerakkan untuk berproduksi. Dan jika kita melihat sejarah dimanapun di dunia ini, proses tersebut penuh masalah, sangat berdarah, dan penuh kekerasan. Dalam buku Naomi Klein yang baru misalnya, dia berbicara tentang "Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism"—kapitalisme bencana. Menurut analisis dia, setiap bencana sekarang diikuti dengan ekspansi kapitalisme. Dia memberi contoh yang sangat bagus. Ketika New Orleans terkena bencana, para pejabat di sana sudah memiliki rencana—pada saat korban bencana belum tahu bagaimana kehidupan mereka setelah bencana—pembangunan yang sesuai dengan logika pasar. Sistem pendidikan di New Orleans sangat terkenal karena serikat buruhnya kuat, mempertahankan pendidikan publik dan sangat sedikit pendidikan swasta. Karena bencana alam, seluruh gurunya dipecat. Jumlah sekolah negeri dan swasta pun berbalik: dari yang awalnya jumlah sekolah swasta hanya 7 menjadi 30, dan sekolah publik yang tadinya 30 menjadi 2. Kita bisa melihat bahwa ternyata banyak hal, termasuk bencana alam bisa menjadi titik tolak bagi ekspansi kapital.
Berdasarkan rumus M–C–M, lalu di mana tempat kelas itu? Tempat kelas adalah ketika proses M–C–M mulai bergerak. Jadi, bisa dikatakan bahwa proses pembentukkan kelas itu, jauh lebih menentukan daripada pengklasifikasian kelas. Class formation itu jauh lebih penting daripada memotret kelas (klasifikasi). Karena itulah analisis kelas selalu historis. Analisis kelas tidak mungkin membuat potret tentang masyarakat, karena cara berpikirnya bukan memotret. Jika sekarang kita berbicara tentang modal, maka gerak M–C–M secara keseluruhan itulah yang disebut modal: gerak dari uang menjadi komoditi menjadi uang. Itulah yang disebut capital. Jadi, kapital itu bukan benda, dan itulah hal paling kunci yang dipikirkan oleh Marx, ketika dia berbicara tentang apa yang disebut fetisisme (pemberhalaan). Kapital itu diberhalakan, dianggap itulah penentu dari segalanya. Jadi, sesuatu yang merupakan proses, oleh orang kemudian diambil unsur-unsurnya dan dianggap itulah intinya.
Jadi, jika sekarang, misalnya, kita mendengar pernyataan, “modal akan masuk,” sudah harus ada di dalam kepala kita, asumsinya, lahan yang tersedia untuk menjalankan produksi kapitalis juga sudah ada. Akumulasi modal dengan sendirinya menjadi akumulasi tenaga kerja. Kalau kita melakukan akumulasi modal, uang kita bertambah banyak, bersamaan dengan itu, orang yang bekerja di dalam cara produksi kapitalis semakin banyak pula, dan di situlah pemisahan kelas terjadi. Itu artinya, pemisahan kelas bukan karena adanya perbedaan jenis pekerjaan. Oleh sebab itu, tidak mungkin membuat analisis kelas berdasarkan sensus. Dengan itu seorang peneliti tidak akan memperoleh proses, melainkan potret, dan potret tidak akan bisa dipakai untuk memahami situasi kelas di dalam suatu masyarakat.
Implikasi Teoritis dan Politik
Jika pembahasan kita persingkat, maka pertanyaannya, apa kemudian implikasinya? Implikasinya secara teoretik adalah sulit bagi kita membuat penelitian yang isolasi subjeknya di dalam kategori kelas tertentu. Contohnya, bisa kita lihat dalam isu buruh. Siapa sih kelas buruh itu? Kelas buruh adalah mereka yang masih bekerja di pabrik. Itu definisi buruh menurut UU Ketenagakerjaan, bukan menurut analisis kelas. Kadang-kadang, kita berpikir sangat legalistik. Kategori-kategori sosial kita ambil dari hukum, padahal itu adalah dua hal yang berbeda bahkan, kadang-kadang hukum dibuat untuk menutupi kenyataan sosial.
Implikasi teoretis dari cara pandang yang melihat kelas secara lebih historis, pertama, harus melihat dia (buruh) senantiasa dalam sebuah proses, artinya harus tahu mengapa dia sampai pada keadaan seperi itu; dan kedua, sadar bahwa kategori itu tidak mutlak. Dengan demikian, jika kita bicara soal konsep, apa konsep paling tepat untuk menamai, katakanlah memberi label pada kelompok-kelompok sosial yang kita lihat, menurut saya, harus selalu dimengerti bahwa kelompok-kelompok sosial itu terbagi-bagi, terbelah-belah dalam proses tertentu. Konsep hanya berguna sejauh dia memang bisa menangkap kenyataan itu, bukan kenyataan yang dipaksa mengikuti konsep.
Secara politik, seperti yang sudah kita lihat di muka, sulit untuk membangun gerakan buruh dengan cara pengklasifikasian kelas. Secara politik, sangat sulit bila dalam membangun gerakan buruh atau tani, misalnya, harus mengikuti metode klasifikasi. Sebaliknya, jika menggunakan metode proses maka kita bisa membuat organisasi yang jauh lebih terbuka. Karena itu, mungkin serikat buruh lama—yang berpatokan pada tenaga kerja tetap—bukan lagi model yang menjanjikan untuk sekarang. Harus mulai berpikir melakukan pengorganisasian di dalam kominitas. Dan seluruh pemisahan yang selama ini kita buat, seperti pekerja, penganggur, dan macam-macam harus diperiksa ulang, agar pengorganisasian politik bisa efektif. Jika terus bertahan pada status yang sifatnya legal, maka serikat buruh hanya akan mengurus orang-orang- yang bekerja di pabrik. Implikasinya, serikat buruh tidak akan pernah menjadi besar, karena buruh sekarang tidak berusia lama di dalam pabrik.
Dengan demikian, seluruh logika pengorganisasian serikat buruh yang bertumpu pada pemahaman lama mengenai kapitalisme sudah saatnya dipikir ulang. Karya asli Marx membuka pintu yang jauh lebih solid mengenai kapitalisme daripada ilmu sosial historis maupun Marxisme-Leninisme-nya PKI. Marxisme-Leninisme-nya PKI sederhana, karena itu pelabelan: tuan tanah baik, tuan tanah jahat dan seterusnya. Tidak disadari bahwa dalam kenyataan ada dinamika, posisi sosial seseorang bisa naik dan turun. Dan ketika membuat organisasi berdasarkan klasifikasi semacam itu seringkali gagal. Hal yang menarik adalah, dalam sejarah politik, gerakan-gerakan yang mencoba mengorganisasi berdasarkan kelas selalu terbalik dengan teorinya. Orang-orang yang mendukung analisis semacam itu justru datang dari mereka yang tidak, bukan dari mereka yang paling tidak diuntungkan. PKI dan BTI, misalnya, petani sedang, bukan buruh tani. Buruh tani malah cenderung mengikuti tuan tanah baik dan tuan tanah jahat yang di atasnya. Jadi, sangat terkait antara upaya untuk memobilisasi politik dengan cara kita memahami masyarakat dengan analisis kelas maupun bukan.
Terakhir sebagai penutup, kembali ke dalam sejarah teori ilmu sosial, sekarang sebetulnya dunia akademik dan dunia aktivis jauh lebih terbuka. Sehingga agak sulit untuk mengatakan satu paradigma dominan dan yang lainnya tidak. Ada pertandingan dan kompetisi didalamnya. Pertanyaannya, apakah analisis kelas sekarang masih relevan? Ada yang menyebutkan sudah tidak relevan, karena kapitalisme sekarang sudah jauh berkembang dari kapitalisme yang menjadi perhatian Marx. Memang betul, tapi baik kapitalisme dulu maupun sekarang berdiri di atas prinsip yang sama: M-C-M. Pada titik itu tidak ada perubahan. Tidak ada perubahan yang terlalu istimewa dari cara kerja modal: semuanya untuk akumulasi. Bahwa ada banyak ragam atau cara akumulasi modal yang lain, itu betul, tetapi prinsip dasar yang menghidupinya tetap sama.
Sejauh mana analisis kelas berguna atau tidak? Kalau saya melihat, analisis kelas masih sangat berguna, sebagai titik awal untuk memahami kapitalisme yang kompleks. Bagaimanapun juga, setuju atau tidak, suka atau tidak, jika kita hendak menganalisis sesuatu harus dimulai dari satu titik. Kita tidak bisa memulai dari chaos—menjelaskan segala hal. Jika ingin membuat analisis yang serius harus ada titik berangkat. Tidak masalah jika di akhir perjalanan melakukan analisis, kita melihat bahwa apa yang kita lihat di awal ternyata tidak sehebat yang kita duga sehingga banyak revisi. Itu tidak masalah, karena dengan cara itulah teori berkembang. Dan di dalam semangat menghidupkan teori, analisis dan politiknya sekaligus, saya kira analisis kelas tidak ada matinya. Dia akan terus berguna di dalam rangka menghidupkan seluruh perdebatan di dalam (1) politik, yakni bagaimana caranya menghasilkan politik yang efektif; dan (2) di dalam teori, yakni bagaimana kita lebih bisa mengorganisisasi kenyataan di dalam sistem pengetahuan kita—tergantung di mana kita berdiri dan apa yang kita kerjakan. Tapi jelas, dia sangat berguna.
Sengaja saya tutup dengan provokasi berharap ada reaksi, sehingga terjadi perdebatan.***
Catatan:
Tulisan ini merupakan transkrip presentasi yang disampaikan Hilmar Farid dalam Diskusi Bulanan Akatiga dengan tema Analisis Kelas dan Ilmu Sosial Indonesia, 05 November 2007.
The Chicago Boys
Pada 3 Nopember 1970, Chile membuat sejarah dalam gerakan kiri internasional. Untuk pertama kalinya, calon presiden dari partai sosialis menjadikan instrumen pemilu sebagai jalan merebut kekuasaan dan menang. Calon itu adalah Salvador Isabelino del Sagrado Corazón de Jesús Allende Gossens atau lebih dikenal dengan nama Salvador Allende. Ia diusung oleh sebuah koalisi bernama Unidad Popular (UP) atau Persatuan Rakyat. Koalisi ini terdiri dari Partai Sosialis, Partai Komunis, Partai Radikal, MAPU (Movimiento de Accion Popular Unitario), dan pembangkang dari Partai Kristen Demokrat.
Segera setelah berkuasa, pemerintahan Allende memberlakukan serangkaian kebijakan radikal dalam bidang ekonomi: nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, nasionalisasi perbankan, peningkatan upah buruh, alokasi anggaran yang besar pada sektor pendidikan dan kesehatan, program susu gratis bagi anak-anak, menolak pembayaran utang luar negeri, dan memberlakukan kebijakan land reform. Seluruh program ini diberi label “Chilean road to socialism.”
Dalam waktu singkat, seluruh kebijakan radikal ini telah menjadikan Allende sebagai musuh bersama bagi pemerintah Amerika Serikat, korporasi asing, para tuan tanah dan borjuasi domestik, gereja Katolik Roma, dan sebagian faksi dalam militer. Pemerintahan Richard Nixon di Washington, misalnya, memandang pemerintahan Allende sebagai ancaman terbesar bagi kepentingan ekonomi dan geopolitiknya di kawasan Amerika Latin. James Petras dan Morris Morley, mencatat, investasi swasta langsung perusahaan-perusahaan AS di Chile hingga tahun 1970 mencapai $1.1 miliar dari total perkiraan investasi asing sebesar $1.672 miliar. Lebih lanjut mereka mengatakan, korporasi AS dan asing lainnya mengontrol hampir seluruh sektor-sektor ekonomi vital dan paling dinamis Chile: mesin dan peralatan (50%); besi, baja, dan produk-produk metal (60%); industri dan kimia lainnya (60%); produk-produk karet (45%); perakitan otomotif (100%); radio dan televisi (100%); farmasi ( mendekati 100%); kantor perlengkapan (mendekati 100%); tembakau (100%); pabrik tembaga (100%); dan periklanan (90%). Satu-satunya pendapatan terbesar Chile dari perdagangan internasional yakni tembaga, 80 persen pengelolaannya dikontrol oleh korporasi AS.
Demikianlah, umur pemerintahan Allende ini telah bisa diduga. Apalagi, seperti ditulis Jonathan Haslam, pada dasarnya secara politik pemerintahan Allende adalah pemerintahan yang lemah. Dalam pemilu 1970, ia hanya meraih 36.2 persen suara, unggul tipis atas mantan presiden Jorge Alessandri (34.9%), dan atas Radomiro Tomic dari Partai Kristen Demokrat (27.8%). Maka, ujung dari cerita ini telah kita ketahui bersama: pada 11 September 1973, pemerintahan Salvador Allende dijatuhkan melalui kudeta militer paling berdarah sepanjang sejarah politik modern Chile.
Persekutuan Tidak Suci
Setelah kekuasaan berhasil dikonsolidasikan, rejim junta militer di bawah jenderal Augusto José Ramón Pinochet Ugarte atau Augusto Pinochet, segera memutarbalik gerbong kebijakan pemerintahan Allende. Pinochet mengembalikan seluruh perusahaan yang telah dinasionalisasi, mengundang investor asing dengan meliberalisasi sektor keuangan dan perdagangan. Di bidang politik, Pinochet memberangus kebebasan pers, membekukan seluruh aktivitas partai politik dan organisasi massa, terutama yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan Salvador Allende. Ia juga melancarkan pembunuhan politik besar-besaran, memenjarakan dan mengasingkan lawan-lawan politiknya.
Tetapi, jika secara politik Pinochet sukses, tidak demikian secara ekonomi. Ia gagal merestorasi kembali bangunan ekonomi kapitalis yang coba dihancurkan Allende. Sektor ini seperti “terra incognita” bagi angkatan laut yang diserahi tanggung jawab mengurusinya. Satu-satunya patokan adalah mengganti seluruh kebijakan ekonomi yang sebelumnya dilaksanakan oleh pemerintah Allende. Pada saat inilah, rejim junta menerima uluran tangan dari sekelompok ekonom jebolan universitas Chicago, AS, di bawah bimbingan profesor Milton Friedman dan Arnold Harberger dari Chicago School of Economics. Para ekonom yang terdiri dari 25 sampai 30 orang ini, kemudian terkenal dengan sebutan the Chicago Boys.
Sebelum kudeta berlangsung, sebenarnya telah terjadi kontak antara angkatan laut dengan kelompok ini. Menurut Michael Rösch, kontak pertama terjadi pada 1973 yang difasilitasi oleh koran “El Mercurio.” Pada akhir tahun 1973, kontak kian intensif terlebih ketika pejabat tinggi angkatan laut mengetahui bahwa kelompok ini turut dibiayai oleh CIA. Namun, setelah kudeta kontak antara kedua kelompok ini agak mengendur. Sebabnya, junta militer lebih mempercayai beberapa anggota Partai Kristen yang konservatif tapi, memiliki reputasi internasional yang tinggi. Mereka misalnya, Sergio Molina, mantan menteri keuangan d bawah presiden Eduardo Frei Montalva, atau Carlos Massad dan Raúl Sáez yang juga menduduki posisi penting dalam pemerintahan Frei.
Tetapi, kontak dengan elemen konservatif dari Partai Kristen ini tak berlanjut, lantaran sebagian besar pendukung Partai Kristen menolak kerjasama tersebut, karena secara politik dianggap tidak menguntungkan. Pada saat yang sama, kelompok Chicago Boys mengatakan, untuk mengubah secara radikal masyarakat dan mentalitas rakyat Chile, satu-satunya cara adalah melakukan perubahan mendasar dalam bidang ekonomi. Dan seperti dikatakan Rösch, sejak saat itu kontak antara rejim junta dengan kelompok the Chicago Boys ini semakin penting.
Dalam waktu singkat, kelompok ini menduduki jabatan-jabatan strategis dalam rejim militer pimpinan Pinochet. Sergio de Castro, dekan fakultas ekonomi Universitas Katolik Chile, yang dianggap sebagai pemimpin kelompok the Chicago Boys, diangkat sebagai menteri keuangan (1974-1982); Pablo Baraona menjadi menteri ekonomi (1976-1979); Álvaro Bardón menteri ekonomi (1982-1983); Hernán Büchi menteri ekonomi (1979-1980); dan selanjutnya menteri keuangan (1985-1989); Robert Kelly menteri ekonomi (1978-1979); Fernando Léniz menteri ekonomi (1973 - 1975); Emilio Sanfuentes sebagai penasehat ekonomi di Bank Sentral; Juan Villarzú menjabat sebagai direktur anggaran; dan Jorge Cauas sebagai menteri perumahan (1975).
Pada bulan Maret 1975, kelompok ini menggelar seminar ekonomi yang mendapat perhatian luas media nasional. Dalam seminar tersebut, mereka memaparkan proposal penyelamatan ekonomi Chile melalui program pengetatan radikal, yang disebut shock treatment atau terapi kejut. Dalam seminar itu juga, mereka mengundang Milton Friedman dan Arnold Harberger, sehingga tak aneh jika proposal pengetatan ekonomi ini memperoleh sambutan luar biasa. Dalam proposal tersebut dicantumkan serangkaian program seperti pengurangan drastis suplai uang dan pengeluaran pemerintah, privatisasi pelayanan-pelayanan pemerintah, deregulasi pasar besar-besaran, dan liberalisasi perdagangan internasional.
Segera setelah seminar tersebut, pemerintah Chile meluncurkan program pemulihan ekonomi (Economic Recovery Program/ERP). Fase pertama dari kebijakan terapi kejut ini adalah mereduksi suplai uang dan pembelanjaan pemerinta, yang diikuti dengan pemotongan inflasi hingga level yang bisa diterima. Namun demikian, kebijakan ini menyebabkan meningkatnya angka pengangguran dari 9.1 menjadi 18.71 persen antara 1974 dan 1975. Selain itu pula, seluruh program pemulihan ekonomi ini dilakukan ditengah-tengah tidak adanya demokrasi. Di sini peran Pinochet adalah mendukung dan merepresi seluruh tantangan yang menghambat kerja-kerja the Chicago Boys. Dengan demikian, buruh dan sektor rakyat miskin lainnya menerima program terapi kejut ini di bawah todongan senapan.
Pada pertengahan 1976, ekonomi Chile mulai membaik. Dan sejak 1978 hingga 1981, hasil dari program terapi kejut ini menggembirakan pemerintahan Pinochet dan dunia internasional. Friedman menyebut sukses ekonomi Chile sebagai the economic miracle, sementara IMF dan Bank Dunia menjadikan sukses Chile sebagai contoh yang pantas bagi negara berkembang lainnya. Investasi dan bantuan asing mengucur deras ke Chile, meningkat tiga kali lipat antara 1977 hingga 1981. Sekitar 507 perusahaan negara yang dibangun sebelum atau selama pemerintahan Allende, sukses diprivatisasi menjadi tersisa 27.
Tetapi, apa sebenarnya makna dibalik pertumbuhan ekonomi yang terintegrasi secara mendalam ke dalam sistem kapitalisme? Steve Kangas mencatat, sesungguhnya pertumbuhan ekonomi Chile bersifat artifisial atau fiktif alias tidak riil. Antara 1977 dan 1981, 80 persen pertumbuhan Chile terjadi di sektor ekonomi yang tidak produktif seperti pasar dan jasa keuangan. Sebagian besar praktek spekulasi ini telah melambungkan tingkat suku bunga hingga mencapai 51 persen pada 1977. Prestasi yang tertinggi di dunia saat itu. Di samping itu, integrasi mendalam Chile pada ekonomi internasional menyebabkan sedikit saja terjadi resesi, ekonomi Chile kontan bergejolak. Misalnya, ketika terjadi resesi pada 1982, Chile merupakan negara yang menderita paling parah ketimbang negara lain di kawasan Amerika Latin. Pada 1983, ekonomi Chile benar-benar anjlok, tingkat pengangguran melonjak mencapai 28 persen.
Untuk mengatasi gelombang krisis yang makin parah, IMF mengucurkan dananya. Syaratnya, Chile harus menjamin pembayaran seluruh utang-utangnya yang mencapai total $7.7 miliar. Total pembayaran utang ini menghabiskan biaya sebesar tiga persen dari GNP Chile setiap tahunnya selama tiga tahun. Yang menarik dicatat, ketika ekonomi mengalami booming, perusahaan-perusahaan yang diprivatisasi mereguk keuntungan luar biasa besar tapi, ketika ekonomi tengah krisis utang-utang perusahaan ini menjadi tanggung jawab pemerintah. Artinya, bukan keuntungan yang tersosialisasi melainkan utang.
Setelah kucuran dana IMF ini, ekonomi Chile kembali membaik pada 1984, pertumbuhan kembali tinggi mencapai 7.7 persen per tahun antara 1986 dan 1989. Tetapi, GDP perkapita pada 1986 tetap 6.1 persen, lebih rendah dari 1981. Kalau demikian, apa rekor dari keseluruhan pemerintahan rejim Pinochet ini? Mari kita dengar uraian Kangas: antara 1972 dan 1987, GNP per kapita jatuh pada level 6.4 persen. Dengan nilai dolar tetap pada 1993, GDP per kapita Chile pada 1973 mencapai angka di atas $3.600. Namun, pada masa pemulihan hingga 1993, GDP per kapita hanya berkisar $3.170. Pada akhir 1989, tingkat kemiskinan di Chile mencapai 41.2 persen, sepertiga dari mereka benar-benar dikategorikan sangat miskin. Pada 1970, konsumsi harian 40 persen kaum miskin mengandung 2.019 kalori. Pada 1981, jumlah kalori ini turun mencapai 1.751 dan pada 1990 kembali turun ke angka 1.629. Sementara itu, jumlah populasi yang tidak menempati rumah yang layak angkanya meningkat dari 27 menjadi 40 persen antara 1972 dan 1988.
Lalu, bagaimana dengan komposisi struktur sosial? Ketimpangan pendapatan di Chile merupakan yang terburuk di kawasan itu. Pada 1980, 10 persen penduduk kaya menikmati 36,5 persen pendapatan nasional. Pada 1989, meningkat menjadi 46,8 persen. Sebaliknya, 50 persen kelompok bawah pendapatan mereka jatuh dari 20.4 menjadi 16.8 persen dalam periode yang sama. Pendapatan tentu saja bukan satu-satunya ukuran ketimpangan. Produksi harus juga dilihat. Ketika the Chicago Boy meluncurkan program privatisasi, oligopoli terbentuk sangat cepat di hampir semua sektor. Sebagai contoh, di sektor industri kertas dan selulosa, jumlah industri yang bermain di sektor ini hanya ada dua sementara share industrinya mencapai 90,0 persen. Atau di sektor produk-produk hutan, jumlah industri yang berkiprah hanya lima dengan share industrinya sebesar 78,4 persen.
Demikianlah, cerita mengenai perseketuan tidak suci antara the Chicago Boys dan rejim militer ini, gagal mengantarkan Chile ke lapis atas negara makmur dan demokratis. Tetapi, walau fakta kerusakan ekonomi-politik-sosial-lingkungan sudah terang benderang, bukan berarti tak ada yang membela kelompok intelektual liberal ini. Ekonom-cum sosiolog penerima Nobel Garry Becker, menulis, kerusakan yang diderita Chile itu tak bisa semena-mena dituduhkan pada the Chicago Boys. Becker mengatakan, pasar bebas yang diusung oleh the Chicago Boys memang tak serta-merta bisa menyelesaikan masalah di Chile dan Amerika Latin lainnya. Apalagi, ide-ide merkantilis sering sekali menjadi duri penghalang bagi kelancaran kerja mekanisme pasar. Sementara, mengenai gagalnya demokrasi di Chile, Milton Friedman, guru dari the Chicago Boys itu, malah tak melihatnya sebagai sebuah soal. Ia bahkan memberi apresiasi mendalam terhadap Pinochet yang mau dan bersedia mendukung prinsip-prinsip pasar bebas. “Hasilnya luar biasa”, demikian Friedman, “inflasi turun secara drastis.”
Tapi, bagaimana dengan demokrasi? “Di Chile, dorongan bagi kebebasan politik adalah hasil dari kebebasan ekonomi, dan hasil dari sukses ekonomi ini pada akhirnya akan menghasilkan referendum yang merupakan awal bagi demokrasi politik. Sekarang, pada akhirnya, Chile akan memiliki tiga hal: kebebasan politik, kebebasan manusia, dan kebebasan ekonomi.”
Kita kemudian tahu, khotbah sang nabi neoliberal ini tak terbukti. Kebebasan politik dan demokrasi di Chile bukan hasil dari kebebasan ekonomi tapi, hasil dari perjuangan panjang gerakan progresif.***
Kepustakaan:
James Petras and Morris Morley, “The United States and Chile: Imperialism and the Overthrow of the Allende Government” Monthly Review Press, 1975.
Jonathan Haslam, “The Nixon Administration and the Death of Allende’s Chile,” Verso, London, 2005.
Michael Rösch “The meaning of technocratic elites in Chile,” http://tiss.zdv.uni-tuebingen.de/webroot/sp/barrios/themeC1f.html
Steve Kangas, “The Chicago Boys and the Chilean ‘economic miracle,” tanpa tahun.
Diposting oleh KORAN MARJINAL di 03:51
0 komentar:
Segera setelah berkuasa, pemerintahan Allende memberlakukan serangkaian kebijakan radikal dalam bidang ekonomi: nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, nasionalisasi perbankan, peningkatan upah buruh, alokasi anggaran yang besar pada sektor pendidikan dan kesehatan, program susu gratis bagi anak-anak, menolak pembayaran utang luar negeri, dan memberlakukan kebijakan land reform. Seluruh program ini diberi label “Chilean road to socialism.”
Dalam waktu singkat, seluruh kebijakan radikal ini telah menjadikan Allende sebagai musuh bersama bagi pemerintah Amerika Serikat, korporasi asing, para tuan tanah dan borjuasi domestik, gereja Katolik Roma, dan sebagian faksi dalam militer. Pemerintahan Richard Nixon di Washington, misalnya, memandang pemerintahan Allende sebagai ancaman terbesar bagi kepentingan ekonomi dan geopolitiknya di kawasan Amerika Latin. James Petras dan Morris Morley, mencatat, investasi swasta langsung perusahaan-perusahaan AS di Chile hingga tahun 1970 mencapai $1.1 miliar dari total perkiraan investasi asing sebesar $1.672 miliar. Lebih lanjut mereka mengatakan, korporasi AS dan asing lainnya mengontrol hampir seluruh sektor-sektor ekonomi vital dan paling dinamis Chile: mesin dan peralatan (50%); besi, baja, dan produk-produk metal (60%); industri dan kimia lainnya (60%); produk-produk karet (45%); perakitan otomotif (100%); radio dan televisi (100%); farmasi ( mendekati 100%); kantor perlengkapan (mendekati 100%); tembakau (100%); pabrik tembaga (100%); dan periklanan (90%). Satu-satunya pendapatan terbesar Chile dari perdagangan internasional yakni tembaga, 80 persen pengelolaannya dikontrol oleh korporasi AS.
Demikianlah, umur pemerintahan Allende ini telah bisa diduga. Apalagi, seperti ditulis Jonathan Haslam, pada dasarnya secara politik pemerintahan Allende adalah pemerintahan yang lemah. Dalam pemilu 1970, ia hanya meraih 36.2 persen suara, unggul tipis atas mantan presiden Jorge Alessandri (34.9%), dan atas Radomiro Tomic dari Partai Kristen Demokrat (27.8%). Maka, ujung dari cerita ini telah kita ketahui bersama: pada 11 September 1973, pemerintahan Salvador Allende dijatuhkan melalui kudeta militer paling berdarah sepanjang sejarah politik modern Chile.
Persekutuan Tidak Suci
Setelah kekuasaan berhasil dikonsolidasikan, rejim junta militer di bawah jenderal Augusto José Ramón Pinochet Ugarte atau Augusto Pinochet, segera memutarbalik gerbong kebijakan pemerintahan Allende. Pinochet mengembalikan seluruh perusahaan yang telah dinasionalisasi, mengundang investor asing dengan meliberalisasi sektor keuangan dan perdagangan. Di bidang politik, Pinochet memberangus kebebasan pers, membekukan seluruh aktivitas partai politik dan organisasi massa, terutama yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan Salvador Allende. Ia juga melancarkan pembunuhan politik besar-besaran, memenjarakan dan mengasingkan lawan-lawan politiknya.
Tetapi, jika secara politik Pinochet sukses, tidak demikian secara ekonomi. Ia gagal merestorasi kembali bangunan ekonomi kapitalis yang coba dihancurkan Allende. Sektor ini seperti “terra incognita” bagi angkatan laut yang diserahi tanggung jawab mengurusinya. Satu-satunya patokan adalah mengganti seluruh kebijakan ekonomi yang sebelumnya dilaksanakan oleh pemerintah Allende. Pada saat inilah, rejim junta menerima uluran tangan dari sekelompok ekonom jebolan universitas Chicago, AS, di bawah bimbingan profesor Milton Friedman dan Arnold Harberger dari Chicago School of Economics. Para ekonom yang terdiri dari 25 sampai 30 orang ini, kemudian terkenal dengan sebutan the Chicago Boys.
Sebelum kudeta berlangsung, sebenarnya telah terjadi kontak antara angkatan laut dengan kelompok ini. Menurut Michael Rösch, kontak pertama terjadi pada 1973 yang difasilitasi oleh koran “El Mercurio.” Pada akhir tahun 1973, kontak kian intensif terlebih ketika pejabat tinggi angkatan laut mengetahui bahwa kelompok ini turut dibiayai oleh CIA. Namun, setelah kudeta kontak antara kedua kelompok ini agak mengendur. Sebabnya, junta militer lebih mempercayai beberapa anggota Partai Kristen yang konservatif tapi, memiliki reputasi internasional yang tinggi. Mereka misalnya, Sergio Molina, mantan menteri keuangan d bawah presiden Eduardo Frei Montalva, atau Carlos Massad dan Raúl Sáez yang juga menduduki posisi penting dalam pemerintahan Frei.
Tetapi, kontak dengan elemen konservatif dari Partai Kristen ini tak berlanjut, lantaran sebagian besar pendukung Partai Kristen menolak kerjasama tersebut, karena secara politik dianggap tidak menguntungkan. Pada saat yang sama, kelompok Chicago Boys mengatakan, untuk mengubah secara radikal masyarakat dan mentalitas rakyat Chile, satu-satunya cara adalah melakukan perubahan mendasar dalam bidang ekonomi. Dan seperti dikatakan Rösch, sejak saat itu kontak antara rejim junta dengan kelompok the Chicago Boys ini semakin penting.
Dalam waktu singkat, kelompok ini menduduki jabatan-jabatan strategis dalam rejim militer pimpinan Pinochet. Sergio de Castro, dekan fakultas ekonomi Universitas Katolik Chile, yang dianggap sebagai pemimpin kelompok the Chicago Boys, diangkat sebagai menteri keuangan (1974-1982); Pablo Baraona menjadi menteri ekonomi (1976-1979); Álvaro Bardón menteri ekonomi (1982-1983); Hernán Büchi menteri ekonomi (1979-1980); dan selanjutnya menteri keuangan (1985-1989); Robert Kelly menteri ekonomi (1978-1979); Fernando Léniz menteri ekonomi (1973 - 1975); Emilio Sanfuentes sebagai penasehat ekonomi di Bank Sentral; Juan Villarzú menjabat sebagai direktur anggaran; dan Jorge Cauas sebagai menteri perumahan (1975).
Pada bulan Maret 1975, kelompok ini menggelar seminar ekonomi yang mendapat perhatian luas media nasional. Dalam seminar tersebut, mereka memaparkan proposal penyelamatan ekonomi Chile melalui program pengetatan radikal, yang disebut shock treatment atau terapi kejut. Dalam seminar itu juga, mereka mengundang Milton Friedman dan Arnold Harberger, sehingga tak aneh jika proposal pengetatan ekonomi ini memperoleh sambutan luar biasa. Dalam proposal tersebut dicantumkan serangkaian program seperti pengurangan drastis suplai uang dan pengeluaran pemerintah, privatisasi pelayanan-pelayanan pemerintah, deregulasi pasar besar-besaran, dan liberalisasi perdagangan internasional.
Segera setelah seminar tersebut, pemerintah Chile meluncurkan program pemulihan ekonomi (Economic Recovery Program/ERP). Fase pertama dari kebijakan terapi kejut ini adalah mereduksi suplai uang dan pembelanjaan pemerinta, yang diikuti dengan pemotongan inflasi hingga level yang bisa diterima. Namun demikian, kebijakan ini menyebabkan meningkatnya angka pengangguran dari 9.1 menjadi 18.71 persen antara 1974 dan 1975. Selain itu pula, seluruh program pemulihan ekonomi ini dilakukan ditengah-tengah tidak adanya demokrasi. Di sini peran Pinochet adalah mendukung dan merepresi seluruh tantangan yang menghambat kerja-kerja the Chicago Boys. Dengan demikian, buruh dan sektor rakyat miskin lainnya menerima program terapi kejut ini di bawah todongan senapan.
Pada pertengahan 1976, ekonomi Chile mulai membaik. Dan sejak 1978 hingga 1981, hasil dari program terapi kejut ini menggembirakan pemerintahan Pinochet dan dunia internasional. Friedman menyebut sukses ekonomi Chile sebagai the economic miracle, sementara IMF dan Bank Dunia menjadikan sukses Chile sebagai contoh yang pantas bagi negara berkembang lainnya. Investasi dan bantuan asing mengucur deras ke Chile, meningkat tiga kali lipat antara 1977 hingga 1981. Sekitar 507 perusahaan negara yang dibangun sebelum atau selama pemerintahan Allende, sukses diprivatisasi menjadi tersisa 27.
Tetapi, apa sebenarnya makna dibalik pertumbuhan ekonomi yang terintegrasi secara mendalam ke dalam sistem kapitalisme? Steve Kangas mencatat, sesungguhnya pertumbuhan ekonomi Chile bersifat artifisial atau fiktif alias tidak riil. Antara 1977 dan 1981, 80 persen pertumbuhan Chile terjadi di sektor ekonomi yang tidak produktif seperti pasar dan jasa keuangan. Sebagian besar praktek spekulasi ini telah melambungkan tingkat suku bunga hingga mencapai 51 persen pada 1977. Prestasi yang tertinggi di dunia saat itu. Di samping itu, integrasi mendalam Chile pada ekonomi internasional menyebabkan sedikit saja terjadi resesi, ekonomi Chile kontan bergejolak. Misalnya, ketika terjadi resesi pada 1982, Chile merupakan negara yang menderita paling parah ketimbang negara lain di kawasan Amerika Latin. Pada 1983, ekonomi Chile benar-benar anjlok, tingkat pengangguran melonjak mencapai 28 persen.
Untuk mengatasi gelombang krisis yang makin parah, IMF mengucurkan dananya. Syaratnya, Chile harus menjamin pembayaran seluruh utang-utangnya yang mencapai total $7.7 miliar. Total pembayaran utang ini menghabiskan biaya sebesar tiga persen dari GNP Chile setiap tahunnya selama tiga tahun. Yang menarik dicatat, ketika ekonomi mengalami booming, perusahaan-perusahaan yang diprivatisasi mereguk keuntungan luar biasa besar tapi, ketika ekonomi tengah krisis utang-utang perusahaan ini menjadi tanggung jawab pemerintah. Artinya, bukan keuntungan yang tersosialisasi melainkan utang.
Setelah kucuran dana IMF ini, ekonomi Chile kembali membaik pada 1984, pertumbuhan kembali tinggi mencapai 7.7 persen per tahun antara 1986 dan 1989. Tetapi, GDP perkapita pada 1986 tetap 6.1 persen, lebih rendah dari 1981. Kalau demikian, apa rekor dari keseluruhan pemerintahan rejim Pinochet ini? Mari kita dengar uraian Kangas: antara 1972 dan 1987, GNP per kapita jatuh pada level 6.4 persen. Dengan nilai dolar tetap pada 1993, GDP per kapita Chile pada 1973 mencapai angka di atas $3.600. Namun, pada masa pemulihan hingga 1993, GDP per kapita hanya berkisar $3.170. Pada akhir 1989, tingkat kemiskinan di Chile mencapai 41.2 persen, sepertiga dari mereka benar-benar dikategorikan sangat miskin. Pada 1970, konsumsi harian 40 persen kaum miskin mengandung 2.019 kalori. Pada 1981, jumlah kalori ini turun mencapai 1.751 dan pada 1990 kembali turun ke angka 1.629. Sementara itu, jumlah populasi yang tidak menempati rumah yang layak angkanya meningkat dari 27 menjadi 40 persen antara 1972 dan 1988.
Lalu, bagaimana dengan komposisi struktur sosial? Ketimpangan pendapatan di Chile merupakan yang terburuk di kawasan itu. Pada 1980, 10 persen penduduk kaya menikmati 36,5 persen pendapatan nasional. Pada 1989, meningkat menjadi 46,8 persen. Sebaliknya, 50 persen kelompok bawah pendapatan mereka jatuh dari 20.4 menjadi 16.8 persen dalam periode yang sama. Pendapatan tentu saja bukan satu-satunya ukuran ketimpangan. Produksi harus juga dilihat. Ketika the Chicago Boy meluncurkan program privatisasi, oligopoli terbentuk sangat cepat di hampir semua sektor. Sebagai contoh, di sektor industri kertas dan selulosa, jumlah industri yang bermain di sektor ini hanya ada dua sementara share industrinya mencapai 90,0 persen. Atau di sektor produk-produk hutan, jumlah industri yang berkiprah hanya lima dengan share industrinya sebesar 78,4 persen.
Demikianlah, cerita mengenai perseketuan tidak suci antara the Chicago Boys dan rejim militer ini, gagal mengantarkan Chile ke lapis atas negara makmur dan demokratis. Tetapi, walau fakta kerusakan ekonomi-politik-sosial-lingkungan sudah terang benderang, bukan berarti tak ada yang membela kelompok intelektual liberal ini. Ekonom-cum sosiolog penerima Nobel Garry Becker, menulis, kerusakan yang diderita Chile itu tak bisa semena-mena dituduhkan pada the Chicago Boys. Becker mengatakan, pasar bebas yang diusung oleh the Chicago Boys memang tak serta-merta bisa menyelesaikan masalah di Chile dan Amerika Latin lainnya. Apalagi, ide-ide merkantilis sering sekali menjadi duri penghalang bagi kelancaran kerja mekanisme pasar. Sementara, mengenai gagalnya demokrasi di Chile, Milton Friedman, guru dari the Chicago Boys itu, malah tak melihatnya sebagai sebuah soal. Ia bahkan memberi apresiasi mendalam terhadap Pinochet yang mau dan bersedia mendukung prinsip-prinsip pasar bebas. “Hasilnya luar biasa”, demikian Friedman, “inflasi turun secara drastis.”
Tapi, bagaimana dengan demokrasi? “Di Chile, dorongan bagi kebebasan politik adalah hasil dari kebebasan ekonomi, dan hasil dari sukses ekonomi ini pada akhirnya akan menghasilkan referendum yang merupakan awal bagi demokrasi politik. Sekarang, pada akhirnya, Chile akan memiliki tiga hal: kebebasan politik, kebebasan manusia, dan kebebasan ekonomi.”
Kita kemudian tahu, khotbah sang nabi neoliberal ini tak terbukti. Kebebasan politik dan demokrasi di Chile bukan hasil dari kebebasan ekonomi tapi, hasil dari perjuangan panjang gerakan progresif.***
Kepustakaan:
James Petras and Morris Morley, “The United States and Chile: Imperialism and the Overthrow of the Allende Government” Monthly Review Press, 1975.
Jonathan Haslam, “The Nixon Administration and the Death of Allende’s Chile,” Verso, London, 2005.
Michael Rösch “The meaning of technocratic elites in Chile,” http://tiss.zdv.uni-tuebingen.de/webroot/sp/barrios/themeC1f.html
Steve Kangas, “The Chicago Boys and the Chilean ‘economic miracle,” tanpa tahun.
Diposting oleh KORAN MARJINAL di 03:51
0 komentar:
Membangun Jaringan Intelektual Neoliberal
Kasus Hernando de Soto
Noer Fauzi dan Kim Malone
Majalah Tempo Edisi 10 September 2006, melansir publikasi khusus untuk menyambut kedatangan Hernando de Soto, pakar pembangunan dari Peru. De Soto datang ke Indonesia pada September itu atas sponsor Bank Danamon. Laporan yang dibuat bekerjasama dengan Bank Danamon, menghabiskan enam halaman (halaman 75 – 81). Termasuk dua halaman tulisan Joyo Winoto, Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Naskah dibuka dengan foto berwarna wajah Hernando de Soto, yang enak dipandang. Foto itu mau mencitrakan seorang pemikir kaliber dunia. Di bagian bawah gambar, tertera judul “Hernando de Soto: Gagasan Kontroversial dari Dunia Ketiga,” yang disertai kalimat yang dibuat untuk mengalasi “kehebatan” dari gagasan De Soto itu. Begini bunyinya: “Kapitalisme acap kali dituding sebagai penyebab kesengsaraan mayoritas penduduk dunia. Jurang perbedaan antara negara kaya dan miskin lebar, bahkanketimpangan antara kaum berpunya dan terpinggirkan di semua negara pun memburuk.” Halaman berikutnya dimuat suatu rubrik dengan judul “Benarkah dugaan ini?”
Tulisan ini tidak hendak membahas isi dari liputan itu, yang kebanyakan adalah promosi kesuksesan program Bank Danamon, memberikan kredit pada usaha kecil. Tidak juga untuk mengulas esai dua halaman dari Joyo Winoto, yang mencoba melengkapi gagasan “reformasi aset ala de Soto” dengan “reformasi akses ala Amartya Zen.” Naskah enam halaman itu sekadar kami jadikan pintu masuk untuk membahas sosok Hernando De Soto, bagaimana gerak langkahnya, serta orientasi ideologis dari pemikirannya.
Puja-puji terhadap de Soto
Ekonom dan ilmuan sosial dunia ketiga, nicaya mengenal karya Hernando de Soto. De Soto saat ini merupakan konsultan dan konseptor ternama kelas wahid pada skala dunia. Tenaganya banyak digunakan oleh badan pembangunan/dana internasional seperti Bank Dunia, Inter-American Development Bank, Asian Development Bank, Komisi Eropa, dan USAID. Belum lama ini, ia diangkat sebagai ketua kehormatan dari the High Level Commission on Legal Empowerment of the Poor (HLCLEP), sebuah badan bentukan antar-pemerintahan Negara-negara Nordic (Denmark, Finland, Iceland, Norwagia, dan Sweden). Badan ini juga didukung oleh pemerintah Kanada, Mesir, Guatemala, Tanzania, Inggris, dan sejumlah badan internasional seperti, UN Economic Commission for Europe (UNECE). De Soto telah pula mendapatkan beragam pujian dari berbagai orang ternama di dunia, misalnya, George H.W. Bush, Bill Clinton, Hamid Karzai, Alberto Fujimori, Milton Friedman, Javier Pérez de Cuéllar, dll. The Institute for Liberty and Democracy (ILD, lembaga penelitiannya de Soto) juga mendapatkan penghargaan istemewa dari lebih dari 20 universitas, badan pembangunan internasional, hingga perusahaan-perusahaan transnasional. Sejarah, karya-karya dan berbagai puja-puji ini dapat ditemukan dalam situs maya ILD (http://www.ild.org.pe).
Reputasinya sebagai pemikir pembangunan makin tersohor, sejak mempromosikan resep sederhana dan sangat menggoda: integrasi aset rakyat miskin dalam sektor informal kota ke dalam sistem pasar melalui program legalisasi besar-besaran oleh pemerintah. Basis reputasinya ini dibangun dari ILD di Peru, dimana ia menjadi direktur pertamanya pada 1980. Sepanjang masa kepemimpinannya, ILD melakukan penelitian, implementasi, pelatihan, dan advokasi agar pemerintah Peru mengadopsi usulan kebijakan, membiayai dan menjalankan legalisasi aset rakyat miskin kota secara massif yang ia maksudkan. Kerja advokasi ILD ini sukses. Presiden Peru Alan Garcia (1985 – 1990), kemudian mengangkat de Soto sebagai penasehat dan usulan kebijakan de Soto diadopsi menjadi program pemerintah. Hasil penelitian dan kerja ILD, kemudian menjadi dasar dari buku-buku yang ditulisnya. Dua buku utamanya yang mendapat sambutan luas adalah "The Other Path: Invisible Revolution in the Third World" (1989) dan "The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else" (2000). Keduanya merupakan karya yang paling banyak dirujuk oleh ekonom dan ilmuwan sosial Barat mengenai pembangunan di dunia ketiga. Buku pertamanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "Masih Ada Jalan Lain : Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia Ketiga," terbitan Yayasan Obor, 1992.
Berbeda dengan sejumlah pihak yang memuji dan memakai pemikiran de Soto sebagai pembenar atas eksistensi dan signifikansi ekonomi rakyat, tulisan ini hendak menyingkap misi de Soto sebagai bagian dari jaringan intelektual neoliberal yang memuja-muja keutamaan dari sistem hukum dan mekanisme pasar kapitalis untuk memberantas kemiskinan di negara-negara dunia ketiga.
De Soto dan Indonesia: Cerita Anjing yang Menggonggong
Kepedulian utama de Soto, adalah bagaimana sistem-sistem kepemilikan (property systems), dibangun di negara-negara non-Barat. Ia yakin, pada saat ini mayoritas aturan yang menjadi dasar kepemilikan dan transaksi aset-aset di negara-negara non-Barat, terjadi di luar sistem hukum formal. Untuk memodernisasikannya, negera-negara Dunia Ketiga musti mengoonversi dan merajut semua aturan yang ekstra-legal itu ke dalam suatu sistem tunggal yang menjadi pegangan semua pihak. Pendek kata, semua kontrak-kontrak sosial di luar sistem formal, harus diintegrasikan dalam satu kontrak sosial yang mencakup semuanya.
Pertanyaannya “Bagaimana caranya?” Ada “cerita” yang sering sekali disajikan secara berulang-ulang oleh de Soto, untuk meyakinkan para pembaca/pendengarnya mengenai cara mengintegrasikan aset yang masih berada di luar sistem pasar dan juga bagaimana agar pemerintah mengetahui aturan-aturan yang berlaku dan berada di luar hukum (de Soto menggunakan istilah: ektra legal). Yakni, cerita tentang gonggongan anjing, yang muncul dari pengalaman de Soto saat berjalan santai di pematang-pematang sawah di Bali, yang menurutnya salah satu daerah yang paling cantik di dunia. Sewaktu menelusuri pematang-pematang sawah itu, ia sama sekali tidak tahu batas-batas kepemilikan antara satu bidang dengan bidang yang lainnya. Tetapi, anjing-anjing penjaga sawah itu tahu. Setiap kali de Soto melintas batas kepemilikan, anjing yang berbeda mengonggongi dia. De Soto terilhami, “anjing-anjing Indonesia barangkali tidak pernah belajar tentang hukum formal, tetapi mereka sangat terpelajar tentang mana-mana aset yang dikuasai oleh majikannya.” (Sumber: “Hearing the Dogs Bark, Jeremy Clift Interviews Development Guru Hernando de Soto”, Finance & Development, December 2003).
Cerita itu juga pernah dia jelaskan kepada lima menteri Indonesia di awal 1990-an, ketika diundang berbicara mengenai bagaimana pemerintah Indonesia bisa mengetahui siapa yang menguasai apa dari 90 persen rakyat Indonesia yang hidup di sektor ektra-legal. “Anjing-anjing Indonesia ternyata telah mempunyai informasi-informasi dasar yang dibutuhkan untuk membangun sistem kepemilikan formal. Dengan menelusuri jalan-jalan di kota dan di desa dan mendengarkan anjing-anjing yang menggonggong, secara pelan-pelan informasi tersebut diproses mulai dari bawah ke atas, dan kemudian dijalin hingga terintegrasi ke dalam kontrak sosial formal yang berlaku.” “Salah seorang menteri,” demikian tulis de Soto, “dengan semangat menyatakan “Ah, itu kan hukum adat!” De Soto kemudian menyampaikan generalisasi yang berlebihan bahwa bangsa-bangsa Barat membangun sistem kepemilikan formal mereka dengan cara mulai dari aturan-aturan rakyat (de Soto, “Listening to the Barking Dogs: Property Law against Poverty in the non-West”, Focaal - European Journal of Anthropology no. 41, 2003, hal 183).
De Soto dan Jaringan Neoliberalnya
Ketimbang melihatnya sebagai akademisi tulen, Ray Bromley (professor Geografi dan Perencanaan dari University of Albany, the State University of New York) menilai de Soto adalah usahawan transnasional sangat sukses menjual resep kebijakan baru. “Dia mampu menggunakan latar pendidikan Eropanya, dukungan Amerika yang didapatnya, dan kewarganegaran Perunya untuk bekerja secara internasional dan mengembangkan suatu paket pesan global. Ia sangat fasih bicara bahasa Perancis, Inggeris dan Spanyol, dengan menggunakan nama yang sama dengan contquistador, sang penakluk dari Spanyol yang terkenal, dan dengan perkoncoan pribadinya yang erat dengan lingkaran dalam di Washington dan PBB, dia menjadi seorang selebriti yang dapat memasarkan ide-idenya dengan sangat mudah (“Power, Property and Poverty: Why De Soto’s “Mystery of Capital” Cannot be Solved”, dalam Urban Informality, Transnational Perspectives from Middle East, Latin America and South Asia, Ananya Roy and Nezar AlSayyad, (Eds.), hal. 284).
Misi utamanya untuk memasarkan resep kebijakan “integrasi aset rakyat miskin ke dalam sistem kapitalisme” ini dengan sangat baik ditelusuri sejak awal mula oleh Timothy Mitchell (professor pada Department of Politics, New York University) dalam karyanya “The Work of Economics: How a Discipline Makes its World” yang dimuat dalam European Journal of Sociologyy No. 46/2005, halaman 297-320). Membaca karya ini, akan dengan cepat kita berkesimpulan bahwa De Soto tidak lain adalah intelektual neoliberal yang bermantelkan populisme. Michell mengajak pembacanya untuk melihat jalinan kekuasaan dan skenario yang mendasari proyek yang dikerjakan De Soto dan ILD di Peru. Karya Mitchel tersebut membuka mantel populisme De Soto dengan mula-mula menunjukkan bahwa kerja “pilot project” pendaftaran tanah massif di Peru, bukan hanya merupakan unjuk kerja berbagai pihak di Peru, tetapi juga usaha-usaha dari jaringan neoliberal global, yang meski melibatkan sedikit orang, namun sangat teroganisir rapi. Penjelasan berikut mengenai jaringan intelektual neoliberalnya bersumberkan karya Timothy Michell tersebut.
Asal-Usul Gerakan Neo-Liberal
Gerakan neoliberal dapat ditelusuri riwayatnya dari “Free Market Project” yang dibentuk di musim gugur 1946 di Law School, Universitas Chicago, dan Mont Pelerin Society, suatu perkumpulan dari intelektual neoliberal yang dibentuk pada April 1947, di sebuah desa Mont Pelerin, Swiss. Di tempat inilah, kelompok Chicago ini bertemu dengan kelompok Mont Pelerin Society yang dimotori Friedrich von hayek.
Di tangan kedua kelompok inilah, ideologi neoliberalisme yang merupakan filosofi dari sekelompok kecil kaum intelektual, pelan-pelan berkembang hingga menjadi instrument politik yang sangat efektif. The Free Market Project menjadi contoh (prototype) organisasi think-tank yang meluaskan ideologi neoliberal dengan mengombinasikan produksi pengetahuan dan usulan praktis untuk kebijakan. Project ini bekerja dengan dukungan penuh “penelitian” dan disokong oleh dana-dana perusahaan raksasa yang disalurkan melalui berbagai yayasan. Model Chicago ini kemudian ditiru di luar sekolah hukum oleh the Heritage Foundation, the American Enterprise Institute, the Hudson Institute dan cukup banyak organisasi neoliberal lain yang dibentuk di Amerika Utara dan Eropa, semenjak 1950 sampai sekarang.
Friedrich von Hayek, yang memainkan peran yang utama dalam membentuk dan membangun baik the Free Market Project maupun the Month Pelerin Society, bertemu dengan Hernando de Soto pertama kalinya dalam satu perjalanan ke Lima, Peru, pada 1979. Pada saat itu, apa yang dimulai sebagai gerakan intelektual pinggiran yang kekiri-kirian sudah menjadi ortodoksi yang paling kuat secara politik di Barat. Gerakan neoliberal pada saat itu sedang mencoba memperluas jaringannya ke daerah-daerah lain di dunia. Pada tahun 1981, teman dekat von Hayek, Antony Fisher, membentuk the Atlas Foundation for Economic Research. Tujuan yayasan ini untuk mengoordinasi aktivitas dan dana-dana perusahaan dalam jaringan para pemikir di Eropa dan Amerika, dan untuk memperluas yayasan ini dengan mengembangkan dan membiayai kelompok organisasi neoliberal di luar Eropa Barat dan Amerika Serikat. De Soto adalah hasil pertama dan yang tersukses dari prakarsa ini.
Advokasi Neo-Liberal ke Negara-negara Non-Barat
Setelah pertemuan mereka di Lima, von Hayek mempertemukan de Soto dengan Fisher. The Atlas Foundation, kemudian membentuk dan membiayai Institue for Liberty and Democracy (ILD) yang didirikan de Soto, sebuah lembaga pemikiran neoliberal pertama di belahan selatan. “Antony memberikan kami banyak sekali informasi dan nasehat bagaimana menjadikan lembaga ini terorganisir,” demikian ingatan de Soto. “Dengan demikian visinya Fisher juga menjadi dasar pembentukan ILD. Dia datang ke Lima, dan menjelaskan pada kami bagaimana menyusun statute, bagaimana merencanakan tujuan kami, bagaimana membangun yayasan, apa yang dapat dihasilkan dalam jangka pendek dan jangka panjang.”
Meskipun sebagai orang Dunia Ketiga yang “ditemukan” Hayek di Lima, de Soto sebenarnya telah memiliki pergaulan dengan gerakan neoliberal. Ia juga memiliki pengalaman profesional yang panjang di organisasi-organisasi yang berkaitan dengan perdagangan dan pembangunan internasional. De Soto dibesarkan di Genewa, keluarganya kemudian pindah ketika ia berumur tujuh tahun, setelah ayahnya bekerja di International Labour Organization (ILO). De Soto pertama-tama kerja pendek di Genewa untuk General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), dari sana ia meloncat sebagai direktur eksekutif dari International Council of Cooper Exporting Countries (CIPEC), suatu organisasi kartel yang dibentuk pada 1867 oleh pemerintahan Peru, Cile, Zaire dan Zambia. Para pendukung de Soto, termasuk seorang jutawan industrialis Swiss bernama Stephan Schmidheiny, juga merupakan orang yang aktif dalam organisasi-organisasi neoliberal.
Pertemuan de Soto dengan von Hayek, terjadi pada tahun dimana ia kembali ke Lima sebagai pengusaha, sebagai wakil para investor yang mempunyai hak membeli deposit pasir-pasir emas. Pengusaha pertambangan itu gagal setelah mereka pergi mengunjungi dan meninjau kembali konsesi-konsesi di hutan tropis dan menemukan adanya ratusan masyarakat lokal, yang sudah menapis pasir dan mengambil emas tanpa hak konsesi. De Soto menemukan masalah dari klaim-klaim kepemilikan informal. Kontak-kontak dia di gerakan neoliberal Eropa dan Amerika Utara, memberikan suatu jawaban pada masalah ini.
Pengalaman de Soto di Eropa, jarang disebut-sebut oleh para pendukung neoliberalnya. Kredibilitas dan otoritasnya sebagai ekonom pembangunan semakin lekat pada identitasnya sebagai orang neoliberal Dunia Ketiga, yang terbuka untuk menjelaskan kemiskinan di belahan dunia selatan sebagai suatu “self-inflicted injury” (luka yang dibikin sendiri), yang tidak berhubungan dengan belahan dunia utara. “Dari pada melihat dunia berkembang sebagai korban kapitalisme, de Soto berargumen, kita sebenarnyalah yang membuat luka kita sendiri,” sebagaimana dilaporkan Andrew Natsios, administrator USAID (US Agency for International Development). “Karena dia adalah orang Peru, dia bisa membuat argument ini menjadi lebih dapat dipercaya.” Kredibilitas ini membuatnya sangat bermanfaat untuk gerakan neoliberal. “Selama bertahun-tahun, saya bersama Antony Fisher di Atlas,” sebagaimana ditulis Alex Taufan (2004), yang menggantikan Fisher sebagai presiden di organisasi itu, “saya tidak bisa ingat adanya perbincangan tentang contoh pemikir yang berhasil tanpa menyebut nama Hernando.”
Atlas mengajarkan de Soto mengenai taktik-taktik advokasi dan penelitian untuk para pemikir. Dukungan dan pelatihan lainnya, datang dari sumber-sumber resmi lain di Washington. Tahun 1983, kaum neoliberal dalam pemerintahan Ronald Reagan, membentuk Center for International Private Enterprise (CIPE), yang dapat tempat di National Endowment for Democracy yang baru, untuk mendukung organisasi-organisasi di dunia sedang berkembang yang memberikan advokasi untuk program-program politik neoliberal. CIPE membentuk suatu paket alat yang menjelaskan taktik-taktik yang bisa dipakai: membentuk suatu tim advokasi, mengidentifikasi masalah-masalah kunci yang cocok pada kelompok sasaran, meneliti masalah-masalah, menetapkan tujuan-tujuan, menyusun pesan dan kampanye-kampanye iklan, membuat para pembela rakyat, bekerja dengan media, dan menjadi bagian dari pada proses-proses pemerintahan (Center for International Enterprise, 2003). Tahun berikutnya, CIPE memberikan hibah pertama kepada Institute for Liberty and Democracy (ILD), untuk mendukung de Soto dan lembaganya, Institute for Liberty and Democracy (ILD).
Puncak-puncak Prestasi de Soto dan ILD
Untuk mengembangkan dukungan popular pada neoliberalisme, ILD mengidentifisir isu-isu politik bukan sebagai masalah kepemilikan tanah yang umum, atau bukan sebagai masalah property rights dari perusahaan-perusahaan tambang atau perusahaan lain, tapi sebagai masalah dari permukiman informal. Kemudian ILD mulai mempelajari komunitas-komunitas informal di Lima, dan membuat kontrak dengan pemerintah kota Lima untuk menjalankan skema pendaftaran tanah (land titling) untuk permukiman informal. Hal ini menjadi langkah pertama dari program 20 tahun yang berpuncak pada program senilai $66 juta, yang dibiayai Bank Dunia. Di tahun 2003, ketika sedang mengkaji ulang dua puluh tahun usaha mendukung organisasi-organisasi neoliberal di Negara-negara berkembang, CIPE di Washington menjelaskan proyek pertama di Peru, sebagai inisiatif yang paling berhasil (Center for International Private Enterprise, 2003).
Dengan dukungan dari luar negeri, lembaga de Soto bertumbuh besar, mengembangkan kampanye advokasinya dan berhasil menyusupkan pengaruhnya ke dalam proses-proses penyusunan kebijakan pemerintah. Selama pemerintahan Alan Garcia, pertengahan kedua 1980-an, lembaga de Soto terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan. Advokat-advokat ILD membuat proposal-proposal untuk kebijakan-kebijakan pertanahan dan perubahan administrasi. Untuk mendukung kebijakan ini, ILD membuat iklan-iklan komersial di televisi, yang meminjam bentuk iklan-iklan loterei sejumlah pemerintah negara bagian di Amerika, yang membangkitkan masyarakat untuk bermimpi: “apa yang akan kamu lakukan bila kamu punya modal?” Pada 1991, Institut ini memiliki staff 100 orang. Victor Endo, seorang advokat ILD yang kemudian bekerja di World Bank, mengatakan, pemikir-pemikir di ILD menjadi “sejenis sekolahan untuk para elite pembuat kebijakan. Hampir semua menteri yang penting, ahli hukum, ekonom dan para wartawan di Peru adalah alumni ILD”.
Tahun 1987, ILD mempublikasikan buku berdasarkan penelitiannya dan program-program pembaruan di bawah judul "El Otro Sendero" (“The Other Path”), dengan subjudul, “The Economic Answer to Terrorism.” Penulis naskah itu adalah de Soto dan dua teman dekatnya, Enrique Ghersi Silva, seorang ekonom dan sarjana hukum yang dipengaruhi oleh gerakan hukum dan ekonomi Chicago dan kemudian menjadi anggota the Mont Pelerin Society, dan Mario Ghibellini, seorang penulis. Tahun 1989 buku itu diterbitkan dalam Bahasa Inggeris di Amerika Serikat, dengan sub judul baru, “The Invisible Revolution in the Third Worlds”. Buku ini mendapat kata pengantar dari penulis Peru, Mario Vargas Llosa, bekas aktivis kiri yang beralih ke neoliberalisme akibat de Soto sendiri, dan hampir menjadi calon presiden yang didukung Amerika Serikat pada saat Pemilu Peru 1990. Buku ini medapatkan sambutan hangat dari Presiden George H.W. Bush, Richard Nixon dan beberapa orang lain, dan mendapatkan Sir Antony Fisher’s Award dari Atlas Foundation, suatu penghargaan yang diberinama setelah mentornya de Soto itu meninggal.
Dipromosikan dengan penghargaan, berbagai book review dan tanggapan yang hangat dari jaringan pemikiran dan yayasan neoliberal di Eropa dan Amerika, buku ini dengan cepat menjadi best-seller dunia. Pada1990, Alberto Fujimori dipilih menjadi presiden Peru. De Soto, yang tidak lagi mendukung pencalonan Vargas Llosa, karena lebih memilih calon lain yang popular, menjadi penasehat resmi Fujimori. Pemerintah baru kemudian menetapkan rencana stabilisasi keuangan neoliberal yang sangat drastis, yang membawa negara ini jatuh dalam situasi resesi. Pada 1992, de Soto mengundurkan diri dari pemerintahan ini setelah adanya persengketaan mengenai ketidaksetujuan Fujimori untuk menentang militer. Tetapi, de Soto menjaga terus pilot-program pendaftaran tanah di Lima yang dibiayai dana dari Jepang. Namun pada1994,proyek ini terhenti karena hancurnya hubungan baik antara pemerintah dan ILD.
Pada Maret 1996, pemerintah Peru mengeluarkan hukum mengenai formalisasi tanah dan membentuk suatu badan, COFOPRI (Comision de Formalizacion de la Propiedad Informal), untuk mengambilalih program ILD dan kemudian meningkatkannya menjadi skema nasional, yang mempekerjakan anggota tim ILD. Dalam tahun 1998, Bank Dunia masuk dengan pinjaman agar program ini bisa berakhir sempurna. Penelitian yang didanai Bank Dunia menunjukkan, program ini tidak berhasil mencapai tujuannya karena pendaftaran tanah tidak menghasilkan peningkatan kredit pada kaum miskin. Peduli pada kegagalan itu, pada tahun 2000, Bank Dunia menjalankan suatu survey di kampung-kampung informal. Tujuan utama dari survey ini adalah untuk mendorong bank-bank komersial agar memberi hutang uang pada orang-orang kampung.
Sementara itu, de Soto telah melihat ke pasar luar negeri dan mulai dengan pekerjaan mengadvokasikan program-program untuk mengakhiri kemiskinan dunia melalui pendaftaran kepemilikan di Mesir dan beberapa negara lain. Dia memakai pekerjaan ini sebagai bahan bukunya yang kedua, "The Mystery of Capital, Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else" (New York, Basic Books 2000). Dengan dukungan dari Margaret Thatcher, Milton Friedman, dan orang-orang neoliberal yang terkenal dan dengan penghargaan dari organisasi-organisasi neoliberal, karya de Soto sekali lagi menjadi best-seller di seluruh dunia.
Misi De Soto agar Pasar Diterima dengan Ramah
Satu pelajaran terpenting dari kasus de Soto, adalah bagaimana ideologi neoliberalisme terus diproduksi dan direproduksi melalui jaringan yang melibatkan pengetahuan, ahli, uang, lembaga-lembaga, dan last but not least program Pembangunan (dengan P besar) atas nama pemberantasan kemiskinan di dunia ketiga. Karya Michell (2005, seperti dikutip di atas) telah memberi pelajaran, bagaimana jaringan neoliberal telah menciptakan kondisi agar proyek neoliberalismenya De Soto bersama ILD diterima secara luas, bukan hanya di Negara Peru.
Mereka menciptakan kelembagaan baru, mengerahkan dana-dana, merancang penelitian, menjalankan kerja lapangan, mengumpulkan informasi dan menciptakan pengetahuan, menerbitkan buku-buku, mempromosikannya dan memberinya penghargaan, membentuk sasaran-sasaran perubahan kebijakan, menyelenggarakan latihan-latihan, membangun jaringan, hingga menempatkan diri dalam lingkaran pemerintahan. Semua itu, dalam rangka misi menciptakan kondisi agar perluasan pasar kapitalis diterima dengan ramah, tanpa mempersoalkan bagaimana akumulasi kekayaan terjadi dengan pelepasan aset utama kaum miskin yang berlangsung baik secara brutal maupun secara halus.
Soal siapa yang telah dan dapat berpartisipasi dalam pasar kapitalis dan siapa yang telah dan akan disingkirkan lagi, serta siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, bukan lagi pertanyaan yang penting. Bila hal-hal yang diabaikan ini diurus dengan serius, maka rute yang akan ditempuh tentu akan berbeda. ***)
Noer Fauzi adalah Mahasiswa program doktoral pada Divisi Society and Environment, Departement of Environmental Science, Policy and Management (ESPM), University of California at Berkeley.
Kim Malone, PhD, adalah peneliti Pembangunan dan Southeast Asia Studies
Diposting oleh KORAN MARJINAL di 04:02
Noer Fauzi dan Kim Malone
Majalah Tempo Edisi 10 September 2006, melansir publikasi khusus untuk menyambut kedatangan Hernando de Soto, pakar pembangunan dari Peru. De Soto datang ke Indonesia pada September itu atas sponsor Bank Danamon. Laporan yang dibuat bekerjasama dengan Bank Danamon, menghabiskan enam halaman (halaman 75 – 81). Termasuk dua halaman tulisan Joyo Winoto, Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Naskah dibuka dengan foto berwarna wajah Hernando de Soto, yang enak dipandang. Foto itu mau mencitrakan seorang pemikir kaliber dunia. Di bagian bawah gambar, tertera judul “Hernando de Soto: Gagasan Kontroversial dari Dunia Ketiga,” yang disertai kalimat yang dibuat untuk mengalasi “kehebatan” dari gagasan De Soto itu. Begini bunyinya: “Kapitalisme acap kali dituding sebagai penyebab kesengsaraan mayoritas penduduk dunia. Jurang perbedaan antara negara kaya dan miskin lebar, bahkanketimpangan antara kaum berpunya dan terpinggirkan di semua negara pun memburuk.” Halaman berikutnya dimuat suatu rubrik dengan judul “Benarkah dugaan ini?”
Tulisan ini tidak hendak membahas isi dari liputan itu, yang kebanyakan adalah promosi kesuksesan program Bank Danamon, memberikan kredit pada usaha kecil. Tidak juga untuk mengulas esai dua halaman dari Joyo Winoto, yang mencoba melengkapi gagasan “reformasi aset ala de Soto” dengan “reformasi akses ala Amartya Zen.” Naskah enam halaman itu sekadar kami jadikan pintu masuk untuk membahas sosok Hernando De Soto, bagaimana gerak langkahnya, serta orientasi ideologis dari pemikirannya.
Puja-puji terhadap de Soto
Ekonom dan ilmuan sosial dunia ketiga, nicaya mengenal karya Hernando de Soto. De Soto saat ini merupakan konsultan dan konseptor ternama kelas wahid pada skala dunia. Tenaganya banyak digunakan oleh badan pembangunan/dana internasional seperti Bank Dunia, Inter-American Development Bank, Asian Development Bank, Komisi Eropa, dan USAID. Belum lama ini, ia diangkat sebagai ketua kehormatan dari the High Level Commission on Legal Empowerment of the Poor (HLCLEP), sebuah badan bentukan antar-pemerintahan Negara-negara Nordic (Denmark, Finland, Iceland, Norwagia, dan Sweden). Badan ini juga didukung oleh pemerintah Kanada, Mesir, Guatemala, Tanzania, Inggris, dan sejumlah badan internasional seperti, UN Economic Commission for Europe (UNECE). De Soto telah pula mendapatkan beragam pujian dari berbagai orang ternama di dunia, misalnya, George H.W. Bush, Bill Clinton, Hamid Karzai, Alberto Fujimori, Milton Friedman, Javier Pérez de Cuéllar, dll. The Institute for Liberty and Democracy (ILD, lembaga penelitiannya de Soto) juga mendapatkan penghargaan istemewa dari lebih dari 20 universitas, badan pembangunan internasional, hingga perusahaan-perusahaan transnasional. Sejarah, karya-karya dan berbagai puja-puji ini dapat ditemukan dalam situs maya ILD (http://www.ild.org.pe).
Reputasinya sebagai pemikir pembangunan makin tersohor, sejak mempromosikan resep sederhana dan sangat menggoda: integrasi aset rakyat miskin dalam sektor informal kota ke dalam sistem pasar melalui program legalisasi besar-besaran oleh pemerintah. Basis reputasinya ini dibangun dari ILD di Peru, dimana ia menjadi direktur pertamanya pada 1980. Sepanjang masa kepemimpinannya, ILD melakukan penelitian, implementasi, pelatihan, dan advokasi agar pemerintah Peru mengadopsi usulan kebijakan, membiayai dan menjalankan legalisasi aset rakyat miskin kota secara massif yang ia maksudkan. Kerja advokasi ILD ini sukses. Presiden Peru Alan Garcia (1985 – 1990), kemudian mengangkat de Soto sebagai penasehat dan usulan kebijakan de Soto diadopsi menjadi program pemerintah. Hasil penelitian dan kerja ILD, kemudian menjadi dasar dari buku-buku yang ditulisnya. Dua buku utamanya yang mendapat sambutan luas adalah "The Other Path: Invisible Revolution in the Third World" (1989) dan "The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else" (2000). Keduanya merupakan karya yang paling banyak dirujuk oleh ekonom dan ilmuwan sosial Barat mengenai pembangunan di dunia ketiga. Buku pertamanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "Masih Ada Jalan Lain : Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia Ketiga," terbitan Yayasan Obor, 1992.
Berbeda dengan sejumlah pihak yang memuji dan memakai pemikiran de Soto sebagai pembenar atas eksistensi dan signifikansi ekonomi rakyat, tulisan ini hendak menyingkap misi de Soto sebagai bagian dari jaringan intelektual neoliberal yang memuja-muja keutamaan dari sistem hukum dan mekanisme pasar kapitalis untuk memberantas kemiskinan di negara-negara dunia ketiga.
De Soto dan Indonesia: Cerita Anjing yang Menggonggong
Kepedulian utama de Soto, adalah bagaimana sistem-sistem kepemilikan (property systems), dibangun di negara-negara non-Barat. Ia yakin, pada saat ini mayoritas aturan yang menjadi dasar kepemilikan dan transaksi aset-aset di negara-negara non-Barat, terjadi di luar sistem hukum formal. Untuk memodernisasikannya, negera-negara Dunia Ketiga musti mengoonversi dan merajut semua aturan yang ekstra-legal itu ke dalam suatu sistem tunggal yang menjadi pegangan semua pihak. Pendek kata, semua kontrak-kontrak sosial di luar sistem formal, harus diintegrasikan dalam satu kontrak sosial yang mencakup semuanya.
Pertanyaannya “Bagaimana caranya?” Ada “cerita” yang sering sekali disajikan secara berulang-ulang oleh de Soto, untuk meyakinkan para pembaca/pendengarnya mengenai cara mengintegrasikan aset yang masih berada di luar sistem pasar dan juga bagaimana agar pemerintah mengetahui aturan-aturan yang berlaku dan berada di luar hukum (de Soto menggunakan istilah: ektra legal). Yakni, cerita tentang gonggongan anjing, yang muncul dari pengalaman de Soto saat berjalan santai di pematang-pematang sawah di Bali, yang menurutnya salah satu daerah yang paling cantik di dunia. Sewaktu menelusuri pematang-pematang sawah itu, ia sama sekali tidak tahu batas-batas kepemilikan antara satu bidang dengan bidang yang lainnya. Tetapi, anjing-anjing penjaga sawah itu tahu. Setiap kali de Soto melintas batas kepemilikan, anjing yang berbeda mengonggongi dia. De Soto terilhami, “anjing-anjing Indonesia barangkali tidak pernah belajar tentang hukum formal, tetapi mereka sangat terpelajar tentang mana-mana aset yang dikuasai oleh majikannya.” (Sumber: “Hearing the Dogs Bark, Jeremy Clift Interviews Development Guru Hernando de Soto”, Finance & Development, December 2003).
Cerita itu juga pernah dia jelaskan kepada lima menteri Indonesia di awal 1990-an, ketika diundang berbicara mengenai bagaimana pemerintah Indonesia bisa mengetahui siapa yang menguasai apa dari 90 persen rakyat Indonesia yang hidup di sektor ektra-legal. “Anjing-anjing Indonesia ternyata telah mempunyai informasi-informasi dasar yang dibutuhkan untuk membangun sistem kepemilikan formal. Dengan menelusuri jalan-jalan di kota dan di desa dan mendengarkan anjing-anjing yang menggonggong, secara pelan-pelan informasi tersebut diproses mulai dari bawah ke atas, dan kemudian dijalin hingga terintegrasi ke dalam kontrak sosial formal yang berlaku.” “Salah seorang menteri,” demikian tulis de Soto, “dengan semangat menyatakan “Ah, itu kan hukum adat!” De Soto kemudian menyampaikan generalisasi yang berlebihan bahwa bangsa-bangsa Barat membangun sistem kepemilikan formal mereka dengan cara mulai dari aturan-aturan rakyat (de Soto, “Listening to the Barking Dogs: Property Law against Poverty in the non-West”, Focaal - European Journal of Anthropology no. 41, 2003, hal 183).
De Soto dan Jaringan Neoliberalnya
Ketimbang melihatnya sebagai akademisi tulen, Ray Bromley (professor Geografi dan Perencanaan dari University of Albany, the State University of New York) menilai de Soto adalah usahawan transnasional sangat sukses menjual resep kebijakan baru. “Dia mampu menggunakan latar pendidikan Eropanya, dukungan Amerika yang didapatnya, dan kewarganegaran Perunya untuk bekerja secara internasional dan mengembangkan suatu paket pesan global. Ia sangat fasih bicara bahasa Perancis, Inggeris dan Spanyol, dengan menggunakan nama yang sama dengan contquistador, sang penakluk dari Spanyol yang terkenal, dan dengan perkoncoan pribadinya yang erat dengan lingkaran dalam di Washington dan PBB, dia menjadi seorang selebriti yang dapat memasarkan ide-idenya dengan sangat mudah (“Power, Property and Poverty: Why De Soto’s “Mystery of Capital” Cannot be Solved”, dalam Urban Informality, Transnational Perspectives from Middle East, Latin America and South Asia, Ananya Roy and Nezar AlSayyad, (Eds.), hal. 284).
Misi utamanya untuk memasarkan resep kebijakan “integrasi aset rakyat miskin ke dalam sistem kapitalisme” ini dengan sangat baik ditelusuri sejak awal mula oleh Timothy Mitchell (professor pada Department of Politics, New York University) dalam karyanya “The Work of Economics: How a Discipline Makes its World” yang dimuat dalam European Journal of Sociologyy No. 46/2005, halaman 297-320). Membaca karya ini, akan dengan cepat kita berkesimpulan bahwa De Soto tidak lain adalah intelektual neoliberal yang bermantelkan populisme. Michell mengajak pembacanya untuk melihat jalinan kekuasaan dan skenario yang mendasari proyek yang dikerjakan De Soto dan ILD di Peru. Karya Mitchel tersebut membuka mantel populisme De Soto dengan mula-mula menunjukkan bahwa kerja “pilot project” pendaftaran tanah massif di Peru, bukan hanya merupakan unjuk kerja berbagai pihak di Peru, tetapi juga usaha-usaha dari jaringan neoliberal global, yang meski melibatkan sedikit orang, namun sangat teroganisir rapi. Penjelasan berikut mengenai jaringan intelektual neoliberalnya bersumberkan karya Timothy Michell tersebut.
Asal-Usul Gerakan Neo-Liberal
Gerakan neoliberal dapat ditelusuri riwayatnya dari “Free Market Project” yang dibentuk di musim gugur 1946 di Law School, Universitas Chicago, dan Mont Pelerin Society, suatu perkumpulan dari intelektual neoliberal yang dibentuk pada April 1947, di sebuah desa Mont Pelerin, Swiss. Di tempat inilah, kelompok Chicago ini bertemu dengan kelompok Mont Pelerin Society yang dimotori Friedrich von hayek.
Di tangan kedua kelompok inilah, ideologi neoliberalisme yang merupakan filosofi dari sekelompok kecil kaum intelektual, pelan-pelan berkembang hingga menjadi instrument politik yang sangat efektif. The Free Market Project menjadi contoh (prototype) organisasi think-tank yang meluaskan ideologi neoliberal dengan mengombinasikan produksi pengetahuan dan usulan praktis untuk kebijakan. Project ini bekerja dengan dukungan penuh “penelitian” dan disokong oleh dana-dana perusahaan raksasa yang disalurkan melalui berbagai yayasan. Model Chicago ini kemudian ditiru di luar sekolah hukum oleh the Heritage Foundation, the American Enterprise Institute, the Hudson Institute dan cukup banyak organisasi neoliberal lain yang dibentuk di Amerika Utara dan Eropa, semenjak 1950 sampai sekarang.
Friedrich von Hayek, yang memainkan peran yang utama dalam membentuk dan membangun baik the Free Market Project maupun the Month Pelerin Society, bertemu dengan Hernando de Soto pertama kalinya dalam satu perjalanan ke Lima, Peru, pada 1979. Pada saat itu, apa yang dimulai sebagai gerakan intelektual pinggiran yang kekiri-kirian sudah menjadi ortodoksi yang paling kuat secara politik di Barat. Gerakan neoliberal pada saat itu sedang mencoba memperluas jaringannya ke daerah-daerah lain di dunia. Pada tahun 1981, teman dekat von Hayek, Antony Fisher, membentuk the Atlas Foundation for Economic Research. Tujuan yayasan ini untuk mengoordinasi aktivitas dan dana-dana perusahaan dalam jaringan para pemikir di Eropa dan Amerika, dan untuk memperluas yayasan ini dengan mengembangkan dan membiayai kelompok organisasi neoliberal di luar Eropa Barat dan Amerika Serikat. De Soto adalah hasil pertama dan yang tersukses dari prakarsa ini.
Advokasi Neo-Liberal ke Negara-negara Non-Barat
Setelah pertemuan mereka di Lima, von Hayek mempertemukan de Soto dengan Fisher. The Atlas Foundation, kemudian membentuk dan membiayai Institue for Liberty and Democracy (ILD) yang didirikan de Soto, sebuah lembaga pemikiran neoliberal pertama di belahan selatan. “Antony memberikan kami banyak sekali informasi dan nasehat bagaimana menjadikan lembaga ini terorganisir,” demikian ingatan de Soto. “Dengan demikian visinya Fisher juga menjadi dasar pembentukan ILD. Dia datang ke Lima, dan menjelaskan pada kami bagaimana menyusun statute, bagaimana merencanakan tujuan kami, bagaimana membangun yayasan, apa yang dapat dihasilkan dalam jangka pendek dan jangka panjang.”
Meskipun sebagai orang Dunia Ketiga yang “ditemukan” Hayek di Lima, de Soto sebenarnya telah memiliki pergaulan dengan gerakan neoliberal. Ia juga memiliki pengalaman profesional yang panjang di organisasi-organisasi yang berkaitan dengan perdagangan dan pembangunan internasional. De Soto dibesarkan di Genewa, keluarganya kemudian pindah ketika ia berumur tujuh tahun, setelah ayahnya bekerja di International Labour Organization (ILO). De Soto pertama-tama kerja pendek di Genewa untuk General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), dari sana ia meloncat sebagai direktur eksekutif dari International Council of Cooper Exporting Countries (CIPEC), suatu organisasi kartel yang dibentuk pada 1867 oleh pemerintahan Peru, Cile, Zaire dan Zambia. Para pendukung de Soto, termasuk seorang jutawan industrialis Swiss bernama Stephan Schmidheiny, juga merupakan orang yang aktif dalam organisasi-organisasi neoliberal.
Pertemuan de Soto dengan von Hayek, terjadi pada tahun dimana ia kembali ke Lima sebagai pengusaha, sebagai wakil para investor yang mempunyai hak membeli deposit pasir-pasir emas. Pengusaha pertambangan itu gagal setelah mereka pergi mengunjungi dan meninjau kembali konsesi-konsesi di hutan tropis dan menemukan adanya ratusan masyarakat lokal, yang sudah menapis pasir dan mengambil emas tanpa hak konsesi. De Soto menemukan masalah dari klaim-klaim kepemilikan informal. Kontak-kontak dia di gerakan neoliberal Eropa dan Amerika Utara, memberikan suatu jawaban pada masalah ini.
Pengalaman de Soto di Eropa, jarang disebut-sebut oleh para pendukung neoliberalnya. Kredibilitas dan otoritasnya sebagai ekonom pembangunan semakin lekat pada identitasnya sebagai orang neoliberal Dunia Ketiga, yang terbuka untuk menjelaskan kemiskinan di belahan dunia selatan sebagai suatu “self-inflicted injury” (luka yang dibikin sendiri), yang tidak berhubungan dengan belahan dunia utara. “Dari pada melihat dunia berkembang sebagai korban kapitalisme, de Soto berargumen, kita sebenarnyalah yang membuat luka kita sendiri,” sebagaimana dilaporkan Andrew Natsios, administrator USAID (US Agency for International Development). “Karena dia adalah orang Peru, dia bisa membuat argument ini menjadi lebih dapat dipercaya.” Kredibilitas ini membuatnya sangat bermanfaat untuk gerakan neoliberal. “Selama bertahun-tahun, saya bersama Antony Fisher di Atlas,” sebagaimana ditulis Alex Taufan (2004), yang menggantikan Fisher sebagai presiden di organisasi itu, “saya tidak bisa ingat adanya perbincangan tentang contoh pemikir yang berhasil tanpa menyebut nama Hernando.”
Atlas mengajarkan de Soto mengenai taktik-taktik advokasi dan penelitian untuk para pemikir. Dukungan dan pelatihan lainnya, datang dari sumber-sumber resmi lain di Washington. Tahun 1983, kaum neoliberal dalam pemerintahan Ronald Reagan, membentuk Center for International Private Enterprise (CIPE), yang dapat tempat di National Endowment for Democracy yang baru, untuk mendukung organisasi-organisasi di dunia sedang berkembang yang memberikan advokasi untuk program-program politik neoliberal. CIPE membentuk suatu paket alat yang menjelaskan taktik-taktik yang bisa dipakai: membentuk suatu tim advokasi, mengidentifikasi masalah-masalah kunci yang cocok pada kelompok sasaran, meneliti masalah-masalah, menetapkan tujuan-tujuan, menyusun pesan dan kampanye-kampanye iklan, membuat para pembela rakyat, bekerja dengan media, dan menjadi bagian dari pada proses-proses pemerintahan (Center for International Enterprise, 2003). Tahun berikutnya, CIPE memberikan hibah pertama kepada Institute for Liberty and Democracy (ILD), untuk mendukung de Soto dan lembaganya, Institute for Liberty and Democracy (ILD).
Puncak-puncak Prestasi de Soto dan ILD
Untuk mengembangkan dukungan popular pada neoliberalisme, ILD mengidentifisir isu-isu politik bukan sebagai masalah kepemilikan tanah yang umum, atau bukan sebagai masalah property rights dari perusahaan-perusahaan tambang atau perusahaan lain, tapi sebagai masalah dari permukiman informal. Kemudian ILD mulai mempelajari komunitas-komunitas informal di Lima, dan membuat kontrak dengan pemerintah kota Lima untuk menjalankan skema pendaftaran tanah (land titling) untuk permukiman informal. Hal ini menjadi langkah pertama dari program 20 tahun yang berpuncak pada program senilai $66 juta, yang dibiayai Bank Dunia. Di tahun 2003, ketika sedang mengkaji ulang dua puluh tahun usaha mendukung organisasi-organisasi neoliberal di Negara-negara berkembang, CIPE di Washington menjelaskan proyek pertama di Peru, sebagai inisiatif yang paling berhasil (Center for International Private Enterprise, 2003).
Dengan dukungan dari luar negeri, lembaga de Soto bertumbuh besar, mengembangkan kampanye advokasinya dan berhasil menyusupkan pengaruhnya ke dalam proses-proses penyusunan kebijakan pemerintah. Selama pemerintahan Alan Garcia, pertengahan kedua 1980-an, lembaga de Soto terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan. Advokat-advokat ILD membuat proposal-proposal untuk kebijakan-kebijakan pertanahan dan perubahan administrasi. Untuk mendukung kebijakan ini, ILD membuat iklan-iklan komersial di televisi, yang meminjam bentuk iklan-iklan loterei sejumlah pemerintah negara bagian di Amerika, yang membangkitkan masyarakat untuk bermimpi: “apa yang akan kamu lakukan bila kamu punya modal?” Pada 1991, Institut ini memiliki staff 100 orang. Victor Endo, seorang advokat ILD yang kemudian bekerja di World Bank, mengatakan, pemikir-pemikir di ILD menjadi “sejenis sekolahan untuk para elite pembuat kebijakan. Hampir semua menteri yang penting, ahli hukum, ekonom dan para wartawan di Peru adalah alumni ILD”.
Tahun 1987, ILD mempublikasikan buku berdasarkan penelitiannya dan program-program pembaruan di bawah judul "El Otro Sendero" (“The Other Path”), dengan subjudul, “The Economic Answer to Terrorism.” Penulis naskah itu adalah de Soto dan dua teman dekatnya, Enrique Ghersi Silva, seorang ekonom dan sarjana hukum yang dipengaruhi oleh gerakan hukum dan ekonomi Chicago dan kemudian menjadi anggota the Mont Pelerin Society, dan Mario Ghibellini, seorang penulis. Tahun 1989 buku itu diterbitkan dalam Bahasa Inggeris di Amerika Serikat, dengan sub judul baru, “The Invisible Revolution in the Third Worlds”. Buku ini mendapat kata pengantar dari penulis Peru, Mario Vargas Llosa, bekas aktivis kiri yang beralih ke neoliberalisme akibat de Soto sendiri, dan hampir menjadi calon presiden yang didukung Amerika Serikat pada saat Pemilu Peru 1990. Buku ini medapatkan sambutan hangat dari Presiden George H.W. Bush, Richard Nixon dan beberapa orang lain, dan mendapatkan Sir Antony Fisher’s Award dari Atlas Foundation, suatu penghargaan yang diberinama setelah mentornya de Soto itu meninggal.
Dipromosikan dengan penghargaan, berbagai book review dan tanggapan yang hangat dari jaringan pemikiran dan yayasan neoliberal di Eropa dan Amerika, buku ini dengan cepat menjadi best-seller dunia. Pada1990, Alberto Fujimori dipilih menjadi presiden Peru. De Soto, yang tidak lagi mendukung pencalonan Vargas Llosa, karena lebih memilih calon lain yang popular, menjadi penasehat resmi Fujimori. Pemerintah baru kemudian menetapkan rencana stabilisasi keuangan neoliberal yang sangat drastis, yang membawa negara ini jatuh dalam situasi resesi. Pada 1992, de Soto mengundurkan diri dari pemerintahan ini setelah adanya persengketaan mengenai ketidaksetujuan Fujimori untuk menentang militer. Tetapi, de Soto menjaga terus pilot-program pendaftaran tanah di Lima yang dibiayai dana dari Jepang. Namun pada1994,proyek ini terhenti karena hancurnya hubungan baik antara pemerintah dan ILD.
Pada Maret 1996, pemerintah Peru mengeluarkan hukum mengenai formalisasi tanah dan membentuk suatu badan, COFOPRI (Comision de Formalizacion de la Propiedad Informal), untuk mengambilalih program ILD dan kemudian meningkatkannya menjadi skema nasional, yang mempekerjakan anggota tim ILD. Dalam tahun 1998, Bank Dunia masuk dengan pinjaman agar program ini bisa berakhir sempurna. Penelitian yang didanai Bank Dunia menunjukkan, program ini tidak berhasil mencapai tujuannya karena pendaftaran tanah tidak menghasilkan peningkatan kredit pada kaum miskin. Peduli pada kegagalan itu, pada tahun 2000, Bank Dunia menjalankan suatu survey di kampung-kampung informal. Tujuan utama dari survey ini adalah untuk mendorong bank-bank komersial agar memberi hutang uang pada orang-orang kampung.
Sementara itu, de Soto telah melihat ke pasar luar negeri dan mulai dengan pekerjaan mengadvokasikan program-program untuk mengakhiri kemiskinan dunia melalui pendaftaran kepemilikan di Mesir dan beberapa negara lain. Dia memakai pekerjaan ini sebagai bahan bukunya yang kedua, "The Mystery of Capital, Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else" (New York, Basic Books 2000). Dengan dukungan dari Margaret Thatcher, Milton Friedman, dan orang-orang neoliberal yang terkenal dan dengan penghargaan dari organisasi-organisasi neoliberal, karya de Soto sekali lagi menjadi best-seller di seluruh dunia.
Misi De Soto agar Pasar Diterima dengan Ramah
Satu pelajaran terpenting dari kasus de Soto, adalah bagaimana ideologi neoliberalisme terus diproduksi dan direproduksi melalui jaringan yang melibatkan pengetahuan, ahli, uang, lembaga-lembaga, dan last but not least program Pembangunan (dengan P besar) atas nama pemberantasan kemiskinan di dunia ketiga. Karya Michell (2005, seperti dikutip di atas) telah memberi pelajaran, bagaimana jaringan neoliberal telah menciptakan kondisi agar proyek neoliberalismenya De Soto bersama ILD diterima secara luas, bukan hanya di Negara Peru.
Mereka menciptakan kelembagaan baru, mengerahkan dana-dana, merancang penelitian, menjalankan kerja lapangan, mengumpulkan informasi dan menciptakan pengetahuan, menerbitkan buku-buku, mempromosikannya dan memberinya penghargaan, membentuk sasaran-sasaran perubahan kebijakan, menyelenggarakan latihan-latihan, membangun jaringan, hingga menempatkan diri dalam lingkaran pemerintahan. Semua itu, dalam rangka misi menciptakan kondisi agar perluasan pasar kapitalis diterima dengan ramah, tanpa mempersoalkan bagaimana akumulasi kekayaan terjadi dengan pelepasan aset utama kaum miskin yang berlangsung baik secara brutal maupun secara halus.
Soal siapa yang telah dan dapat berpartisipasi dalam pasar kapitalis dan siapa yang telah dan akan disingkirkan lagi, serta siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, bukan lagi pertanyaan yang penting. Bila hal-hal yang diabaikan ini diurus dengan serius, maka rute yang akan ditempuh tentu akan berbeda. ***)
Noer Fauzi adalah Mahasiswa program doktoral pada Divisi Society and Environment, Departement of Environmental Science, Policy and Management (ESPM), University of California at Berkeley.
Kim Malone, PhD, adalah peneliti Pembangunan dan Southeast Asia Studies
Diposting oleh KORAN MARJINAL di 04:02
Politik Kelas
Baru-baru ini, salah satu jurnal kiri tertua di AS, Monthly Review, edisi Juli-Agustus 2006, menampilkan edisi khusus mengenai “Aspects of Class in the U.S.”
Beberapa tema menyangkut soal kelas di AS, dibahas di sini. Misalnya, artikel dari William K. Tabb, “The Power of Rich;” artikel Michael Perelman, “Some Economic of Class;” atau dari David Roediger, “Undocumented Workers & the U.S. Informal Economy.”
Pengantar dari John Bellamy Foster, merupakan pembuka kata yang sangat menarik. Foster menyebutkan, di AS fenomena mengenai self reproduction sebagai karakter esensial dari kelas tampak begitu nyata. Mengutip harian the New York Times (14/11/2002), Foster menunjukkan hasil temuan Bashkar Mazumber dari Federal Reserve Bank of Chicago, dimana sekitar 65 persen keuntungan yang diperoleh orang tua kaya di AS dialihkan kepada anak-anaknya. Studi yang lebih serius mengenai soal ini, dilakukan oleh Tom Hertz, ekonom dari American University, yang berjudul “Understanding Mobility in America” (paper ini bisa Anda baca di http://www.americanprogress.org).
Paper menarik lainnya dalam edisi ini, adalah artikel dari Michael Zweig berjudul “Six Point on Class.” Zweig adalah pengajar ekonomi dan direktur Center for Study of Working Class Life di State University of New York (SUNY) at Stony Brook. Paper Zweig inilah yang akan saya bagikan informasinya lebih jauh.
Di Amerika Serikat, demikian Zweig, pengertian tentang kelas dicampurbaurkan dengan pengertian tentang pendapatan, kesejahteraan, atau gaya hidup. Padahal, kelas lebih berhubungan dengan kekuasaan, sementara pendapatan, gaya hidup, dan kesejahteraan lebih bermakna individual dengan ciri karakter yang tetap. Pengertian tentang kelas juga tumpang tindih dengan pengertian tentang ras dan gender atau kaya dan miskin. Dalam imajinasi rakyat AS, misalnya, mayoritas penduduk miskin Amerika datang dari kalangan kulit hitam dan hispanik (Spanyol-Amerika). Inilah sebabnya, mengapa isu ras lebih menonjol ketimbang isu kelas. Kenyataannya, dua pertiga dari seluruh rakyat miskin Amerika adalah mereka yang berkulit putih. Sementara, tiga perempat dari seluruh penduduk kulit hitam bukanlah orang miskin.
Dalam analisisnya ini, saya kira Zweig terpengaruh dengan definisi Lenin tentang kelas, dimana kelas tidak ditentukan oleh kekayaan tapi, oleh kedudukan atau posisi seseorang atau kelompok dalam hubungan produksi yang ada. Zweig, misalnya, mengatakan, seseorang yang memenangkan $380 juta dalam undian Power Ball, memang membuatnya menjadi kaya. Tetapi, ia bukanlah bagian dari elite korporasi yang memiliki kekuasaan politik yang menentukan. “Being rich is not the key point,” tulis Zweig.
Hal paling menarik dari artikel Zweig ini, adalah pemetaannya mengenai struktur kelas di AS. Pemetaan ini saya kira, sedikit banyak bermanfaat buat gerakan progresif di Indonesia. Inilah pemetaan Zweig:
1. Kelas pekerja (the Working Class), adalah mereka yang memiliki kekuasaan relatif terbatas di tempat kerjanya. Mereka ini adalah pekerja kerah putih (white collar) seperti teller bank, call center, dan kasir; pekerja kerah biru (blue collar) seperti masinis, buruh bangunan dan perakitan; pekerja kerah merah muda (pink collar) seperti, sekretaris, suster, dan home-health-care workers. Mereka ini merupakan buruh trampil atau tidak trampil (unskilled), laki dan perempuan dari seluruh ras, kebangsaaan, dan preferensi seksual. Kelas pekerja adalah mereka yang memiliki kontrol personal yang kecil terhadap isi dari pekerjaannya tapi, tidak memiliki kontrol terhadap sesuatu di luar bidang kerjanya. Saat ini terdapat sekitar 60 juta kelas pekerja di Amerika, yang menjadikan kelas pekerja secara esensial merupakan penduduk mayoritas di AS.
2. Kelas kapitalis (the Capitalist Class), adalah elite korporat atau perusahaan, eksekutif senior, dan direktur perusahaan-perusahaan besar, dimana pekerjaannya adalah memberikan petunjuk-petunjuk strategis kepada perusahaan. Mereka ini adalah orang-orang yang berinteraksi dengan agen-agen pemerintah dan eksekutif perusahaan lainnya, yang meninggalkan pekerjaan sehari-harinya kepada manajer level menengah atau kepada sebuah gugus kerja. Dalam hal ini, mereka berbeda dengan pemilik bisnis kecil, yang cenderung bekerja di samping sejumlah kecil buruh yang dimilikinya dan mengatur secara langsung bisnisnya. Pengusaha bisnis kecil ini, secara literal adalah kapitalis dalam hubungannya dengan buruh upahan yang dimilikinya, secara konseptual lebih tepat dipahami sebagai kelas menengah.
3. Kelas penguasa (the Rulling Class), dimaknai lebih terbatas ketimbang kelas kapitalis seutuhnya dan juga non-kapitalis. Kelas penguasa ini adalah mereka yang memberikan petunjuk kepada bangsa secara keseluruhan, lebih luas ketimbang bisnis atau institusi yang dimilikinya. Mereka inilah yang mengoordinasikan aktivitas para kapitalis dari seluruh perusahaan.
4. Kelas menengah (the Middle Class), adalah para profesional, pemilik bisnis kecil, manajer dan pengawas buruh. Mereka ini sebaiknya tidak dipahami sebagai menengah dalam distribusi pendapatan tetapi, hidup di tengah dua kelas yang saling bertentangan dalam masyarakat kapitalis. Pengalaman mereka dalam beberapa aspek dibagi dengan kelas pekerja dan dalam beberapa hal lainnya, berhubungan dengan elite korporat.
Sebagai contoh, pemilik bisnis kecil memiliki kepentingan yang sama dengan para kapitalis dalam soal pemilikan pribadi (private property) aset-aset bisnis, penghancuran kekuatan serikat buruh, dan pemangkasan UU perburuhan. Tetapi, mereka juga berbagi dengan buruh dalam kerja itu sendiri, dan kesulitan memperoleh asuransi kesehatan.
Para profesional juga demikian, jika melihat pengalaman lebih dari 30 tahun terakhir. Para profesional yang hidup berdampingan dengan kelas pekerja, dokter yang berpraktek di kampung kelas pekerja, pengacara yang membela kepentingan publik, para pengajar sekolah umum, tampak bahwa kondisi ekonomi dan sosialnya semakin menurun di hadapan kelas yang dilayaninya. Tetapi, jika kita melihat mereka yang hidup dari pelayanannya terhadap kelas kapitalis – pengacara korporat, dokter-dokter yang berpraktek di lokasi wah, para intelektual yang melayani kepentingan korporat - mereka ini jelas-jelas memperoleh keuntungan dari elite yang dilayaninya. Dari sisi ini, kepentingan mereka merefleksikan kepentingan elite korporasi.
Dari pemetaan yang dibuat Zweig ini, beberapa pelajaran yang bisa kita petik bagi pembangunan gerakan progresif di Indonesia. Pertama, pengorganisiran berbasis kelas tidak semata-mata bertumpu pada buruh dalam pengertian buruh pabrik, buruh tani atau nelayan, dalam pengertian yang klasik. Semakin meningkatnya perkembangan sektor jasa, misalnya, menyebabkan pertumbuhan buruh di sektor ini semakin tinggi.
Kedua, pengorganisiran kelas pekerja harus diarahkan pada transformasi kelas pekerja menjadi kelas penguasa (the rulling class). Ini sebenarnya bukan cerita baru bagi kalangan progresif di Indonesia tapi, tak ada salahnya jika disampaikan ulang. Ketidakmampuan mentransformasikan kekuatan kelas pekerja ini, menjadi sebab utama munculnya politik berbasis agama, etno-nasionalis, atau bahkan kedaerahan.
Ketiga, kalangan progresif di Indonesia, harus membuka diri seluas-luasnya pada keterlibatan kelas menengah dalam perjuangan berbasis kelas tersebut. Dan saya menduga, di tengah-tengah kebangkrutan ekonomi saat ini, jumlah kelas menengah yang berpotensi progresif makin berlipat jumlahnya. Kesabaran, kecakapan mengomunikasikan ide-ide progresif ke kalangan ini, merupakan tantangan tersendiri bagi kalangan progresif.
Diposting oleh KORAN MARJINAL d
Beberapa tema menyangkut soal kelas di AS, dibahas di sini. Misalnya, artikel dari William K. Tabb, “The Power of Rich;” artikel Michael Perelman, “Some Economic of Class;” atau dari David Roediger, “Undocumented Workers & the U.S. Informal Economy.”
Pengantar dari John Bellamy Foster, merupakan pembuka kata yang sangat menarik. Foster menyebutkan, di AS fenomena mengenai self reproduction sebagai karakter esensial dari kelas tampak begitu nyata. Mengutip harian the New York Times (14/11/2002), Foster menunjukkan hasil temuan Bashkar Mazumber dari Federal Reserve Bank of Chicago, dimana sekitar 65 persen keuntungan yang diperoleh orang tua kaya di AS dialihkan kepada anak-anaknya. Studi yang lebih serius mengenai soal ini, dilakukan oleh Tom Hertz, ekonom dari American University, yang berjudul “Understanding Mobility in America” (paper ini bisa Anda baca di http://www.americanprogress.org).
Paper menarik lainnya dalam edisi ini, adalah artikel dari Michael Zweig berjudul “Six Point on Class.” Zweig adalah pengajar ekonomi dan direktur Center for Study of Working Class Life di State University of New York (SUNY) at Stony Brook. Paper Zweig inilah yang akan saya bagikan informasinya lebih jauh.
Di Amerika Serikat, demikian Zweig, pengertian tentang kelas dicampurbaurkan dengan pengertian tentang pendapatan, kesejahteraan, atau gaya hidup. Padahal, kelas lebih berhubungan dengan kekuasaan, sementara pendapatan, gaya hidup, dan kesejahteraan lebih bermakna individual dengan ciri karakter yang tetap. Pengertian tentang kelas juga tumpang tindih dengan pengertian tentang ras dan gender atau kaya dan miskin. Dalam imajinasi rakyat AS, misalnya, mayoritas penduduk miskin Amerika datang dari kalangan kulit hitam dan hispanik (Spanyol-Amerika). Inilah sebabnya, mengapa isu ras lebih menonjol ketimbang isu kelas. Kenyataannya, dua pertiga dari seluruh rakyat miskin Amerika adalah mereka yang berkulit putih. Sementara, tiga perempat dari seluruh penduduk kulit hitam bukanlah orang miskin.
Dalam analisisnya ini, saya kira Zweig terpengaruh dengan definisi Lenin tentang kelas, dimana kelas tidak ditentukan oleh kekayaan tapi, oleh kedudukan atau posisi seseorang atau kelompok dalam hubungan produksi yang ada. Zweig, misalnya, mengatakan, seseorang yang memenangkan $380 juta dalam undian Power Ball, memang membuatnya menjadi kaya. Tetapi, ia bukanlah bagian dari elite korporasi yang memiliki kekuasaan politik yang menentukan. “Being rich is not the key point,” tulis Zweig.
Hal paling menarik dari artikel Zweig ini, adalah pemetaannya mengenai struktur kelas di AS. Pemetaan ini saya kira, sedikit banyak bermanfaat buat gerakan progresif di Indonesia. Inilah pemetaan Zweig:
1. Kelas pekerja (the Working Class), adalah mereka yang memiliki kekuasaan relatif terbatas di tempat kerjanya. Mereka ini adalah pekerja kerah putih (white collar) seperti teller bank, call center, dan kasir; pekerja kerah biru (blue collar) seperti masinis, buruh bangunan dan perakitan; pekerja kerah merah muda (pink collar) seperti, sekretaris, suster, dan home-health-care workers. Mereka ini merupakan buruh trampil atau tidak trampil (unskilled), laki dan perempuan dari seluruh ras, kebangsaaan, dan preferensi seksual. Kelas pekerja adalah mereka yang memiliki kontrol personal yang kecil terhadap isi dari pekerjaannya tapi, tidak memiliki kontrol terhadap sesuatu di luar bidang kerjanya. Saat ini terdapat sekitar 60 juta kelas pekerja di Amerika, yang menjadikan kelas pekerja secara esensial merupakan penduduk mayoritas di AS.
2. Kelas kapitalis (the Capitalist Class), adalah elite korporat atau perusahaan, eksekutif senior, dan direktur perusahaan-perusahaan besar, dimana pekerjaannya adalah memberikan petunjuk-petunjuk strategis kepada perusahaan. Mereka ini adalah orang-orang yang berinteraksi dengan agen-agen pemerintah dan eksekutif perusahaan lainnya, yang meninggalkan pekerjaan sehari-harinya kepada manajer level menengah atau kepada sebuah gugus kerja. Dalam hal ini, mereka berbeda dengan pemilik bisnis kecil, yang cenderung bekerja di samping sejumlah kecil buruh yang dimilikinya dan mengatur secara langsung bisnisnya. Pengusaha bisnis kecil ini, secara literal adalah kapitalis dalam hubungannya dengan buruh upahan yang dimilikinya, secara konseptual lebih tepat dipahami sebagai kelas menengah.
3. Kelas penguasa (the Rulling Class), dimaknai lebih terbatas ketimbang kelas kapitalis seutuhnya dan juga non-kapitalis. Kelas penguasa ini adalah mereka yang memberikan petunjuk kepada bangsa secara keseluruhan, lebih luas ketimbang bisnis atau institusi yang dimilikinya. Mereka inilah yang mengoordinasikan aktivitas para kapitalis dari seluruh perusahaan.
4. Kelas menengah (the Middle Class), adalah para profesional, pemilik bisnis kecil, manajer dan pengawas buruh. Mereka ini sebaiknya tidak dipahami sebagai menengah dalam distribusi pendapatan tetapi, hidup di tengah dua kelas yang saling bertentangan dalam masyarakat kapitalis. Pengalaman mereka dalam beberapa aspek dibagi dengan kelas pekerja dan dalam beberapa hal lainnya, berhubungan dengan elite korporat.
Sebagai contoh, pemilik bisnis kecil memiliki kepentingan yang sama dengan para kapitalis dalam soal pemilikan pribadi (private property) aset-aset bisnis, penghancuran kekuatan serikat buruh, dan pemangkasan UU perburuhan. Tetapi, mereka juga berbagi dengan buruh dalam kerja itu sendiri, dan kesulitan memperoleh asuransi kesehatan.
Para profesional juga demikian, jika melihat pengalaman lebih dari 30 tahun terakhir. Para profesional yang hidup berdampingan dengan kelas pekerja, dokter yang berpraktek di kampung kelas pekerja, pengacara yang membela kepentingan publik, para pengajar sekolah umum, tampak bahwa kondisi ekonomi dan sosialnya semakin menurun di hadapan kelas yang dilayaninya. Tetapi, jika kita melihat mereka yang hidup dari pelayanannya terhadap kelas kapitalis – pengacara korporat, dokter-dokter yang berpraktek di lokasi wah, para intelektual yang melayani kepentingan korporat - mereka ini jelas-jelas memperoleh keuntungan dari elite yang dilayaninya. Dari sisi ini, kepentingan mereka merefleksikan kepentingan elite korporasi.
Dari pemetaan yang dibuat Zweig ini, beberapa pelajaran yang bisa kita petik bagi pembangunan gerakan progresif di Indonesia. Pertama, pengorganisiran berbasis kelas tidak semata-mata bertumpu pada buruh dalam pengertian buruh pabrik, buruh tani atau nelayan, dalam pengertian yang klasik. Semakin meningkatnya perkembangan sektor jasa, misalnya, menyebabkan pertumbuhan buruh di sektor ini semakin tinggi.
Kedua, pengorganisiran kelas pekerja harus diarahkan pada transformasi kelas pekerja menjadi kelas penguasa (the rulling class). Ini sebenarnya bukan cerita baru bagi kalangan progresif di Indonesia tapi, tak ada salahnya jika disampaikan ulang. Ketidakmampuan mentransformasikan kekuatan kelas pekerja ini, menjadi sebab utama munculnya politik berbasis agama, etno-nasionalis, atau bahkan kedaerahan.
Ketiga, kalangan progresif di Indonesia, harus membuka diri seluas-luasnya pada keterlibatan kelas menengah dalam perjuangan berbasis kelas tersebut. Dan saya menduga, di tengah-tengah kebangkrutan ekonomi saat ini, jumlah kelas menengah yang berpotensi progresif makin berlipat jumlahnya. Kesabaran, kecakapan mengomunikasikan ide-ide progresif ke kalangan ini, merupakan tantangan tersendiri bagi kalangan progresif.
Diposting oleh KORAN MARJINAL d
Langganan:
Postingan (Atom)