Selasa, 19 Februari 2008

Mengapa Marxisme?

Daniel Singer

Tepat sebelum meninggalkan Paris, saya dihadiahi buku oleh Michael Löwy dengan suatu kata pengantar yang baru dan juga kutipan yang baru. Saya ingin membaginya dengan Anda di sini, dalam kesempatan yang istimewa ini. Dalam kutipan itu dikatakan, "Marx jelas-jelas mati demi kemanusiaan." Ayolah Daniel, kamu hanyalah obyek, melanconglah ke seluruh dunia untuk mewartakan omong kosong itu. Untuk kontribusimu itu, kami akan membayarmu satu sen dolar selusin! Tapi, sebenarnya itu bukanlah omong kosongmu. Datangnya dari Italia, melalui Benedetto Croce pada 1907 dan persisnya 90 tahun yang lalu. Saya telah mengutipnya, untuk mengingatkan kamu penggali kuburannya Marx - seorang filsuf baru, Fukuyama – yang keturunannya bejibun, memiliki banyak pewaris, dan tak pernah takut kehilangan waktunya walaupun tak mendapatkan bayaran. Pada point pertama ini, saya mau mengatakan, terjadi peristiwa yang kebetulan antara kebangkitan kembali nama baik dan runtuhnya Uni Sovyet.

Ini point pertama. Point kedua dan bagi saya krusial, adalah apa yang dibutuhkan gerakan saat ini - terutama sekali di Eropa Barat, di mana konfrontasi sedang mencapai suatu tahapan penting, tidak hanya radikal, tetapi juga global - suatu alternatif menyeluruh bagi sistem kapitalis yang ada. Ini membawa saya pada point ketiga yakni, tingkat di mana mereka tidak hanya secara tegas memisahkan sifat dari berbagai gerakan sosial tapi, mengidealkan pemisahan itu, mereka yang menolak aksi global atau aksi kolektif. Bagi mereka, apapun yang dimaksudkan dengan kata total, pastilah bersifat totaliter; lebih luas lagi, sadar atau tidak sadar, mereka melayani kekuasaan yang mapan. Akhirnya, karena keterbatasan waktu, saya mau mengatakan sesuatu tentang Marxisme, yang kita di aula ini ingin melihat kelahiran dan kebangkitannya kembali. Marxisme yang dengan bangganya kita lihat telah mati dan dikuburkan. Maksud saya, buku suci penguasa Soviet, dengan berbagai kutipan yang sesuai untuk setiap kesempatan, yang disajikan oleh pendeta pejabat dari Marxisme-Leninisme yang - mungkin Anda telah mencatatnya - dikatakan oleh Milton Friedman, dengan senang hati telah berubah menjadi penginjil kapitalis.

Mari kita mulai dengan pertunjukan terakhir tentang pemakaman Marxisme. Saya mendapati hal yang membingungkan bahwa harusnya hal itu dipercepat oleh runtuhnya Tembok Berlin dan kebangkrutan Uni Soviet. Kekuasaan yang ada seharusnya bisa mengambil keuntungan untuk memproklamirkan bahwa Marxisme, sosialisme, revolusi, atau istilah sejenis, kini telah berakhir untuk selamanya; ini adalah hukum alam yang sempurna. Dan ternyata ada cukup banyak orang pada sisi kiri, di dalam lingkaran yang progresif, yang juga dengan jelas dibingungkan dengan keadaan ini. Dan sungguh, saya tak bisa memahaminya.

Pada 1956, tahun dimana muncul surat tuduhan Khrushchev terhadap Stalin dan penyerbuan ke Hongaria, merupakan tahun kejutan bagi para pendukung Khruschev, ketika tank-tank Soviet memasuki Praha pada 1968. Tetapi duapuluh tahun kemudian, tak ada seorang pun yang dengan serius percaya bahwa suatu alternatif sosialis sedang ditempa di blok Soviet.

Bagi mereka yang melulu berpropaganda secara meyakinkan, dengan mudah menjawab bahwa hanya yang hidup yang bisa mati. Sosialisme oleh karena itu tak pernah mati di Timur, karena di sana, Marx yang dihubungkan dengan para produser, tidak dalam posisi sebagai pemilik pabrik-pabrik dan nasib mereka. Tetapi ini tidak cukup. Kita tidak punya model tetapi, kita mempunyai warisan dan kita harus meneliti sejarahnya dalam tampilan Marxis. Apa yang salah dan mengapa? Apakah karena revolusi dengan cepat telah diubah ke dalam sebuah transformasi dari atas? Atau apakah itu disebabkan oleh takdir, setidak-tidaknya setelah terjadi kemunduran di Rusia, sehingga gagal disebarkan? Saya akan meninggalkan perdebatan yang belum selesai ini tapi, tak berarti tak ada debat pada momen ini. Saya akan kembali pada point kedua.

Secara bertentangan, robohnya model neo-Stalinist tidak bersamaan dengan kesuksesan sosial-demokrasi. Sebaliknya, bersamaan waktu dengan kebangkrutan kejayaan itu, kapitalisme menunjukkan dirinya sendiri dalam bentuk yang paling telanjang. Tak ada lagi kapitalisme berwajah manusia tapi, kembali ke masa hukum rimba. Setelah duapuluh tahun atau lebih hasil restrukturisasi, krisis menjadi semakin gawat. Ini terutama sekali sangat tampak di Eropa Barat, di mana saya tinggal. Kita tengah menyaksikan suatu periode yang aneh tentang transisi, dengan harapan dan bahayanya. Untuk beberapa tahun dari sekarang, berbagai usaha dibuat untuk memaksakan model Amerika, yang bukan mimpi Amerika dari masa lalu tapi, mimpi buruk Amerika. Sebuah serangan terhadap upah, melawan apa yang disebut negara kesejahteraan, melawan semua penakluk pasca perang dari gerakan buruh, dan konsesi terhadap kapital yang bersedia tunduk.

Pesta penghormatan, penghormatan terhadap tercipatanya orde ini: Tony Blair, orang yang kemudian dengan cepat mengambilalih kekuasaan di Inggris. Atau mantan komunis Massimo d'Alema, orang yang mengilhami pembentukan koalisi dari para penguasa di Italia. Mereka siap berkorban bagi dewa baru globalisasi. Tetapi rakyat pekerja, terutama sekali di Eropa kontinental, tidak bersedia tunduk pada dewa baru ini. Sejak 1994, berkali-kali usaha untuk memotong pelayanan sosial di Italia, Perancis, dan Jerman, berhadapan dengan perlawanan rakyat. Saya pribadi berpikir pemogokan dan demonstrasi-demonstrasi pada musim dingin di Perancis pada 1995, disebabkan oleh ketidakpuasan, dan kemudian berbalik menjadi perlawanan yang bersifat ideologis. Setelah seperempat abad pergeseran ideologi ke kanan, kini muncul sebuah gerakan yang mengejek pemerasan itu: Tak Ada Alternatif (there is no alternative). Pesan ini, mendatangkan ketakutan pada pendeta-pendeta mapan, yang dengan terang-terangan mengatakan:

“jika ini adalah masa depan yang kalian tawarkan kepada kami dan anak-anak kami, maka pergilah ke neraka bersama masa depanmu itu!”


Dan terjadilah perlawanan itu, yang pada momen ini, hanya sebuah perlawanan dan bukan awal dari sebuah serangan balasan. Hal itu kemudian diikuti dengan pemberian konsesi dan kompromi. Dan itulah yang terjadi. Pentingnya penolakan tak bisa ditaksir terlalu tinggi. Anda tak bisa memulai pembangunan di masa depan tanpa aksi penolakan hari ini. Tetapi, di atas platform yang negatif (baca: penolakan) ini, Anda harus mulai menempa sebuah alternatif. Anda harus mengawalinya dengan pertarungan-pertarungan berdasarkan argumentasi musuhmu – Anda akan menjadi sebuah sekte jika Anda tidak melakukan pertarungan ini. Tapi, Anda tak bisa menghindar dari keharusan memberikan solusi yang membuat Anda melampaui teritori, yang melampaui batasan yang ada pada masyarakayat yang ada. Kapitalisme adalah sebuah sistem dengan segala kemelekatannya atau konsistensinya, masuk akal – Istvan Mészáros mengatakan dengan metabolismenya sendiri – pada akhirnya hanya dapat dikalahkan oleh sistem yang lain dengan logika dan konsistensinya pula. Ini tak berarti ribut-ribut Bastille atau pengambilalihan istana musim dingin.Tak ada sesuatu yang instan tentang perubahan revolusioner. Ia membutuhkan waktu, perenungan yang mendalam bahkan, konsesi yang bisa berlangsung setiap saat. Ketika masalah itu muncul ke permukaan, Anda mungkin meledak atau bahkan memberontak. Tetapi, kita tidak bisa membayangkan sebuah gerakan yang hegemonik dalam jangka panjang tanpa adanya visi yang fundamental mengenai masyarakat yang berbeda.

Di sini saya menjadi bagian dari bentuk-bentuk terbaru sebuah gerakan seperti, posmodernisme dan lain-lain. Saya tidak memiliki masalah dengan dekonstruksi. Hal itu mengingatkan saya pada gambaran di dalam buku teks filsafatku, sebagai murid sekolah, dari Descartes dengan catatan kakinya pada gundukan dari buku yang memproklamirkan: tidak pernah menerima sesuatu sebagai kebenaran sebelum dibuktikan. Atau, dari diktum Gramsci, sekarang saatnya berontak, kebenaran adalah revolusioner. Dalam pernyataan mengagumkan tentang ras dan gender - menyatakan gender – kurang sering klas – menyembunyikan bias di bawah deklarasi besar tentang prinsip-prinsip para pendeta dan orang-orang terpelajar. Para penganut dekonstruksi sedang menyerang dan menghancurkan sistem tersebut. Tetapi, pada waktu yang sama, sebagai seorang post-modernis, mereka datang sebagai penyelamat, menyalahkan tidak hanya narasi besar tapi, gagasan mendasar yang padu, sebuah alternatif sistematis berhadapan dengan kapitalisme. Dan sang penolong jauh lebih penting ketimbang menyerang, sebab sistem kapitalis dapat ditempatkan tanpa kesatuan yang terorganisasi, dan tetap eksis berhadapan dengan serangan yang sporadis. Satu-satunya yang menakutkan adalah koherensi dan serangan frontal.

Beri saya kesempatan untuk lebih menjernihkan. Saya sama sekali tidak mengritik gerakan sosial - yang berjuang melawan rasisme, melawan penindasan gender, atau perjuangan untuk mempertahankan lingkungan. Tentu saja, saya menerima fakta bahwa semua perjuangan tersebut berkembang di luaran. Dan itu pertanda bahwa gerakan sosialis di abad ke-20 sedang mengalami kebangkrutan. Saya hanya menyerang mereka dari jauh, menyesalkan watak gerakan yang terfragmentasi (terpecah-pecah) tersebut, terfragmentasi menjadi kepingan fakta yang permanen tentang hidup dan membuat kebaikan pada sebagian divisi saja. Apapun juga kebiasaan terbaru dari gerakan – serius maupun sekadar iseng - saya pikir mereka harus meninjau kembali gagasan mereka atau dipinggirkan oleh gerakan sosial yang mengembangkan seluruh kemampuan menyerangnya.

Dari sini timbul pertanyaan: mengapa Marxisme? Jawaban kasarnya, kekuasaan kapital lebih absolut dari yang pernah ada dan Marxisme tetap merupakan alat analisa terbaik untuk menguliti kuasa, watak, dan kontradiksi di dalam sistem kapitalisme. Dengan syarat, kita tidak menjadikannya sebagai Kitab Suci. Telah saya katakan, bagaimana kita semua di sini bersama-sama menolak penyimpangan doktrin yang dijadikan sebagai alat atau topeng bagi para penguasa Soviet, para penindasnya dan pelayannya. Tapi itu tidak cukup. Kita tidak bisa memperlakukan Marxisme sebagai teks yang suci dan tidak bisa menoleransi tabu apapun. Marx tidak mengatakan segalanya. Ia tidak mempunyai waktu untuk itu, ia hanya memberi satu contoh saja, ia cukup mengajukan pertanyaan kunci mengenai peran negara. Bagaimanapun visi Marx, ia mungkin tak bisa membayangkan keadaan satu abad sesudahnya dan perubahan cepat teknologi dimana kita hidup di bawah kapitalisme, dimana kita menghadapi benturan antara perkembangan buta dari kekuatan produktif dan lingkungan kita. Dengan kata lain, kita menghadapi ancaman bunuh diri.

Guna menyingkat waktu, kita harus menggunakan Marxisme dalam wujud Marxis: mengadaptasikannya sejak semula untuk direalisasikan pada zaman kita. Masalahnya, kita tidak hanya berhadapan lingkungan yang berubah dengan cepat tapi, juga seluruh landasan pemikiran kita sendiri, menguji perubahan cepat watak kelas buruh dan, oleh karena itu, kapasitasnya untuk bertindak sebagai agen pengubah sejarah

Hanya dalam wujud seperti ini, kita bisa mengerjakan isu-isu yang menjadi agenda kita: masalah pekerjaan, dan tidak hanya masalah kerja dan waktu luang, dalam masyarakat kita di mana kemajuan teknologi telah menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran dan atau kemiskinan; masalah perubahan yang radikal dan keterbatasan negara bangsa dalam suatu masyarakat yang terglobalisasi; masalah kesetaraan dalam sebuah dunia yang pertumbuhan sosialnya tidak adil; masalah demokrasi, tidak hanya karena ini adalah warisan kita yang sangat mengerikan tapi, karena kita ingin mentransformasikan esensi perencanaan ke dalam pengorganisasian sendiri masyarakat.

Saya lanjutkan sedikit. Tugas kita jelas sangat berat dan karena itu, membutuhkan waktu. Tetapi tugas itu juga sangat mendesak. Saya benar-benar merasakan adanya sinar harapan di kaki langit. Tanda-tanda awalnya sudah nampak dari kebangkitannya sejak dari Paris hingga Seoul. Tetapi ada juga bayang-bayang. Ketika Front Nasional yang xenophobic menduduki balai kota di Perancis Selatan melalui hak pilih universal, dengan mayoritas absolut, adalah mendesak untuk melakukan sesuatu. Maksud saya, menawarkan kepada rakyat yang tak puas dengan sistem yang ada sebuah alternatif yang radikal. Jika kita tidak melakukan itu, mereka akan bertindak reaksioner dan irasional. Tapi, kita harus dapat, dan oleh karena itu, kita harus melakukannya dan Marxisme adalah alat yang tepat bagi penyelesaian kita.***

DANIEL SINGER adalah koresponden The Nation’s di Eropa selama beberapa tahun. Ia adalah penulis sejumlah buku, termasuk The Road to Gdansk (1981) and Whose Millennium?: Theirs or Ours?

Sumber: Monthly Review, Nov. 1997, Vol. 49, Nomor 6
Diposting oleh KORAN MARJINAL di 03:34

Tidak ada komentar: