Suatu malam, di Desa Sumber, Cirebon, beberapa anak muda berkumpul di sebuah rumah, saling bersilaturahim. Sebagian besar adalah anak muda yang berprofesi sebagai wiraswasta. Ada yang berdagang buah, petani, pengerajin bola-bulu badminton, pemilik distro, dll.
Acara kangen-kangenan yang diselingi makan-minum ringan (mamiri), kadang menukik pada sebuah topik yang dalam. Ada satu-dua yang begitu gandrung dengan wacana anti-kemapanan, anti-kapitalisme, dan sederet anti-anti yang lain, yang begitu seksi hingga membetot perhatian anak muda sampai di kaki gunung. Sebagian besar pemuda itu sangat kecewa dengan sistem yang jauh dari rasa keadilan.
Mereka adalah pemuda desa yang berusaha mandiri dengan bertani di sawah atau berdagang di pasar. Mereka adalah pemuda yang berdikari, berdiri di kaki sendiri. Ada suatu pertanyaan yang menarik muncul dari seorang pemuda yang berasal dari Cirebon Girang,"Saya sehari-hari berdagang untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari, apakah saya kapitalis?"
Kapitalis? Kata itu seperti momok, apalagi kalau digambarkan dalam bahasa komunikasi visual, seorang yang gemuk tambun dengan hidung menyerupai hidung babi duduk di kursi singasana sembari mengepulkan cerutu... Tapi begitu melihat sosok pemuda desa dari Cirebon Girang yang malam itu membawa anak dan istrinya, menyusuri jalan-jalan dari balik bukit untuk datang bertemu dengan kawan-kawannya di sebuah rumah di Desa Sumber... Semua gambaran kapitalis yang satiris itu tidak cocok, bahkan jauh sekali dari kenyataan kesehariannya.
Kapitalis, berasal dari kata "kapital" yang berarti modal, dan pelaku ekonomi pasar yang memutar modal yang kecil untuk keuntungan sebesar-besarnya untuk mematikan pesaingnya adalah kapitalis. Dalam berniaga mendapat keuntungan dua kalilipat masih wajar dan adil, karena para pedagang harus mengeluarkan ongkos transportasi, disamping uang makan-minum dan rokok selama berdagang.
Wacana anti-kapitalis yang berkembang di negeri ini kadangkala tuna rujukan, ngawur dan sinis. Padahal dunia perniagaan harus berkembang dan wajib dikembangkan di desa-desa. Para pemuda harus bergiat berproduksi dan menjual produknya. Mengapa kita begitu puas menjadi konsumer, membeli dan memakai produk impor, dan melecehkan pedagang dari anak negeri sendiri? Inilah kontradiksi-kontradiksi yang berkembang yang patut dipangkas secepatnya.
Melihat air-muka pemuda dari Cirebon-Girang yang bersemangat dan gigih itu, kita teringat pada para pemuda desa di seluruh pelosok Indonesia. Ada optimisme dalam hidupnya, energi dan produktifitas, disamping rasa ingin tahu yang besar terhadap perkembangan sejagat. Sayang sekali kekuatan dan pengetahuan yang bertautan dengan kearifan lokal itu dipatahkan dengan wacana anti-ini dan anti-itu yang kini berkembang ngawur, sinis dan tuna rujukan.
Jumat, 18 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
aku seorang staff karyawan di sebuah perusahaan besar jasa penerbangan di tanah air, mencari makan dan biaya hidup di bawah tangan kapitalis.
disamping membina sebuah sanggar teater kecil, di dalam lingkup kampus "kapitalis" terkadang harus menjual hasil karya topeng kertas, Dekorasi, hingga melacur dengan mengadakan kegiatan musik2 cengeng dengan harapan dapat membiayai kegiatan2 sanggar kami...
"apakah aku seorang kapitalis??"
Posting Komentar