Rabu, 30 Januari 2008

Kisah Pemberantasan Korupsi Rezim Orde Baru

Hukum adalah lembah hitam
Tak mencerminkan keadilan
Pengacara, juri, hakim, jaksa
Telah ternilai dengan angka
UANG
- MARJINAL

Ahad, 27 Januari yang lalu, Presiden Soeharto meninggal dunia. Pada hari itu juga, Konferensi Anti Korupsi Sedunia dibuka di Bali, yang rencananya akan dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tapi Presiden SBY batal hadir di Konferensi Anti Korupsi,karena pergi melayat Jendral Besar H.M Soeharto, yang selama berkuasa 32 tahun hingga hari-hari tuanya, dituding dan dituntut rakyat Indonesia telah melakukan korupsi senilai ratusan triliun rupiah.
Ada baiknya kita menyimak kisah tentang pemberantasan korupsi semasa Orde Baru, berikut ini, agar tidak kejeblos janji-janji kosong penguasa dengan lembaga-lembaga negaranya yang cenderung melakukan "tebang pilih" dalam aksi pemberantasan korupsi.
Selama paruh pertama Orde Baru banyak dibentuk tim dan peraturan anti-korupsi. Hasil besarnya berupa nol.

"Tidak perlu diragukan lagi, saya memimpin langsung pemberantasan korupsi," tandas Presiden Soeharto dalam pidato 17 Agustus 1970 di DPR-GR. Jenderal yang baru dua tahun dikukuhkan sebagai presiden itu menekankan, korupsi tidak dapat dibiarkan. Korupsi merugikan keuangan negara, yang berarti merugikan rakyat, membahayakan pembangunan, bertentangan dengan hukum, berlawanan dengan moral dan rasa keadilan.

Pada 2 Desember 1967, baru enam bulan setelah diangkat MPRS sebagai pejabat presiden, Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) untuk membantu pemerintah memberantas korupsi "secepat-cepatnya dan setertib-tertibnya." TPK diketuai Jaksa Agung Letjen Soegih Arto.

Media massa yang pada awal Orde Baru masih menikmati kebebasannya ramai memberitakan penyelewangan yang di melibatkan karyawan-karyawan ABRI. Adanya "jenderal-jenderal yang kebal hukum" pun sudah diributkan. Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Komandan RPKAD (kini Kopassus) yang ketika itu sangat dekat dengan Soeharto dan mahasiswa, menyarankan kepada Presiden agar empat jenderal ditindak demi menjaga nama baik ABRI. Sarwo Edhie dipindahkan menjadi Panglima Kodam di luar Jawa.

Skandal besar yang melibatkan jenderal-jenderal sahabat Soeharto adalah kasus Coopa (pupuk untuk Bimas) dan Pertamina. Februari 1970 rapat pimpinan ABRI memanggil Dirut Pertamina Letjen Ibnu Sutowo untuk memberikan pertanggungjawaban. Kasus Coopa dan Pertamina tak pernah sampai ke pengadilan.

Jaksa Agung Tersinggung

Suatu hari di bulan Agustus 1970, Jaksa Agung Soegih Arto dengan marah meninggalkan pertemuan dengan kelompok "Angkatan Muda" yang mau menyampaikan kepadanya Piagam Penghargaan Pahlawan Nasional dan Bintang Emas Penegak Hukum. Ejekan ini disampaikan lantaran Jaksa Agung selaku Ketua TPK "dengan keberanian yang luar biasa berhasil menyeret 9 pelaku korupsi ke pengadilan."

Sembilan koruptor itu terbukti menggelapkan uang negara antara Rp.150 sampai Rp.35.000. Padahal, dua bulan sebelumnya Kejaksaan Agung membebaskan Arief Husni, pelaku utama kasus Coopa, yang merugikan program swasembada pangan nasional.

Harian KAMI (26 Agustus 1970) menurunkan editorial berjudul "9 Koruptor, 5 Perkara dan 2 Sila." "Sebagai respons terhadap gelora anti-korupsi," tulisnya, "pendekar-pendekar kita di TPK telah membekuk, menghantam dan mematikan tidak kurang 9 orang koruptor". Lalu para koruptor itu dirinci: Moh.Jusuf (46 tahun), selama 1967-68 melakukan korupsi Rp.30.000, sama dengan 60 kg beras sebulan untuk dimakan anak-anaknya yang lapar; Alexander Johannes (67), mengkorupsi Rp.32.000, senilai 21 slof State Express yang merupakan rokok "status" pembesar-pembesar kita.

Raden Matheus Sumardi (31) melakukan "penggelapan dan penipuan" sebesar Rp.150, sama dengan 5 bungkus gado-gado di pinggir jalan; Abdulkadir (41), melakukan korupsi sebesar Rp.1500, seharga selembar kemeja buat hari lebaran; Sudjadi (33), korupsi Rp.700, senilai 9 bungkus rokok Davros; Djajadi (36), korupsi sebesar Rp.35.000, seharga dua kaca mata Persol yang biasa dipakai para pembesar kita.

Tiga koruptor lainnya: Sadeli (31), korupsi Rp.500, senilai 10 kg beras; Raden Harry Suharno (38), korupsi Rp.24.000, senilai 12 kaset pita tape-recorder Philips untuk mobil sedan anak-anak pembesar yang mau "pacaran" ke Bina Ria dengan iringan musik romantis; Zainal Arifin (42), juru-ketik yang melakukan korupsi Rp.1500, senilai 50 liter bensin premium untuk Mercedes-Benz pembesar yang mau ber-weekend di Puncak.

Harian KAMI lalu berpesan kepada para terdakwa: "Kalau Saudara-saudara digantung, maka bersama Saudara-saudara digantung pula dua sila dari dasar negara ini: Keadilan Sosial dan Peri Kemanusiaan. Sungguh berat bagi si lemah untuk hidup di negara yang kejam ini."

Undang-undang & Operasi

Di masa Soekarno, kampanye pemberantasan korupsi justru dipelopori oleh Angkatan Darat, yakni di saat berlakunya keadaan darurat perang. UU anti-korupsi belum ada, kecuali sanksi-sanksi KUHP yang mengadopsi pasal-pasal hukum jaman kolonial.

Gerakan pembasmian korupsi ditetapkan melalui peraturan-peraturan Kepala Staf AD selaku Penguasa Militer "di daerah kekuasaan Angkatan Darat". Lalu pada 1958 gerakan ini bercakupan nasional melalui peraturan Peperpu No.013, setelah MKN/KASAD menjadi Penguasa Perang Pusat. Isinya meliputi pengusutan, penuntutan, pemeriksaan pidana korupsi dan penilikan harta benda.

Baru pada 1960 muncul Perpu tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Perpu itu lalu dikukuhkan menjadi UU No.24/1960. Sementara militer tetap melancarkan "Operasi Budhi", khususnya untuk mengusut karyawan-karyawan ABRI yang tak becus. Waktu itu perusahaan-perusahaan Belanda diambil-alih dan dijadikan BUMN, dipimpin oleh para perwira TNI. "Operasi Budhi" antara lain mengusut Mayor Suhardiman (kini Mayjen TNI Pur). Ia bebas dari dakwaan.

Akhir 1967 Soeharto membentuk TPK yang dasar hukumnya masih tetap UU 24/1960. Para anggota tim ini merangkap jabatan lain. Hasil kerja orang-orang part-timer inilah yang kemudian menyeret 9 "koruptor" tadi.

Presiden Soeharto membentuk Komisi 4 pada Januari 1971, untuk memberikan "penilaian objektif" terhadap langkah yang telah diambil pemerintah, dan memberikan "pertimbangan mengenai langkah yang lebih efektif untuk memberantas korupsi". Mantan wakil presiden Hatta diangkat sebagai penasihat Komisi 4. Anggota-anggotanya adalah mantan perdana menteri Wilopo, I.J.Kasimo, Prof.Johannes dan Anwar Tjokroaminoto. Kepala Bakin Mayjen Sutopo Yuwono menjadi sekretaris.

Siswadji dan Budiadji

Di luaran mahasiswa menggencarkan kampanye anti-korupsi dengan berdemontrasi, membentuk KAK (Komite Anti Korupsi), MM (Mahasiswa Menggugat) serta menggelar pelbagai forum yang mengundang para pembicara tentang korupsi.

Di awal 1970-an itu Soeharto masih bersedia menerima delegasi-delegasi mahasiswa dan kelompok masyarakat, baik di Bina Graha mau pun di Cendana. Maret 1971 lahirlah UU No.3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU-PTPK), yang bertahan selama 28 tahun, sampai munculnya UU No.31/1999 di masa Habibie.

Di masa Soeharto, Wakil Presiden diberi peran pengawasan, sementara Presiden sendiri masih dibantu oleh tiga inspektur jenderal pembangunan (Irjenbang). Kendati sudah ada lembaga tinggi negara (Badan Pemeriksa Keuangan), pemerintah merasa perlu membentuk BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan (dan Lingkungan Hidup, PPLH).

Dengan UU dan lembaga-lembaga penegak hukum yang seharusnya menindak koruptor, pemerintah tetap merasa perlu mengerahkan Kopkamtib dan Laksusda (Pelaksana Khusus Kopkamtib Daerah yaitu Kodam) untuk melaksanakan "Operasi Tertib" memberantas korupsi, manipulasi dan pungutan liar. Opstib yang dibentuk September 1977 itu bergerak dengan jaringan Satgas Intel Kopkamtib. Di setiap provinsi dan inspektorat jenderal departemen ditempatkan inspektur Opstib untuk "mendinamisir" pengawasan.

Khusus untuk penyelundupan dan penggelapan di bea-cukai dan perdagangan ekspor-impor, dilancarkan pula Operasi 902 (1976). Operasi ini di bawah kendali Jaksa Agung. Namun banyak perkara 902 kandas di pengadilan. Istilah "mafia peradilan" mulai banyak disebut.

Begitupun, selama Orde Baru hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara karena korupsi, yaitu Deputi Kapolri Letjen Pol Siswadji (1977, divonis 8 tahun). Pegawai negeri yang diganjar hukuman paling berat adalah Kepala Depot Logistik Kaltim Budiadji, yang divonis penjara seumur hidup (grasi Presiden menguranginya menjadi 20 tahun). "Warlord" beras itu menilep uang negara Rp.7,6 milyar -- jumlah yang kala itu menggemparkan. Selebihnya yang dihukum adalah para koruptor lapis kedua dan rendahan.

Pernyataan & Ikrar

Lepas dari kadar prestasi yang dicapai dan lolosnya orang-orang dekat Soeharto, dan kendati Newsweek menulis bahwa pemerintahan Soeharto telah korup sejak hari pertama, bagaimanapun pemerintahan Orde Baru masih ditandai upaya sistematis demi menunjukkan adanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Itu khususnya berlangsung selama Kabinet I (1968-1973) sampai IV (1983-1988). Kita masih membaca berita media berisi laporan-laporan resmi tentang temuan-temuan korupsi dan penanganan perkaranya.

Ada laporan tahunan Kejaksaan Agung, laporan berkala Opstib, serta pengungkapan penertiban ke dalam oleh departemen pemerintah setiap apel bendera tanggal 17. Kantor Wakil Presiden juga membuka Kotak Pos 5000 untuk menampung pengaduan masyarakat.

Mengawali Kabinet Pembangunan III (1978-1983) misalnya, para menteri dan pejabat eselon I pemerintahan harus menyampaikan laporan pajak kekayaan pribadi kepada Presiden. Pejabat eselon II harus melaporkan pajak kekayaannya kepada menteri. Di awal periode ke-4 pemerintahannya (1983), Soeharto dalam pidato kenegaraan di DPR menegaskan "tidak akan setengah-setengah dalam membasmi korupsi."

Walau Opstib telah menyelamatkan uang negara Rp.200 milyar dan menindak 6.000 pegawai selama 1977-81, dan setiap selambatnya tiga bulan melaporkan kepada Presiden tentang penertiban di departemen dan jawatan pemerintah, toh Ketua BPK Umar Wirahadikusumah menyatakan bahwa "tidak ada satu pun departemen yang bersih dari korupsi". Sebulan kemudian, November 1981, Wakil Presiden Adam Malik menimpali bahwa "korupsi sudah epidemik".

Dan Ketua DPR-RI Daryatmo tidak yakin pemerintah sanggup menumpas tuntas korupsi. "Saya ingin tanya, apa ada satu negara atau pemerintahan di dunia ini yang bisa memberantas korupsi secara tuntas?" tambahnya dengan empatik. "Kalau ada, kepala negara yang bersangkutan akan saya sewa untuk jadi presiden di sini." Itu dikatakannya pada 1979.

Maling-maling kecil dihakimi
Maling-maling besar dilindungi

Maling-maling kecil dihakimi
Maling-maling besar dilindungi

.............................

Tidak ada komentar: