Jumat, 18 Januari 2008

Obituari untuk Slamet Pedagang Gorengan

Ketika media massa mewartakan secara besar-besaran dan terus diupdate tentang sakitnya Soeharto... Ketika orang-orang berkumpul dan berdoa untuk kesembuhan sang jenderal besar, penguasa orde baru itu... Di sebuah pojok kolom koran pagi, saya membaca tentang Slamet (45), pedagang gorengan asal Kampung Cidemang, Kelurahan Pandeglang, Kabupaten Pandeglang, Banten,yang mati bunuh diri.

Ia nekat gantung diri hingga tewas di sebuah kamar kosong di rumahnya. Jasad Slamet pertama kali ditemukan oleh istrinya yang baru pulang dari berbelanja di Pasar Badak, Pandeglang. Tubuh ayah empat anak itu sudah menggantung di tengah kamar, dengan seutas tali plastik melilit di lehernya.

Sehari-hari Slamet bekerja sebagai pedagang gorengan di Pasar Badak, tepatnya di tepi Jalan Raya A Yani. Belakangan ini, kata istrinya, pendapatannya semakin menurun.

Slamet tambah tertekan saat minyak tanah sulit didapat dan harganya melambung. Apalagi kenaikan harga minyak tanah bersamaan dengan melonjaknya harga sejumlah bahan pangan, seperti tepung terigu, tepung tapioka, tahu, tempe, sayuran, dan minyak goreng.

Saya tidak berdoa untuk Soeharto, sang tiran orde baru... Saya berdoa untuk Slamet dan berjuta-juta slamet-slamet yang lain, kaum subaltern, yang termarjinalkan.

Istilah "subaltern" diadopsi dari pemikir Italia, Antonio Gramsci, yang menggunakan istilah itu bagi kelompok sosial subordinat, yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subyek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa.Kaum subaltern yang selalu bungkam dan menjadi mayoritas bungkam senantiasa menjadi obyek pemiskinan.

Slamet adalah korban dari kebijakan pemerintah yang membuka pasar bebas seluas-luasnya. Dan korban-korban yang lain kini dalam daftar tunggu, selama kita terus bungkam, menjadi mayoritas bungkam. Mungkin ada di antara kita yang berteriak, "Lawan, lawan, lawan kemiskinan!"

Tapi, teriakan itu berasal dari persepsi yang salah kaprah dalam membaca situasi, karena yang perlu dilawan kini adalah proses pemiskinan. Kaum subaltern seperti Slamet bukanlah orang miskin absolut. Ia mempunyai potensi, sekadar modal (kapital) tetapi hidupnya selalu diombang-ambing oleh kelas-kelas yang berkuasa. Harga-harga kebutuhan pokok melambung, penggusuran terjadi di mana-mana. Kesempatan untuk hidup semakin sempit, dalam lorong kecil di negeri ini.

Mungkin ada yang bilang tindakan bunuh diri adalah sesuatu yang percuma. Tapi dibalik
keputusan menggantung diri diambil, karena tak ada orang tertindas yang bisa bicara. Tidak dapat berbicara adalah metaphor karena ia mencoba berbicara, sehingga secara metaphor Anda dapat mengatakan tidak ada keadilan di dunia. Orang tidak menaruh perhatian pada subaltern. Di berbagai tempat di dunia, di sepanjang sejarah manusia, selalu ada orang-orang yang secara absolut tidak punya suara dan tidak dapat berbicara.

Sedihnya, hal itu selalu berhubungan dengan situasi saat ini. Selalu ada orang-orang yang dibungkam. Itu sebabnya jangan menjadi mayoritas bungkam, tak bersuara.


Ketika orang-orang yang selama 30an tahun dibungkam berdoa untuk Soeharto sang tiran... Hari ini saya berdoa untuk Slamet, pedagang gorengan yang gantung diri kemaren di rumahnya. Semoga roh Slamet dilapangkan jalannya ke alam baqa, dan kepada kita yang terus menerus bungkam di alam fana ini, barangkali Slamet meminta kita lebih lantang lagi bersuara... Menyuarakan kebenaran... Menyuarakan realita kaum subaltern yang termarjinalkan.

Tidak ada komentar: