Jumat, 18 Januari 2008

Indie Vs Major

Hujan mengguyur deras kampus Universitas Indonesia, Depok. MIke Marjinal berjalan bergegas melewati kantin dan koridor bersama Bob Oi, Haska dan Umam. Mereka basah kuyup. Sesekali Mike memeriksa telepon selulernya. Panitia Artcademi 2007 mengundangnya sebagai pembicara diskusi Indie Vs Major yang diselenggarakan ikatan alumni Fakultas Ilmu-ilmu sosial UI, 7 September yang lalu.

Memasuki ruang diskusi yang panas, Wendi Putranto, pengamat musik sekaligus kolumnis majalah The Rolling Stone Indonesia nampak dengan bersemangat melontarkan argumen-argumennya, di sebelahnya duduk, Andien seorang penyanyi yang mewakili major label. Sedangkan pembicara yang mewakili musisi Indie, Mike, tergopoh-gopoh masuk ruangan melepas jaketnya yang basah kuyup.

Andien nampak acuh tak acuh mendengar olaborasi Wendi. Ketika mendapat giliran bicara, ia hanya memberi komentar singkat bahwa musik yang diciptakan hanya untuk menghibur orang, sedangkan untuk urusan bisnis ia mempercayakan kepada label (industri rekaman) yang mengatur jadual rekaman, penjualan, promosi, konser dan royalti.

Sedangkan Mike dan Wendi menyoroti musik sebagai bagian dari budaya perlawanan (counter culture) di Indonesia masih terhitung muda dan masih mencari entitas ditengah pusaran gelombang industri musik (major label) yang cenderung menyeragamkan. Para musisi Indie label sebagai pelaku aktif harus bertahan dan dituntut lebih kreatif dalam berkarya sekaligus membangun infrastruktur baru agar musik diapreasiasi publik lebih luas sebagai media penyadaran.

Band-band yang kini tumbuh bagaikan jamur di musim hujan dalam perkembangannya harus takluk pada kemauan industri musik (label). Kondisi ini, menurut Wendi Putranto, menghambat kreatifitas. Label hanya bertolak dari bisnis semata, memaksakan musisi untuk membuat musik seperti yang dihasilkan band-band yang telah laku di pasaran. Fenomena ini cenderung memotong kreatifitas musisi. “ Dari dulu kita selalu disodori lagu-lagu cinta yang itu-itu juga, yang cenderung seragam secara tema. Tidak ada musisi yang membicarakan cinta dari sudut pandang, angle, yang lain. Ini menghambat kreatifitas, karena semua telah ditentukan label,” ujar Wendi dengan nada tinggi. Label seperti enggan melihat perkembangan pada scene musik. Kesenjangan ini melahirkan gerakan Indie label. Selain mencipta musik, para musisi juga membangun infrastruktur sendiri. Dari masalah rekaman (recording), produksi album dan jaringan distribusi melalui distro-distro.

Munculnya gerakan Indie label, menurut Mike, adalah sebuah reaksi keras terhadap industri musik (major label) yang totaliter, mengabaikan kreatifitas dan perkembangan di akar rumput. Kelahiran band punk rock seperti Sex Pistols di Inggris Raya, misalnya, awalnya dianggap aneh dan menyimpang oleh major label. Tetapi akhirnya major label mengerti karena punk rock sebagai genre musik mempunyai pengaruh yang besar sehingga melahirkan sub-genre musik lainnya. “Masalahnya, major label di sini tidak mau tahu dengan perkembangan kreatifitas pelaku musik di Indonesia. Namun publik yang cerdas mencari akses sendiri melalui komunitas,” ujar Mike yang telah sebelas tahun membangun band Marjinal dan Komunitas Taringbabi di Setu Babakan, Jakarta Selatan.

Selama sebelas tahun Marjinal telah merilis empat album yang dikerjakan secara Indie dengan distribusi di pulau Jawa, Sumatera, Bali, Sulawesi, Kalimantan hingga Papua. “Awalnya, kita tidak menduga Marjinal bisa didengar orang sampai di sebuah pulau terpencil seperti Pulau Siladen di Sulawesi Utara. Ini semua berkat bantuan teman-teman, dari tangan ke tangan sehingga musik kita bisa didengar dan diapresiasi sampai seluruh pelosok Indonesia,” tambah Mike yang kini sedang dalam proses recording album ke lima Marjinal.

Dari sekian banyak band punk rock yang ada, menurut Wendi, Marjinal mempunyai kekuatan pada musik yang berpadu dengan lirik yang menggugah kesadaran politik publik. Wendi menambahkan, banyak band punk rock di Indonesia mengabaikan kekuatan lirik dan tidak becus dalam menggarap musik.

Demikianlah butir-butir pemikiran dalam diskusi yang dihadiri sekitar 100-an mahasiswa. Di luar, hujan mulai reda. Jalanan meruapkan bau tanah.

Tidak ada komentar: