Rabu, 30 Januari 2008

Korupsi dan Gerak-gerik LSM

Lahan civil society yang belum matang memandulkan gerakan anti-korupsi.


Sudah agak lama sejumlah besar negara berkembang menyaksikan lonjakan gerakan anti-korupsi yang dipimpin oleh berbagai kekuatan sosial. Basis sosial gerakan-gerakan ini tak pernah dikaji secara tuntas. Yang ada hanya hipotesis umum bahwa ia merupakan ekspresi lambat dari suatu masyarakat madani (civil society) yang bertujuan memperbaiki pengaturan (governance) perekonomian mereka.

Yang jadi soal adalah munculnya keyakinan bahwa mobilisasi civil society di bawah panji-panji anti-korupsi akan secara nyata mengurangi korupsi di negara-negara tersebut.

Istilah civil society berasal dari alam pikiran Barat-Liberal yang menggambarkan suatu masyarakat yang mapan dalam jaringan hubungan sosial dan ekonomi serta norma-norma kepatutan tertentu. Jaringan itu sudah lama diterima luas di Barat, dan sudah berkesempatan dikembangkan berdasarkan dinamika konsensus bersama, dan kemudian diresmikan dalam sistem hukum. Seperti barang impor lainnya dari Barat, konsep civil society langsung diterima oleh para aktivis di negara-negara berkembang, dan dipakai sebagai cap untuk aspirasi yang dibawa oleh gerakan swadaya masyarakat.

Civil society dalam pengertian aslinya hanya akan tumbuh di negara berkembang bila pertumbuhan ekonomi sedemikian lajunya sehingga melahirkan suatu kelas menengah modern di sektor profesi dan jasa. Kelas menengah baru inilah yang membunyikan lonceng pertanda era baru yang tak sudi lagi hidup di bawah sistem "bapak-anakbuah" (patron-client relations). Ini terjadi di Thailand dan Korea Selatan. Ia tidak terjadi di India, Pakistan, atau Bangladesh.

Siklus Korupsi

Di India, Pakistan dan Bangladesh, pembangunan ekonomi belum mencapai tingkat yang memungkinkan pemerintah mereka mampu membiayai program kesejahteraan umum. Prasarana dasar saja belum mampu didukung oleh penerimaan pajak, apalagi mencapai stabilitas politik melalui pembagian rejeki secara transparan.

Sementara itu cekcok dan perpecahan di kalangan elit menjadi-jadi karena keresahan akan lambannya pertumbuhan ekonomi. Struktur dasar "bapak-anakbuah" dalam keadaan seperti itu tidak tumbuh ke arah demokrasi sosial yang modern dan transparan. Pertumbuhannya justru mengarah ke jurusan desentralisasi manajemen stabilitas politik yang agak kacau dan dikendalikan oleh pemerintah daerah.

Pada 1980an dan 1990an berkali-kali muncul gerakan anti-korupsi di India, Pakistan dan Bangladesh. Gerakan-gerakan ini didukung oleh pelbagai kelompok yang dipimpin oleh orang-orang dari golongan menengah.

Mereka selalu sukses. Pemimpin-pemimpin yang korup diganti. Tapi struktur dan pola sosial tidak berubah. Tak lama setelah pergantian para pemimpin, muncul lagi tuduhan-tuduhan korupsi terhadap rezim baru. Begitulah roda berputar tanpa henti.

Masalah Pokok

Dalam kebanyakan masyarakat negara berkembang, sistem kapitalis yang baru muncul belum diterima luas dan tidak didukung oleh stabilitas politik. Selain itu, negara tidak cukup kuat untuk memaksakan penegakan ketertiban.

"Dalam keadaan semacam ini jaringan-jaringan bapak-anakbuah-lah yang mengatur pembagian rejeki," kata Mushtaq H. Khan dalam "The Role of Civil Society and Patron-Client Networks in the Analysis of Corruption", makalah di konferensi tentang korupsi, Paris, 1997. "Stabilitas politik 'dibeli' dengan pembagian rejeki hasil korupsi."

Dalam kancah inilah terjun sejumlah LSM yang menuntut diakhirinya korupsi. Sementara itu perubahan sosial tak kunjung tiba. Apa gerangan akibatnya kalau gelanggang yang sudah begitu padat dengan pemain dimasuki oleh para pemain baru yang menuntut agar permainan dihentikan?

Mungkin mereka akan masuk ke bawah tanah, atau menciptakan bentuk-bentuk baru korupsi. Sebab maling lebih kreatif daripada polisi. Lagipula, sumber rejeki terbatas. Yang menagih terlalu banyak.

Tidak ada komentar: