Kamis, 03 Januari 2008

Setiabudi, Setu Babakan: The Mandala of Punks

Komunitas Marjinal. menempati sebuah rumah berlantai dua yang terletak di tengah-tengah kampung, yang kalau hendak digambarkan: dirindangi pepohonan, petak-petak empang, kebun buah-buahan, rawa kangkung , kali dan Setu Babakan.

Seruas jalan kecil membelah kampung itu, Gang Setiabudi, yang selalu dilalui para pegawai, buruh, siswa-siswa sekolah, pedagang keliling, pengamen dan pemancing ikan. Pagi hari setelah bersih-bersih rumah dan memasak, para ibu keluar mengasuh putra-putri mereka.

Sepelemparan batu dari Gang Setiabudi, terdapat Setu Babakan, sebuah danau yang kini menjadi kawasan Cagar Budaya Betawi, yang selalu disatroni para pemancing dari pelbagai pelosok di Jakarta.

Sebagian besar mata pencarian penduduk sebagai tukang bangunan, yang bekerja pada proyek pembangunan apartemen di pusat kota. Atau membangun rumah-rumah kontrakan.

Ketika suara adzan lohor berkumandang, para tukang bangunan beristirahat santap siang sambil bercengkrama dengan anak dan istri, di bale-bale. Sebagian besar warga Setiabudi adalah pendatang, berasal dari bilangan Kuningan, Jakarta. Ketika pembangunan Proyek Istana Olah Raga Senayan (kini bernama Gelora Bung Karno) dan proyek Kuningan dilaksanakan, diperkirakan puluhan ribu masyarakat Betawi hengkang dari Segi Tiga Emas Jakarta, kawasan yang mencakup Jalan Sudirman-M.H. Thamrin, H.R. Rasuna Said dan Gatot Subroto.

Proyek Kuningan pada tahun 1970an, misalnya, telah menggusur limapuluh persen warga Betawi peternak sapi di Kecamatan Setiabudi. Setiap keluarga umumnya memiliki sapi antara 5 sampai 30 ekor yang menghasilkan ratusan liter susu perah setiap hari. Susu segar itu dikemas dalam botol, masing-masing berisi 1/4., ½. dan 1 liter. Susu sapi yang diproduksi dijual ke daerah hilir (utara), dijajakan dengan sepeda ke Menteng sampai Jakarta Kota.

Selain peternak, warga Kuningan bekerja di bidang konfeksi rumahan. Pakaian jadi produk mereka banyak dijual di pasar Tanah Abang dan Jatinegara. Di samping itu, warga Kuningan juga banyak berjualan tahu ke Menteng. Warga menggunakan ampas tahu sebagai pakan sapi. Buah-buahan juga merupakan mata pencaharian warga. Karena begitu subur tanahnya, beraneka buah ada di sana. Saking banyaknya pohon duren, hingga terdapat Kampung Pedurenan. Dari kebon kelapa, mereka membuat minyak kelapa yang dijual ke Menteng dan sekitarnya.



Kuningan pun kondang sebagai salah satu pusat tempat mencetak para ulama dan kiai di Jakarta. Di sana, terdapat guru Mughni, kawan seperjuangan pendiri NU, KH Hasyim Ashari, kakek Gus Dur. Masih banyak lagi kiai dan ulama terkenal dari Kuningan seperti KH Razak Makmun dan KH Ali Sibron Malisi. Sejak puluhan tahun lalu, di Kuningan berdiri madrasah 'Raudatul Mutaalim', di Kelurahan Kuningan Barat. Setelah lulus dari madrasah, santri-santri dari Kuningan banyak yang dikirim oleh orang tuanya melanjutkan belajar agama di Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Mesir. Sedangkan menurut H Mashud, tiap Ahad mereka selalu hadir di majelis taklim Kwitang. Bila ada acara maulid mereka selalu memanggil almarhum Habib Ali Alhabsji, pendiri majelis taklim Kwitang.

Para peternak, memiliki pekarangan rumput yang luas tempat sapi-sapi merumput. Ketika warga memperoleh uang ganti rugi lahan dari Proyek Kuningan, yang paling banyak mendapat uang adalah para peternak, karena mereka memiliki tanah yang luas. Pemerintah memberi uang ganti rugi Rp. 15.000 per meter persegi. Lalu secara berbondong-bondong mereka pindah ke kawasan Buncit, membeli sebidang tanah luas, seharga Rp. 2000 per meter persegi. Uang ganti rugi gusuran bisa dibilang cukup banyak ketika itu. Lalu mereka secara berbondong-bondong pula menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah. Sedangkan sebagian warga yang lain, pindah ke selatan Jakarta, Lenteng Agung, Srengsengsawah, Jagakarsa hingga Depok.

Bagi warga Betawi yang berasal dari Kecamatan Setiabudi, Kuningan, sebagian besar pindah ke kampung Srengsengsawah. Mereka membeli tanah untuk membangun rumah tinggal, kebun serta membuat empang-empang ikan untuk usaha pemancingan. Mereka menamakan jalan kecil masuk ke pemukiman sebagai Gang Setiabudi, untuk mengenang daerah asal mereka, Kecamatan Setiabudi.

Bagi warga Gang Setiabudi, kawasan Segi Emas Jakarta menyimpan kenangan masa kanak-kanak mereka. Dulu di sekitar Pasar Festival dan Gelanggang Olahraga Soemantri Brojonegoro adalah bekas kuburan. Mal Ambasador di Mega Kuningan, dulunya perkampungan. Hotel Gran Melia dan sekitarnya ada peternakan sapi perah. Ironisnya, setelah beranak pinak kini mereka bekerja di kawasan itu sebagai tukang bangunan yang membangun apartemen dan gedung-gedung perkantoran . Ada juga yang bekerja sebagai pedagang, pegawai, satpam, supir atau bekerja secara serabutan.

***

Konon, sebelum penduduk Kuningan eksodus ke Srengsengsawah, kampung itu tersohor sebagai tempat berkumpulnya para jawara, sejak jaman penjajahan Belanda. Para jawara menggunakan perkampungan di sekitar Setu Babakan sebagai basis perlawanan terhadap penetrasi Belanda. Para jawara berguru silat pada Bang Sabeni dari Tanah Abang.

Bang Sabeni, jawara Betawi yang sangat tersohor dengan ucapannya,” Ente jual, ane beli--bukan sembarang omong” megembangkan silat di Tanah Abang. Belakangan aliran silat ajarannya berkembang pesat. Selain dari Tanah Abang murid Sabeni berdatangan dari Kebon Sirih, Petojo, Tomang, Slipi, Kemanggisan, Kebon Jeruk, Rawa Belong, Kebayoran, Karet Tengsin, Setiabudi, Manggarai, Rawa Bangke, hingga Srengsengsawah.

Aliran yang bertajuk Maenan Sabeni ini membuat kompeni berkeringat dingin. Belanda kebakaran jenggot kalau makin banyak pribumi yang jago maen pukulan. Belanda pun ingin menghabisi Sabeni. Sialnya, saat itu pengikut Sabeni sudah sangat banyak. Jadi tiap kali si rambut jagung mengatur siasat untuk menjatuhkan pamornya selalu gagal.

Salah satu cara para pengikut Sabeni menggagalkannya adalah dengan mengatur pertandingan resmi antara Sabeni dan jago dari negeri seberang. Pertarungan yang paling seru adalah laga di atas ring, di Prinsen Park. Pertarungan ini diatur oleh Tuan Danu, seorang kapten kompeni, yang sebenarnya bersiasat untuk membunuh Sabeni. Danu mendatangkan jago-jago dari India, Cina, dan Jepang. Sabeni yang menang. Ini membuat namanya mangkin harum.

Sabeni memang jawara Tanah Abang. Wilayahnya terbentang melebihi Kecamatan Tanah Abang sekarang, serta batas utara-selatan mencapai Kwitang-Setiabudi dan barat-timur mencapai Palmerah-Gambir. Tapi jangan samakan dengan jagoan sekarang yang menguasai pasar dan area parker, memalak sana-sini. Dia malah dikenal sebagai orang yang suka mendamaikan orang yang berkelahi.

***

Seiring dengan perjalanan waktu, kisah kehebatan jawara Srengsengsawah kian hilang dari ingatan para pemuda. Walau demikian, sampai tahun 1980an, Gang Setiabudi masih sohor sebagai ‘sarang macan’. Bagi orang yang datang tidak tahu adab dan sopan-santun, bakalan dipermak habis-habisan. “Dulu di sepanjang gang, banyak bale-bale tempat anak muda kumpul sambil main kartu. Kalo ada orang lewat kagak bilang ‘permisi’, pasti kena jotos,” kata Odjie Cembrang, suatu malam di depan rumahnya.

Ketika Odjie dan keluarganya baru pindah ke Gang Setiabudi pun sempat digojlok anak-anak muda. Awalnya, menurut Odjie, mereka membantu mengangkat barang-barang pindahan. Setelah itu, anak-anak muda yang Bengal itu meminta sejumlah uang yang diluar batas kewajaran, alasannya untuk membeli beberapa krat bir. Sayang, menurut Odjie, ayahandanya terpancing, menuruti kemauan mereka. “Babe gua kan masih darah muda juga, langsung ngebeliin anak-anak bir ama anggur. Akhirnya babe juga ikut minum bareng. Habis kejadian itu, anak-anak kagak pernah lagi minta-minta lagi,” ujar Cembrang.

Tongkrongan anak muda kadang dipanaskan dengan meneguk anggur, seraya mereka memasang mata kalau ada orang asing datang. “Pokoknya ‘gak ada yang mecem-macem kalo ama anak Setiabudi,” tukas Cembrang.

Awal 2004, tiba-tiba seisi kampung gempar. Ketika di sebuah rumah kontrakan, telah tinggal anak-anak punk. “Kita semua kaget, kapan anak-anak itu boyongan… Kayaknya pindahannya malem-malem – anak muda di sini ‘gak ada yang tau,” ujar Cembrang.

Serta merta Marjinal mendapat sorotan tajam warga, yang shock melihat penampilan para punker yang sekujur tubuhnya bertato. “Diam-diam kite perhatiin kegiatan anak-anak punk yang baru pindahan di sini. Kalo ngeliat penampilan… Sangar juga yak… banyak tato… pake anting-anting. Kayaknya anak-anak punk kagak ada takutnya. Berani mati, gitu lho!” ujar Cembrang.

Kehadiran Marjinal pun menjadi buah bibir orang-orang kampung. Sehingga akhirnya, suatu hari, Ketua Rukun Tetangga (RT) mengajak warga mengadakan rapat. Hasil dari rapat itu, antara lain, bahwa di kampung Setiabudi telah tinggal para pemuda bertato yang diperkirakan sebagai kriminal. Warga sepakat untuk mengusir mereka untuk menghindari kejadian yang tidak dinginkan dan menjaga nama baik kampung Setiabudi. Tapi, sebelum ketua RT mengerahkan warga mengusir mereka, terlebih dahulu warga diminta mendengarkan keterangan pemilik kontrakan. Konon, sang pemilik kontrakan, merasa riskan mengusir para punker itu, karena mereka telah membayar uang muka kontrakan. Akhirnya, Pak RT pun meminta warga memantau segala aktifitas anak-anak punk itu. Warga pun diminta tetap waspada.

Dan prasangka pun merebak: “mereka seperti penjahat di acara televisi: Sergap, Buser atau Patroli!”.

Gonjang-ganjing itu cepat dirasakan Bermula dari tatapan dan bahasa tubuh warga yang penuh penolakan. Marjinal menghadapi masalah yang paling mendasar bagi sebuah komunitas: bagaimana bisa diterima oleh lingkungan.

Prasangka kian berkobar. Mike segera mencari jalan keluar. Repot juga kalau sudah mendapat stigma bahwa orang bertato itu kriminal, yang terstigma dilecehkan, menjadi objek kebencian, dianggap sumber kesalahan. Di dalam stigma tidak hanya ditanamkan undangan untuk menghina, melainkan fobia karena yang terstigma dipersepsi sebagai ancaman.

“Kita tidak bisa cuek begitu saja. Kalau ini dibiarkan… Ibarat mendiamkan api dalam sekam. Api kian membesar menghanguskan energi kita,” kata Mike kepada setiap anggota kolektif Marjinal pada sebuah pertemuan yang digelar secara ad hoc tengah malam.

Adalah suatu hal yang wajar, menurut Mike, apabila masyarakat menilai negatif. Dan wajar juga bila masyarakat ingin mengetahui siapa Marjinal dan apa yang menjadi aktivitas Marjinal. “ Penilaian negatif itu tidak datang begitu saja, tetapi hasil dari sebuah kondisi yang diciptakan oleh sistem, melalui media… Melalui terror dan kekerasan. Ingat dulu kan ada penembakan misterius terhadap orang-orang bertato yang dianggap kriminal, residivis…” tutur Mike.

Seperti kita ketahui, antara 1983 dan 1984 ruang publik Jakarta bahkan penah menerima buangan mayat-mayat bertato: mayat-mayat itu digelimpangkan begitu saja di gang, di pasar, hingga di jalan raya. Mayat-mayat penjahat itu dipamerkan sebagai terapi kejut: bahwa masih ada yang mampu menindak kejahatan. Disamping itu ada pesan lain juga yang tersirat: masyarakat tak usahlah bersikap macam-macam terhadap pemerintah jika tidak mau berakhir seperti penjahat /residivis itu.

Kondisi di atas menciptakan trauma pada masyarakat dalam mempersepsikan orang-orang bertato. “Pikiran mereka telah dimapankan, tato itu dianggap sebagai tanda pelaku kriminal,” kata Mike dengan masygul.

“Untuk menghadapi problem seperti itu, Marjinal sebagai kolektif, perlu membuka diri pada masyarakat, membuka komunikasi yang hangat. Rumah ini harus dibuka untuk siapa saja, open house.” tukas Mike.

Langkah pertama, Bob membuka pintu gerbang rumah selebar-lebarnya. Kolektif pun membiasakan bekerja di beranda depan, ketika mengerjakan cukilan kayu dan menyetak sablon. “Kita biarin tetangga ngelihat langsung apa yang kita kerjakan. Awalnya, ada yang ngintip dari balik pagar. Besoknya, ada yang nyelonong datang melongok apa yang gue kerjain, lantas ngeloyor pergi. Kita harus terbuka. Saling kenalan, nawarin kopi, ngobrol.” kata Bob.

Mike pun mulai membaur dengan anak muda, nimbrung bersama para pemuda. Ngobrol sambil bermain kartu: remi, sanggong, poker…

“Kita gak nyangka kalo Mike kagak bisa main remi. Kita yang ngajarin dia... Sebaliknya, Mike juga ngajarin kita main gitar,” kata Cembrang.

Para orangtua terus memantau Marjinal. Bertanya satu sama lain. Satu hal yang membuat warga Gang Setiabudi heran pada keberanian anak-anak punk itu. “Kok pada berani ya tinggal di rumah yang ada hantunya!” ujar seorang ibu.

Rumah berlantai dua itu terkenal sebagai rumah yang angker. Bertahun-tahun tak dihuni. Dan selama bertahun-tahun pula tidak ada orang yang tertarik mengontrak rumah, dengan tiga kamar tidur + dua kamar mandi+ dua gudang + dapur + beranda depan dan belakang. Beberapa orang kampung memberi kesaksian bahwa di dalam rumah itu ada penampakan, hantu, yang berkelebat, melambai-lambaikan tangan dari lantai dua.

Tapi wujud ‘rumah hantu’ itu kian berubah. Dulu nampak kusam dan berdebu, lambat laun mulai terlihat asri. Bob dan Mike mengecat dan menggambari dinding dengan aneka flora dan fauna warna-warni. Ewang ikut membersihkan pekarangan yang disulap menjadi taman mungil nan asri.

Warga kampung secara diam-diam terus memantau aktivitas penghuni rumah. Setiap perkembangan menjadi bahan pergunjingan.

Suatu hari, warga berkumpul merencanakan membangun sebuah jembatan, menghubungkan Gang Setiabudi dengan Setu Babakan yang dibelah sebuah kali kecil. Begitu mendengar kabar santer rencana pembangunan jembatan, kolektif Marjinal melakukan briefing.. Akhirnya, mereka sepakat untuk menyingsingkan lengan baju, ikut kerja bakti bersama warga. “Ini momen bagus buat kita, kerja bakti ngebangun jembatan bareng warga. Siapa yang jago bikin adukan semen, ya harus diperlihatkan… Yang lain ngebantu ngangkut-ngangkut,” kata Mike ketika itu kepada anggota kolektif yang manggut-manggut, setuju.

Jembatan yang diidam-idamkan itu selesai, pada tanggal 11 Januari 2004.. “Asyik juga! Kite baru pindah, bisa ikut kerja bakti ngebangun jembatan.” ujar Bob.

Disamping membangun jembatan, beberapa tahun kemudian kolektif Marjinal bersama warga juga kerja bakti membangun jalan kampung. Jalan yang becek dan berlumpur ketika musim hujan datang, dipadatkan lalu dipelur dengan semen. Oi! Alangkah asyiknya bahu membahu membuat adukan semen. Yang lain memadatkan jalan dengan menggunakan balok kayu yang dihempaskan berkali-kali hingga jalan setapak itu padat. Ibu-ibu menyediakan makanan kecil; lontong, tahu isi, ubi goreng, singkong, kopi hangat dan rokok.

Kolektif Marjinal bekerja dengan riang-gembira bersama warga. Secara kebetulan, Mash von Vacano, seorang mahasiswa antropologi jurusan Asia Tenggara, Universitas Humbolt, Berlin, Jerman, mengabadikan peristiwa itu dengan kamera videonya.

Hasilnya, sebuah film pendek dokumenter bertajuk Welcome To Taringbabi, yang merupakan bagian dari skripsi. Film pendek itu menarik perhatian dosen dan para mahasiswa di kampusnya. “Berbeda dengan punk di Jerman, punk di Indonesia bisa berinteraksi dengan masyarakat, bekerjasama secara kongkrit,” kata Mash ketika Welcome To Taringbabi ditayangkan di Institut Global Justice, Jakarta , pada September 2007 yang lalu, dihadapan publik mahasiswa, seniman dan aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat.

Para tamu dari mancanegara cukup betah tinggal di Taringbabi. Ada Bernhard, Mbak Mash dari Jerman. Steve Townson, Shasa, Ian Wilson dari Australia. Mito, Simon & Marcie, Tristan Manco, Craig, Lucho Chocebomba dari USA. Din Akar, Fazri, Jimbo dari Malaysia. Emma dari Belanda, dan Ayumi Nakanishi dari Jepang.

“Kalo bule-bule menamakan kontrakan kita, Taringbabi Castle,” ujar Bob.

Selain udara di Setu Babakan yang masih sejuk, dirindangi pepohonan, mereka juga mudah berinraksi dengan warga yang ramah. Malam hari, di Taringbabi selalu saja ada yang bermain musik. Atau menyaksikan dangdut odong-odong, -- konser trubadur musisi dangdut yang seluruh peralatan soundnya ditarik gerobak. Mereka berkeliling dari kampung ke kampung.

Ketika malam hari, dari arah Setu Babakan kadangkala terdengar lamat-lamat suara pertunjukkan wayang kulit yang dibawa angin. Pertunjukan digelar di Pusat Perkampungan Betawi. Sejak Setu Babakan ditetapkan oleh Pemda Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai kawasan cagar budaya Betawi, banyak program kesenian yang digelar di komplek anjungan betawi yang dibangun mirip aslinya tempo doeloe.

Kawasan Setu Babakan dipilih menjadi proyek tamanminisasi, meniru proyek Taman Mini Indonesia Indah yang dicetuskan Ibu Tien Soeharto. Di sana sering diadakan aneka lomba ketika meyambut hari hari kemerdekaan Republik Indonesia., seperti lomba mincing, lomba perahu, lomba bikin lampion, lomba nari, marawis, panjat pinang dan sebagainya. Selain itu digelar berbagai perunjukan tradisional Betawi semacam lenong, tari topeng, tandijor, rebana biang, wayang kulit betawi dan lain-lain. Dan acaranya juga diiisi beberapa seniman betawi yang udah kondang semacam Haji Bolot, Malih, Mpok Nori, Nirin Kumpul dll.

Ketika pertunjukkan wayang kulit, suara Ki Dalang Surya Bonang dari Jagakarsa terdengar sampai Gang Setia Budi. Para orangtua pun datang berduyun-duyun menmyaksikan wayang kulit semalam suntuk.

Wayang Kulit Betawi termasuk salah satu kesenian Indonesia yang sudah langka.Bahkan banyak warga Jakarta yang tidak tahu bahwa dalam kesenian Betawi ternyata juga ada wayang kulit. Wayang kulit versi Betawi sebenarnya tidak jauh beda dengan wayang kulit versi Jawa atau Sunda. Ceritanya mengambil lakon dari cerita-cerita Mahabharata atau cerita versi karangan namun tetap mengambil setting yang sama. Gamelan terdiri dari kendang, gong, saron, kempul, kedemung, rebab, kecrek, trompet, dan kromong.

Yang umum kentara adalah isi cerita yang sarat dengan humor atau banyolan gaya Betawi yang begitu kental. Kalau pada wayang kulit Jawa, adegan humor atau banyolan biasanya baru hadir saat sang Dalang menampilkan punakawan atau karakter komedian yang lain. Tapi pada wayang kulit Betawi, kadang sepanjang cerita diselingi humor atau banyolan, walaupun adegan tengah menceritakan dialog di antara kesatria pandawa.

Wayang kulit betawi adalah kesenian tradisional masyarakat Betawi pinggiran. Biasanya yang menanggapnya adalah masyarakat betawi yang tinggal dekat dengan daerah perbatasan Jawa Barat seperti misalnya Jagakarsa, Sawangan, Tanggerang, Bambu Apus,Ciracas dan sebagainya. Hal itulah yang menyebabkan kesenian tersebut juga kental dipengaruhi oleh budaya Sunda. Konon kesenian ini pada awalnya dibawa oleh para prajurit Mataram pimpinan Sultan Agung, ketika menyerang VOC di Batavia pada zaman J.P Coen berkuasa sekitar abad ke-17.

***

Warga begitu antusias bertanya ini dan itu kepada para tamu di Taringbabi, tentu saja dalam bahasa Inggris campur Betawian. “Beruntung kita bisa belajar bahasa Inggris langsung sama bule, dia juga senang dapat cerita dari kita,” ujar Muhammad Soleh, yang akrab dipanggil Sinyo,warga Setiabudi yang juga aktif dalam kolektif Marjinal.

Sebagian para tetamu telah biasa hidup dalam di squad secara kolektif di negara asalnya. Mereka dengan mudah menyesuaikan diri dengan ragam kebiasaan orang Indonesia. Seperti makan dengan tangan dan menggunakan kloset jongkok ketika buang air besar. Ada kalanya, Jakarta begitu panas di malam hari, sehingga ada juga bule yang memilih tidur di luar dengan mengikat tempat tidur gantungnya di antara dua tiang listrik. Ketika pagi hari, ibu-ibu yang melakukan kerja bakti jum’at bersih terbengong-bengong mendapati seorang pria bule yang hanya bertelanjang dada masih pulas tidur di tempat tidur gantung. Dan warga asyik menjadikannya tontonan. Ketika sadar, si bule merasa risi langsung ngacir lari ke dalam rumah. Berhari-hari warga menceritakan kejadian yang ‘luar biasa’ di kampung itu Ada juga tamu yang ditato sekujur badannya oleh Bob selama berhari-hari.

Tidak ada komentar: